BAB 8 - Terbentur, terbentur, terbentuk (Part 2)

5.9K 709 147
                                    

Aska terduduk di tepi ranjang, kakinya yang tak menyentuh lantai ia goyang-goyangkan. Bosan. Sudah hampir lima menit ia menunggu di sana, Dokter Juna tak kunjung datang. Entah apa yang ia bicarakan dengan Arini di ruangannya. Aska menghela napas. Ia kemudian menjatuhkan tubuhnya, menyamping menghadap pintu dengan kaki yang masih ia biarkan menggantung.

Lama, Aska termenung dalam diam. Memikirkan kemungkinan terburuk yang mungkin terjadi. Matanya sudah mulai menunjukkan tanda-tanda keengganan untuk diajak berjuang. Aska tahu, sekarang otaknya juga menyimpan tumor, tapi ia tak pernah berpikir untuk kehilangan penglihatannya.

Lelaki itu lantas memejam. Apa segelap ini yang akan ia rasakan nanti? Ia kemudian menghadirkan wajah-wajah orang terkasihnya, senyum Arini, tawa hangat Byan, teduh wajah Raga, dan dinginnya Raka, semua terlintas dalam jelaga yang ia ciptakan sendiri. Jika memang suatu saat nanti gelap itu yang akan mendominasi pandangannya, Aska ingin merekam wajah orang-orang terkasihnya lebih lama lagi, agar nanti ia bisa menghadirkannya seperti sekarang.

Suara  daun pintu yang terbuka membuat Aska menyibak kelopaknya lagi. Anak itu mendengkus saat sosok Dokter Juna, Suster Gina, dan Arini muncul dari sana. Wajah sendu yang tadi membeku kini terganti dengan berenggut kesal di raut pucatnya.

Dokter Juna terkekeh. "Mau disetrika nggak, tuh muka?" godanya sembari menepuk kaki Aska, mengisyaratkan anak itu untuk menaikkannya di atas ranjang.

"Emang baju?" sambar Aska ketus.

"Ya siapa suruh kusutnya kayak baju belum disetrika." Dokter Juna kemudian melepas stetoskop yang terkalung di lehernya, meletakkan benda itu di dada Aska sembari memintanya untuk menarik napas dalam-dalam.

Sejenak raut wajah itu tampak berubah, hanya beberapa saat, karena detik berikutnya wajah kebapakan itu kembali terlihat. "Kamu masih sering sesak?"

Aska terdiam, lalu menggeleng pelan.

"Beneran?" Dokter Juna memastikan karena raut wajah anak itu tampak tidak meyakinkan.

Aska mendengkus lagi. "Nggak percaya banget!" jawabnya nyolot.

Dokter Juna mengangguk, ia kemudian menoleh menatap Suster Gina yang masih berdiri di sebelahnya. "Sus, tolong lakukan CT scan pada dada Aska."

Aska menghela napas pelan. Ia kemudian membangunkan tubuhnya, bersila di atas ranjang. "Emang kenapa?"

Dokter Juna mengangkat sebelah alisnya. "Kamu, ‘kan, nggak mau tahu."

Aska merotasikan bola matanya. "Dokter apa coba yang ngerahasiain kondisi pasiennya."

"Ya pasien apa juga coba yang nggak mau jujur?"

Aska menatap Dokter Juna kesal. Salah apa sampai ia harus mendapatkan dokter seperti ini? Memang, sih, Dokter Juna itu sudah seperti keluarga bagi Aska, karena selama lima tahun terakhir ia yang selalu mengurus masalah kesehatan anak itu, jadi tak heran kalau ia sudah kebal jika Aska menyembunyikan sesuatu.

"Kamu ada keluhan lain?"

Aska sudah akan berbohong lagi, tetapi mengingat ia masih sangat membutuhkan indera penglihatannya anak itu akhirnya berkata jujur. "Mata Aska kadang burem."

Arini yang berdiri di sisi ranjang sontak terkejut. "Aska kenapa nggak bilang sama Bunda?"

"Buremnya cuma sebentar-sebentar, Bun, terus baik sendiri."

25 Wishes Before Die [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang