BAB 3 - Arti Sebuah Kehilangan (Part 2)

6.7K 731 38
                                    

Terik matahari tidak menjadi penghalang untuk anak-anak 12 IPA 2 menerobos lapangan dan menggiring bola. Seragam olahraga Raka sudah menempel pas di tubuhnya, beberapa kali ia menyugar rambutnya yang basah oleh keringat. Wajahnya memerah karena panas dan lelah, tetapi lelaki itu tak kunjung menepi dan duduk bersama teman-temannya yang sudah mengalah.

"Si Raka kenapa, tuh, disenggol dikit langsung bacok." Dafa melempar kaleng soda kepada Raga yang sedaritadi hanya duduk di pinggir selasar seorang diri.

Raga diam memandang kaleng soda yang tadi berhasil ia tangkap. Lelaki itu juga menyadari kalau Raka sedang melampiaskan amarahnya di tengah lapangan, beberapa kali nyaris adu jotos dengan teman sekelasnya karena selalu main kasar. Namun, Raga tidak punya waktu untuk memikirkan apa yang membuat saudara kembarnya itu menggila, otak Raga sudah terlalu penuh oleh Aska. Subuh tadi anak itu kejang-kejang, panasnya tak kunjung turun, akan tetapi Raga dipaksa Arini untuk berangkat sekolah karena ia ada pengambilan nilai olahraga.

Setelah usahanya untuk mengenyampingkan keinginannya menemani Aska, guru olahraganya justru tidak masuk. Raga kesal bukan main, rasanya ia ingin kembali ke rumah sakit saja, tapi sialnya ia tertahan di sana karena Raka terus-menerus buat masalah.

Pagi-pagi sekali kakaknya itu sudah terlibat perkelahian dengan anak kelas sebelah, untungnya tidak sampai saling lempar bogeman. Dan sekarang Raka seperti orang kesetanan di tengah lapangan.

"Kasian Jodi, euy, jadi korban terus," lanjut Dafa.

Raga mengangkat pandangan dan melihat sosok yang disebut sahabatnya itu baru saja selesai didorong oleh Raka. Hela napas Raga terdengar berat, ia kemudian mengembalikan kaleng soda di tangannya kepada si empunya. Lelaki itu kemudian bangkit dan melenggang pergi.

Langkahnya terbawa menuju ruang kelas yang sepi. Anak laki-laki semua berkumpul di lapangan, sedangkan yang perempuan mungkin tengah menghabiskan waktu di kantin. Baguslah, lagi pula Raga memang butuh waktu untuk sendiri.

Raga mengambil ponsel dari dalam tas lalu men-dial nomor Arini, tetapi, tidak berapa lama ia memutuskan panggilan dan mencari nama Dokter Juna di kontaknya. Raga menempelkan ponsel di telinga saat panggilan tersambung.

"Maaf, Dok, saya mengganggu," ujar Raga setelah Dokter Juna memberi sapa di seberang.

"Jangan sungkan, Raga, saya kebetulan baru kembali dari kamar Aska."

"Gimana keadaan Aska, Dok? Apa hasil tesnya sudah keluar?"

"Sudah. Dari hasil biakan darah ditemukan kuman Acinetobacter calcoaceticus yang sensitif terhadap antibiotik chloramphenicol, cotrimoxazol, ceftazidine dan meropenem. Hasil temuan kuman dalam darah menunjukkan kuman patogen yang harus diterapi dengan antibiotik yang sensitif terhadap kuman tersebut, dan sekarang Aska sedang diterapi dengan antibiotik cotrimoxazol, semoga demamnya bisa cepat mereda."

Mendengar itu, Raga menghela napas sedikit lega. "Dok, apa Aska benar-benar tidak bisa disembuhkan?" tanyanya kemudian.

"Dokter masih terus berusaha, Ga, tapi kita juga nggak bisa mengabaikan kemungkinan terburuknya."

Raga terdiam, jika Dokter Juna saja sudah tidak percaya diri seperti ini, maka apa yang harus ia lakukan?

"Manusia hanya bisa berusaha, tapi Allah yang menentukan semuanya. Jangan lupa untuk mendoakan yang terbaik untuk Aska. Kalaupun nanti Aska tidak bisa sembuh, itu adalah yang terbaik untuknya, sudah terlalu lama Aska menderita selama ini."

25 Wishes Before Die [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang