여덟 | Delapan

972 153 25
                                    

13 Again – 여덟 | Delapan

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2020, 31 Agustus

-::-

"WOAH! Senang sekali menjadi kau, Taeyong-a!"

Pemuda bertubuh kurus itu tak hentinya mendongakkan kepala melihat isi rumah Taeyong selagi kakinya melangkah menuju kamar Taeyong yang letaknya di bagian dalam. Rumah orang kaya di kawasan tempat mereka tinggal memang mirip-mirip, dan rumah Lee Taeyong mirip dengan rumah Park Chaeyong.

"Kau adalah anak yang terlahir dengan sendok emas!" kata Jaehyun dengan raut masih terkagum-kagum.

Anak dengan sendok emas adalah orang-orang yang terlahir dengan limpahan harta. Sebaliknya, anak dengan sendok tanah adalah orang-orang yang terlahir untuk merasakan sulitnya kehidupan.

Taeyong melempar tas sekolahnya ke sudut kamar. Atas izin ibu dari Taeyong, hari ini Jaehyun diperbolehkan berkunjung ke rumahnya. Ibunya Jaehyun juga membolehkan sebab selain rumah Taeyong berada tidak jauh dari rumah mereka, Bae Jihyun juga paham bahwa Taeyong adalah sahabat---atau satu-satunya teman yang putranya miliki.

"Hahaha, kau membuatku ingin muntah, Jung Jaehyun!"

Lee Taeyong mengempaskan tubuhnya di tempat tidur empuk. Kedua tangannya terlipat di bawah kepala. Jaehyun lekas ikut mengempaskan tubuhnya juga di dekat Taeyong.

"Kenapa kau bersekolah di sekolah itu---maksudku, kau mestinya bisa bersekolah di sekolah mahal," kata Jaehyun setelah beberapa detik mereka saling diam.

"Nan mollasseo (aku tidak tahu)," kata Taeyong. "Mungkin untuk bertemu denganmu?"

Jaehyun tertawa keras menanggapi jawaban barusan. "Oh, aku tersanjung, Tuan Lee!"

Taeyong menoleh, lalu nyengir. "Gadis yang basement-nya kau tempati," katanya, "kami dulu satu sekolah."

"Jinjja?" Jaehyun bangkit dari berbaringnya, duduk bersila melihat pada Taeyong. Anggukan sahabatnya itu membuat mangap rahang Jaehyun kian menganga.

"Tapi tidak lama, karena letak sekolahnya yang jauh, aku jadi malas menuju ke sana."

"Apa katamu?"

"Aku hanya meminta pada ayahku, sekolah yang dekat rumah saja. Bagiku, sekolah di mana saja itu sama saja. Aku akan rajin belajar dan mendapatkan tempat di universitas yang ayahku inginkan. Itu perjanjianku dengannya. Lagipula, aku muak bersaing dengan para orang-orang yang kepalanya dicukur oleh orangtua mereka."

Jaehyun mengernyit bingung. "Dicukur?"

"Maksudku dibentuk sesuai kemauan orangtua mereka," kata Taeyong. "Ayolah, aku bukan robot. Aku tidak suka sekolah di sana. Terlalu kaku. Aku bisa mati muda jika tetap berada di sana, ya kan?"

Jaehyun mengalihkan pandangannya, lantas angkat bahu sekilas.

Entah, mana yang lebih baik: Mati muda atau tumbuh menjadi pengedar narkoba?

Selanjutnya, Lee Taeyong menyalakan televisi yang ada di kamarnya. Benda yang bahkan tidak Jaehyun miliki di rumahnya yang sempit. Mereka bermain game sampai sore. Taeyong berjanji akan mengajak Jaehyun main lebih lama di kamarnya saat mereka libur sekolah. Dan Jaehyun kian mencatat dalam benaknya, bahwa dia harus mencari Taeyong di hari pertama mereka masuk pada tahun ajaran baru agar mereka bisa duduk bersebelahan lagi.

Setibanya di rumah, Jaehyun mendapati sepatu ayahnya masih berada di rak sepatu. Itu berarti ayahnya belum juga pergi. Biasanya ayahnya selalu pergi sebelum Jaehyun pulang sekolah.

"Kau egois!" kata suara ibunya ketika Jaehyun membuka pintu. "Ke mana tanggung jawabmu, hah? Aku mengurus Jaehyun sendirian! Kau pulang dalam keadaan mabuk, tanpa membawa uang untuk membayar keperluan hidup kita! Bisakah setidaknya---"

Ucapan Bae Jihyun terhenti sebab satu pukulan keras mendarat di pipinya. Perempuan itu tersungkur, memegangi pipinya yang memanas dan menangis lagi.

"UMMA!"

Jaehyun berlari memeluk ibunya. Merasakan bahu ibunya berguncang hebat selagi ayahnya menatap keduanya dengan tatapan murka.

"YAISH SHIBAL (sialan)!" maki Jung Woojae pada istrinya. "Jangan hanya karena kau mencari uang lalu kau berlagak paling berjasa. ARO?! Selama ini aku sudah berusaha keras menghidupi kalian berdua. Tapi usahaku kena SIAL karena kau, perempuan sialan!"

Tangan besar Jung Woojae melayang, hendak mendarat di kepala Bae Jihyun tapi Jaehyun bergerak lebih cepat, menghalau gerakan tersebut agar tidak menyakiti tubuh sang ibu. Tapi tubuh kurus kering itu dengan mudahnya terlempar oleh kekuatan tubuh besar ayahnya. Ditambah dengan ruangan yang tidak begitu lebar, Jaehyun dengan mudah menabrak lemari.

"WOOJAE-YA!" teriak Bae Jihyun. Rautnya ketakutan melihat putranya meringkuk kesakitan. "Apa yang kaulakukan pada uri Jaehyun?!"

Jaehyun merasakan hatinya begitu pilu mendengar ibunya masih menyebut dirinya sebagai uri Jaehyun. Penekanan pada lelaki yang tengah kalap itu bahwa Jaehyun adalah buah hati mereka.

"Pukul lagi saja aku!" tantang Bae Jihyun. "Pukul lagi, cepat! Bunuh aku dengan tanganmu itu. YAAA! JUNG WOOJAE!"

Jung Woojae melihat istrinya dengan kilatan marah di kedua matanya. Tangannya mengepal keras sebelum kalimat meluncur dari lisannya. "Aku pergi."

Bae Jihyun terkesiap. Kebingungan, ketakutan, cemas, dan banyak hal lain langsung menyergapnya di detik yang sama.

"Andwae..." Bae Jihyun mendesis. "Yeobo, gajima (sayangku, jangan pergi)..."

Kepala Jaehyun rasanya sakit. Ini kenangan terburuk dalam hidupnya. Masa-masa ketika ayahnya pergi dan tidak pernah kembali, ibunya menjalani hidup dengan penuh keterpaksaan. Jaehyun tahu, Umma sangat mencintai Appa melebihi apa pun.

Tangan Bae Jihyun disentak kasar oleh Jung Woojae. Satu tas berwarna hitam keluar dari dalam kardus di dekat lemari tempat Jaehyun meringkuk. Beberapa baju milik Jung Woojae berpindah ke dalam tas.

"Andwaeyo, yeobo..." pinta Bae Jihyun di sela isak tangisnya. "Gajima. Na---Mianhada. Jebal, gajima (Jangan pergi. Aku---aku minta maaf. Kumohon, jangan pergi)..."

"Kau sendiri yang bilang, sialan, bahwa aku harusnya menjadi laki-laki yang berguna. Jika bagimu aku memang tidak berguna, untuk apa aku di sini?" Jung Woojae menyahut ketus. "Lepas!"

Bae Jihyun tergugu, lalu mengatakan maaf yang tidak dipedulikan lagi oleh suaminya. Sedangkan Jaehyun, berjuang di antara sakit badan, kepala, dan hatinya, dia menyusul ayahnya yang sudah keluar dari pintu dengan tas hitam berisi pakaian di tangan.

"APPA!" Jaehyun berteriak, lalu menarik tas hitam ayahnya agar langkah lelaki itu terhenti. "Maafkan aku!"

"LEPAS!"

"Maafkan aku, Appa!" ucap Jaehyun ketika mereka berada di luar. "Jangan pergi. Kumohon..."

Jaehyun akan melakukan segala hal agar permatanya tidak merapuh hanya karena pria brengsek ini pergi.

Tapi lelaki ini memang sedemikian brengsek. Kendati tubuh Jaehyun terseret sampai mendekati pagar kayu, Jung Woojae menyentak kuat-kuat agar Jaehyun melepaskan pegangan pada tasnya. Tidak peduli tubuh putranya itu mendarat kasar dengan kekecewaan.

Malam itu, ayahnya pergi dan sepertinya tidak pernah kembali seperti yang dulu dia alami. Jaehyun menarik napas dalam-dalam, memandangi pagar kayu itu menganga. Ayahnya tidak akan pernah melewati lagi ambang pintu pagar mereka. Sampai kapan pun.

Mengerjap pelan, Jaehyun berusaha kembali pada kesadarannya. Ibunya ada di dalam dan pasti merasakan kepedihan yang teramat sangat. Jadi, Jaehyun berdiri dan menutup pintu pagar dengan hati yang kosong. Dia berjalan dengan langkah berat, lalu melirik jendela rumah Park Chaeyoung yang gordennya tadi Jaehyun sadari tersibak sedikit. Tapi tidak ada siapa pun di sana. Maka, Jaehyun melanjutkan langkahnya, menemui ibunya yang menangis dengan penuh rasa bersalah dan kecewa.

.

.

.

bersambung

[✓] 13 AGAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang