열 | Sepuluh

977 154 37
                                    

13 Again – 열 | Sepuluh

Penulis : Uniessy

Dipublikasikan : 2020, 2 September

-::-

Seperti masa itu, hari-hari kelam menyelimuti kehidupan Jung Jaehyun dan sang ibu. Kepergian Jung Woojae yang entah telah berapa hari berlalu, membuat Bae Jihyun merasa hidupnya kian hampa. Hatinya menyalahkan sikap buruknya terhadap lelaki yang ia cinta. Tidak seharusnya dia berkata seperti itu...

"Umma," panggil Jaehyun begitu dilihatnya Umma memandangi nasi di mangkuk dalam hening. "Umma... Aku boleh tambah nasinya?"

Sesungguhnya, Jaehyun sudah kenyang. Tapi kalau melahap masakan ibunya membuat ibunya senang, dia akan melakukannya.

"Hm?" Bae Jihyun terkesiap. "Ah, mianhae, Jaehyun-a..." Tangannya mengambil sendok untuk memindahkan nasi ke mangkuk putranya.

"Umma masih teringat Appa?" tanya Jaehyun dengan hati-hati. Dirinya di masa dulu tidak pernah seberani ini. Jaehyun biasanya hanya diam dan terus murung sepanjang hari.

"Hm? Ani, geunyang (hanya saja)..." Bae Jihyun merapatkan mulut, menghindari kedustaan lain.

"Umma, Appa tidak akan kembali," Jaehyun mencoba realistis.

Ayolah, laki-laki itu tidak akan kembali. Jaehyun tidak pernah mencari tahu keberadaannya. Hari ketika ayahnya pergi, bagi Jung Jaehyun, Jung Woojae sudah mati.

Menoleh, Bae Jihyun tentu kaget mendengar pernyataan barusan.

"Jaehyun-a..."

Jaehyun melihat air mata meluncur dari sudut mata sang ibu. Pasti perih mengingat seseorang yang kaucinta memilih pergi. Tapi, kenapa harus menyakiti diri sendiri dengan harapan palsu yang dimunculkan entah dari mana?!

"Jaehyun-a, dengar..."

"Tidak, Umma," sela Jaehyun, rautnya serius. "Umma yang dengar," ucapnya, "Appa tidak akan kembali. Jadi tolong berhenti menantinya muncul di pintu itu."

Dagu Jaehyun bergerak sekilas ke arah pintu. Sepasang netranya tetap melihat pada pasang mata ibunya yang basah.

Sementara itu, Bae Jihyun tertegun. Jelas terkejut mendengar kalimat yang keluar dari lisan anak berusia tiga belas tahun.

"Umma, lihat aku," Jaehyun menggeser duduknya, mendekat pada sang ibu. "Aku di sini. Aku selalu di sini. Aku tidak akan ke mana-mana. Aku tidak akan pergi seperti Appa," Jaehyun mulai menangis. Kepalanya memunculkan kenangan hari kematian sang ibu. "Aku di sini, jadi tolong hidup bersamaku."

Bae Jihyun tersedak dalam ledakan tangisnya sendiri. Dipeluknya Jaehyun dengan penuh kasih. "Maafkan Umma, Jaehyun-a..." katanya seraya membelai rambut putranya.

Balas mendekap sang ibu, Jaehyun kembali bersuara.

"Hidup bersamaku, Umma... Kumohon..."

Pelukan mereka terlepas. Bae Jihyun menatap lurus anak lelakinya itu, kemudian mengangguk. "Maafkan Umma... Kalau begitu, Umma akan melakukan yang terbaik untukmu. Umma akan hidup untukmu. Begitu, hm?"

Ada keheningan yang lama setelahnya. Jaehyun melihat ibunya yang masih menangis dan menyadari sesuatu.

"Bukan hidup untukku," kata Jaehyun lamat-lamat. "Hiduplah untuk dirimu sendiri. Lakukan yang kausenangi. Kalau menyayangiku adalah hal yang kausenangi, maka sayangi saja aku. Jangan menyakiti dirimu lagi, Umma. Appa tidak lagi peduli pada kita, dan jika Umma sudah tak lagi peduli padanya, semua akan baik-baik saja. Jangan menantinya kembali, Umma. Hidup saja bersamaku. Karena aku nyata..."

Jaehyun menyeka buliran air mata di wajah ibunya.

"Aku menyayangimu dan mencintaimu," kata Jaehyun. "Semoga itu cukup untuk mengobati luka hatimu sebab ayahku pergi meninggalkanmu. Maafkan dia---maafkan ayahku, Umma..."

Bae Jihyun melihat Jaehyun dengan raut bingung. Kendati dia tidak paham bagaimana bisa seorang anak berusia tiga belas tahun memiliki pemikiran sedewasa ini, tapi hati Bae Jihyun diam-diam mengiyakan tiap kalimat anaknya.

Jung Woojae adalah pria yang ia cinta. Bagaimanapun, bersama Jung Woojae, dirinya dikaruniai seorang anak menggemaskan bernama Jung Jaehyun. Lantas, ketika pada akhirnya Jung Woojae memilih untuk pergi, mengapa hatinya terpaut pada yang tiada, sehingga mengabaikan keberadaan harta berharga yang butuh akan dirinya?

Jung Jaehyun adalah satu-satunya yang berharga dan nyata dalam hidup Bae Jihyun. Tidak sepantasnya jika Jaehyun diabaikan hanya karena Bae Jihyun mengharapkan Jung Woojae kembali ke sisinya.

Seumpama Jung Woojae kembali suatu hari nanti, Bae Jihyun berjanji untuk menerimanya tanpa kebencian sama sekali. Tapi jika tidak...

Astaga! Apa yang sudah dia lakukan berhari-hari kemarin? Dia memiliki Jaehyun yang butuh perhatian, tapi dia malah fokus meratapi nasibnya yang buruk.

Dia akan hidup untuk Jaehyun---ah, tidak. Seperti yang Jaehyun bilang, bukan hidup untuknya... Tapi dia akan hidup bersama putranya kalau demikian takdir berkata.

Malam itu, mereka menangis bersama hingga akhirnya jatuh tertidur.

Paginya, Jaehyun terbangun sebab suara ibunya yang memekakkan telinga menyapanya.

"Jaehyun-a! Palli ireona (cepat bangun)!"

Jaehyun bangun dan menyadari dirinya tertidur di ruang tamu sempitnya. Dia berusaha keras mengingat kejadian semalam dan menemukan ingatan bahwa mereka menangis bersama dan Jaehyun sungguh berharap, percakapan mereka semalam membawa semacam keinginan kuat di hati sang ibu untuk lebih kuat menjalani hidup.

Janji dalam hati Jaehyun adalah tidak membiarkan ibunya hidup nelangsa hingga memutuskan untuk mati bunuh diri.

"Iya, aku sudah bangun," kata Jaehyun di antara geliatnya. Tapi Umma terus mengguncang lengannya.

"Jaehyun-a, ibunya Lee Taeyong meninggal dunia pagi tadi."

Dan, itu adalah berita paling menyakitkan yang Jaehyun dapatkan di dimensi yang aneh ini.

Ibunya Lee Taeyong meninggal dunia pagi tadi.

Dia tidak pernah menghiraukan berita duka apa pun di masa itu. Baginya, hidupnya sudah terlalu penuh duka, jadi dia merasa tidak perlu repot-repot untuk merasa kehilangan hingga kemudian kenyataan kepergian tragis ibunya menggerus pertahanannya.

Lantas, di dimensi yang aneh ini, dia harus menerima berita menyakitkan bahwa sahabat baiknya---pemuda yang di masa itu pada usia tiga puluh tahunnya ditangkap sebagai seorang pengedar narkoba, pemuda brengsek dan Jaehyun tidak pernah ingin kenal dengannya... mengalami fase jungkir-balik dalam hidup.

Pagi ini, ibunya Lee Taeyong meninggal dunia.

Pagi ini, Lee Taeyong menghadapi fase menyakitkan dalam hidupnya sebab ibunya meninggal dunia.

Pagi ini, sahabat baiknya kehilangan orang yang paling dia cinta. Ibu yang menyayanginya dan mendukung segala sesuatu yang dia kerjakan, bahkan soal kegemaran Taeyong dalam menggambar.

Pagi ini, penopang dan penguat hidup Lee Taeyong telah tiada.

"Umma, aku ke sana dulu."

"Umma juga---yaaa! Jung Jaehyun! Tunggu! Kita pergi bersama!"

Teriakan sang ibu sudah tak terdengar lagi, sebab Jaehyun melesat lari menuju rumah Taeyong bahkan tanpa memakai alas kaki. Tidak dihiraukannya angin dingin di awal bulan November menghantam kulitnya.

Jung Jaehyun hanya ingin menemui Lee Taeyong.

.

.

.

bersambung

[✓] 13 AGAINTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang