14 November 2020
•••
"Kamu di-DO dari kampus ini," kata pria di hadapan Brendon, menyerahkan surat ke hadapannya tanpa basa-basi ketika pemuda tersebut masuk bersama para pria itu.
"DO, Pak?" kaget Brendon, menatap tak percaya. "Kenapa?"
"Ini ...." Lalu, ia menyerahkan surat lain, akta kelahiran.
Anak laki-laki, bukan Brendon, tetapi atas nama dirinya.
"Ini ... ini ...."
"Kamu terbukti menghamili salah satu mahasiswi di sini, yang tak bisa saya sebutkan namanya." Mata Brendon membulat sempurna. "Dan jangan coba cari tahu siapa, masih beruntung bukan penjara yang menunggu kamu di depan mata."
Brendon menenggak ludah susah payah. Kalimat yang barusan ia dengar benar-benar menyayat dadanya.
"Pak, saya tidak pernah--"
"Cobalah ingat-ingat saat reuni, berbulan-bulan yang lalu, hampir satu tahun."
Reuni? Beberapa bulan lalu? Brendon berusaha mengingatnya dan ia mendapatkan satu ingatan samar.
"Minum!" Seorang laki-laki memerintahnya, entah siapa. Brendon pun meminumnya dan ia bisa rasakan mulai terpengaruhi segelas alkohol kecil itu. "Halah, si Nerd, payah bener satu shot aja tepar!"
Ia tak ingat apa pun dan terbangun di kursi taman, berantakan dan bau alkohol kentara.
"Cepat jemput putra kamu di rumah sakit yang tertera, dan camkan kata-kata saya tadi!" Mata Brendon berkaca-kaca, ia tak tahu ....
"Pak, tapi, Pak ...."
"Kamu tidak bisa mengelak apa pun, tes DNA pun sudah ada hasilnya, cocok!" Mata Brendon semakin berair. "Bawa dia pergi dari sini!"
"Tapi, Pak!" Para pria berjas mulai menyeretnya keluar bersama surat dan kertas yang mereka bawa. "Pak! Saya--Pak!" Brendon tahu ia tak bisa membela dirinya sendiri tanpa bukti apa pun. Mereka pun menyeretnya, menjadi pusat perhatian mahasiswa dan mahasiswi lain, sebelum akhirnya menuju parkiran.
"Camkan kata-kata tadi, kami mengawasimu!"
Brendon hanya bisa terisak pelan lirih, matanya memerah dan berkaca-kaca. Ia berusaha mengingat apa yang terjadi malam reuni itu tetapi tak ada apa pun yang muncul di ingatannya selain pria asing itu, walau sekalipun tahu ia siapa ... Brendon sadar ia tak boleh mengorek soal perempuan yang ia hamili.
Penjara ... hal yang amat ia takuti.
Matanya memandang surat DO dan akta kelahiran di tangannya, memperhatikannya dengan wajah sedih nan kentara, sebelum akhirnya ia menyeka dan menaiki motornya yang ada di sana. Menjalankannya dengan kecepatan sedang menuju kostnya mengindahkan fakta jika ia disuruh menjemput bayi yang katanya putranya di rumah sakit.
Namun, yang ia lihat, adalah pemandangan lain di mana ibu kost dan yang lainnya mulai mengemas barang-barang mereka.
"Eh, Bu, ini ... ini kenapa?" tanya Brendon kaget, tetapi Bu Kost yang biasanya ramah malah mengabaikannya. "Bu? Ibu!" panggilnya, kali ini memegang tangan wanita itu guna menghentikannya.
Dengan nyalang, si wanita menoleh, menghempaskan tangan hingga pegangan Brendon terlepas. "Cepat kemas barang-barang kamu sebelum digusur sana!"
"Eh, gusur? Kenapa digusur, Bu?" Wanita tersebut melengos mengabaikannya, juga yang lain, perlakuan mereka yang dulu baik tiba-tiba jutek dan judes padanya.
Brendon baru bertanya-tanya apa yang terjadi ketika alat besar datang, matanya membulat sempurna melihat itu di sampingnya.
"Pinggir, woi! Mau gepeng lo?" kata pekerja itu.
"Eh, Pak, barang-barang saya masih ada di dalam!" Brendon tak punya pilihan lain.
"Cepetan ambil!" Brendon pun masuk ke kost-annya, mengambil barang-barangnya seperlunya dengan air mata yang berceceran, betapa banyaknya kesialan menghampiri hanya dalam satu hari.
Satu hari bahagia.
Lalu, dalam masa kalut-kalutnya, ia masih menolak menemui sang putra, bersama beberapa harta benda yang tersisa ia menuju ke kafetaria tempatnya bekerja melalui pintu belakang. Dan salah seorang temannya yang tengah kebetulan membersihkan bagian sana, terkejut akan kehadirannya.
"Brendon, lo dateng? Eh bukannya lo shift malam?" tanya cewek seumuran Brendon tersebut, tetapi Brendon diam. Ia memperhatikannya dan menemukan keadaan pria itu berantakan, matanya pun sembab. "Brendon, lo baik-baik aja?"
Brendon menggeleng. "Gue ... di sini aja, kerja." Satu-satunya hal yang ia pikirkan adalah hal ini, setidaknya kali ini tidak ada kemalangan.
Setidaknya, begitu awal yang ia rasakan.
Ia menuju ke ruang ganti, mencari seragam kerjanya ber-name tag Brendon, tetapi tak ada namanya. Brendon keluar lagi, menuju ke temannya.
"Lo liat seragam kerja gue?" tanyanya.
Gadis itu menggeleng. "Lo bawa pulang buat loundry?"
"Enggak, gue inget ada di loker." Brendon terlihat kecut. "Ketuker sama yang lain kali, ya?"
"Cari lagi coba! Kali aja kelewatan lo liatnya."
Brendon mengerutkan kening heran, ia yakin ia tak salah dalam ingatannya, ia pun lalu berbalik bermaksud ke ruang loker lagi tetapi tubuhnya dihadang oleh pria gemuk di hadapannya. Seketika, keduanya berlagak dengan sopan santun.
"Eh, Pak!" sapa Brendon dan gadis itu ramah.
"Kamu ngapain di sini, Brendon?" tanya pria itu, tatapannya terlihat aneh di mata Brendon.
"Mm ... saya mau shift pagi, boleh, Pak?"
"Mm ... ini gaji terakhir kamu." Dan jawaban lain malah ia dapatkan, pria itu menyerahkan amplop padanya. "Saya sebenernya mau ngasih saat nanti kamu ke sini malam ini, tapi sepertinya lebih awal."
Brendon kaget, kenapa bisa?
"Eh, Pak, kok Brendon dipecat? Dia, kan, karyawan teladan bulan ini, Pak?" Teman Brendon tak terima.
"Yah, dia mungkin teladan dalam pekerjaannya, sifat yang baik dicontoh, tetapi sifat lainnya ... perlu diperbaiki." Mata Brendon membulat sempurna, apa itu soal ... menghamili wanita itu?
Bagaimana ia tahu?
Dan bagaimana bisa karena itu, hidupnya hancur sehancur-hancurnya? Inikah namanya karma?
Kaki Brendon bak jeli, ia terduduk di lantai dengan tatapan kosong di balik kacamatanya selama beberapa saat, sampai akhirnya menangis.
"Pak, saya mohon, Pak, jangan pecat saya! Saya minta maaf, Pak! Saya minta ampun! Hukum saya, kurangi gaji saya! Tapi saya mohon jangan pecat saya!" pintanya memohon, dan gadis itu menatap sendu sobatnya, nyatanya begitupun sang atasan.
"Maaf, tapi ini sudah keputusan bulat saya." Pria itu berkata.
"Pak--"
"Diam, atau kamu saya pecat juga!" Kali ini ancaman itu membungkamkan si gadis. Brendon yang mendengarnya tersentak, dan ia pun berdiri seraya masih terisak.
"Baiklah, saya pergi dulu, Pak." Karena sekalipun menyakitkan, ia tak mau sobatnya terkena imbas dipecat juga, hingga ia memilih beranjak pergi dari sana.
Si gadis ingin menyusul, tetapi suara sang atasan menegurnya, "Kembali ke pekerjaan kamu!"
BERSAMBUNG ....
•••
Cerita An Urie yang lain bisa kalian temukan di
Karyakarsa: anurie
Playstore: An Urie
KAMU SEDANG MEMBACA
NERD DADDY [Brendon Series - Q]
Romance18+ Berita kehamilan Manora menyebar luas di kampus, tetapi dengan kemampuan orang tuanya yang merupakan sosok terpandang semuanya bisa dibungkamkan. Dan kemudian, mereka akan memberikan hukuman pada sosok yang menghamili anak semata wayang mereka...