Halo, apa kabar? ^^ Wah, sebentar lagi September, nih :D Yuk, baca bab 19 dulu, siapa tahu makin ke sini makin minat buat beli bukunya ^^
Jangan lupa tinggalkan vote kalau suka, dan nggak usah divote kalau nggak suka, hehe.
Selamat membaca~ ♡
.
.
.
Mark tak ingat kapan terakhir kali memasuki kedai umum yang begitu terbuka seperti ini, duduk di bangku sederhana tanpa embel-embel ruang istimewa, berbaur dengan pelanggan lainnya. Aroma masakan menyeruak masuk ke hidungnya yang sesekali tampak kembang-kempis, sedikit menahan perasaan yang ada. Mata tajam yang semula mengedar, kini memandang pada satu objek di hadapannya. Mark menatap wanita yang duduk santai itu dengan heran, juga geram. Pasalnya, wanita itu tiba-tiba menghubunginya di pagi buta, mengatakan ada hal penting yang harus dibicarakan. Mark bahkan tak mengerti, sejak kapan ada kata 'penting' di antara mereka.
Namun, segala perkataan sosok itu kemudianㅡkeluar dari gerak mulutnya yang terhitung spontanㅡmembuat Mark tak mampu menangkap segala hal dengan benar. Segalanya seakan dengan acak berusaha merambat dan memenuhi pikiran. Tak satu pun yang tersuguh di hadapannya saat ini dapat diterima, entah perkataan si wanita maupun bukti yang turut serta. Ia hanya mampu menautkan kedua alis, dengan mata menajam serta rahang yang dijatuhkan.
"Berani kau main-main denganku, tak akan ada ampun!" ujarnya tegas. Kedua tangannya tergenggam dan bertumpu di atas lutut.
Sang lawan bicara mendesis pelan. Senyum tipis yang tampak menyebalkan tak luput ditampilkan. Wanita itu meraih segelas minuman di atas meja, membiarkan mulut kecilnya yang terbalut warna ceri musim semi menyeruput cairan kental berwarna hitam pekat. Setelah membasahi tenggorokan yang terasa kering akibat gugup, ia pun meletakkan cangkir dan kembali buka suara.
"Bukankah sudah sangat jelas, Tuan?" ujarnya sembari menggeser benda di atas meja ke hadapan Mark. "Tanda positif terpampang di sana. Aku juga sudah mendatangi dokter untuk melakukan beberapa tes tradisional, dan hasilnya sama. Alat mahal ini jelas tidak berbohong."
"Kau gila!" Mark menggebrak meja, mengabaikan tatapan para pengunjung kedai yang kini mengarah aneh dan penuh tanya padanya.
"Jadi, Anda tidak mau bertanggung jawab?"
"Apa yang harus aku pertanggungjawabkan, Ishihara?! Mengingat menyentuhmu saja tidak!" elak Mark tak mau kalah.
Ishihara tersenyum tipis, sedikit merasa miris. Tangannya lantas meraih tas kecil yang sedari tadi berada di pangkuannya, mengeluarkan sesuatu dari sana demi menguatkan situasi yang ada; selembar foto. Ia menyodorkan benda tersebut ke arah Mark, membiarkan si pemuda menelisiknya.
"Apa ini masih kurang untuk dijadikan bukti, Tuan Beltran?"
Mata Mark membulat melihat foto tersebut. Tangannya merampas benda itu dari tangan Ishihara, memindahkannya ke tangan sendiri guna melihat secara lebih jelas.
Sungguh sial! Semakin Mark berusaha menguak kebenaran foto itu, semakin ia tak mampu bergerak lebih jauh. Apa yang ditampilkan tampak benar-benar nyata, seolah itulah yang terjadi. Mark tak mampu untuk sekadar membuat pengelakan. Ia membeku tak percaya.
"Saya memiliki benih Anda, Tuan Beltran."
***
Lucas sejak awal sadar bahwa apa yang ia lakukan adalah salah. Mengkhianati demi melindungi bukan hal yang patut dibenarkan. Terlebih lagi, yang ia khianati adalah Mark dan Haechan, orang-orang yang secara sadar ia sayangi dan hormati. Mark, pemimpin yang telah ia dampingi selama ini, dan Haechan yang telah dianggap adik sendiri. Seiring waktu, rasa sayangnya tumbuh menyemak, terbukti dengan betapa kecewanya Lucas pada diri sendiri tatkala memutuskan untuk berkhianat demi melindungi Jungwoo yang terancam oleh Jung Jae dan Johnny. Rasa sakit dan kecewanya semakin kentara begitu mendengar ujaran Jungwoo, mengingatkan tentang betapa besar kesalahan yang telah ia lakukan.
KAMU SEDANG MEMBACA
[✓] The Reddish Crown [Bahasa]
Fanfiction[SUDAH CETAK] Lee Haechan tak mengira bahwa kehidupannya yang serba kekurangan, berubah seratus delapan puluh derajat begitu sosok kurus Pon Hiki hadir di hidupnya. Dalam fantasi paling liar Haechan sebagai bocah, geisha tidak pernah melintas barang...