Drama Sang penggoda

1.1K 44 0
                                    

Aku menatap kearah sahabatku dengan tatapan yang sulit aku jelaskan.

"Eh, Laras, ada apa?" tanyaku sesantai mungkin. Dia celingak-celinguk ke arah rumahku.

"Eh ini, Al. Aku masak tapi kebanyakan, " ucapnya sambil menyodorkan rantang plastik ke arahku. Aku hanya meliriknya sebentar, kemudian mengambilnya dengan Senyum dipaksakan.

Dasar Mak Lampir pintar banget dramanya.

"Mau mampir dulu?" tanyaku basa-basi. Berharap dia menjawab tidak.

"Wah boleh tuh. Lagian aku di rumah jenuh juga," jawabnya sambil terkekeh kecil. Aku yang mendengarnya cuma tersenyum kecut, kecewa.

"Yaudah, yuk masuk!" ajakku

Kemudian masuk, sementara aku hanya mengekor dari belakang.

Dia duduk di ruang tamu, aku menuju ke dapur untuk menyimpan makanan dari dia. Tenang saja akan aku berikan makanan ini kepada kucing,lagian aku tak sudi Mas Rizal harus memakan makanan darinya. Dan aku membuatkan minuman teh untuk dia, aku memberi sedikit kejutan di minuman itu. Kita lihat saja nanti siapa yang akan menang.

Aku membawa teh itu dan melekannya di meja depan Laras.

"Di minum, Ras, " ucapku.

Dia mengambil teh itu dan meminumnya dengan gaya so cantik, bikin aku muak saja.

"Tadi aku lihat berita di tv. Disana seorang sahabat berani banget jadi pelakor. Gak tau malu banget kan, " sindirku.

Uhukkk!

Dia yang sedang minum tersedak karena ucapanku.

"Kamu gapapa, Ras?" tanyaku dengan tampang sedih dibuat-buat. Dia hanya menggeleng dan tersenyum.

Dasar ular

"Masa sih? Berani banget itu orang. Orang yang kayak gitu mah bukan gak punya malu lagi tapi urat malunya udah putus kali," jawabnya sambil tertawa. Ehh buset dia ngatain dirinya sendiri. Aku ikutan tertawa karena dia bukannya tersindir malah ngejudge orang.

Dia menghentikan tawanya dan melihat ke sekeling rumahku.

"Kok di rumahmu sepi, Al?" tanyanya. Aku hanya tersenyum kecut yang dia tanyain bukan maksud kenapa rumah sepi, tapi dia menanyakan itu karena ada udang di balik bakwan. Dia menanyakan suamiku, Mas Rizal secara engga langsung. Emang ini Mak lampir pintar banget ngedramanya.

"Kan kamu tau suamiku kalo jam segini belum pulang, dan Amel pergi les, " jawabku. Dia tersenyum yang dipaksakan,mungkin kecewa karena gak ada Mas Rizal.

Aku mempunyai seorang putri bernama Amel dia udah sekolah Smp, kelas 7.

Laras kemudian memegang perutnya, aku yang melihatnya tersenyum penuh kemenangan.

"Kamu kenapa, Ras?" tanyaku pura-pura panik.

"Gatau Al, perutku tiba-tiba mules gini. Aku pulang dulu!"ucapnya sambil ngacir pergi dari rumah. Sepeningglan dia aku tertawa terbahak.

Tenang aku tidak memasukan racun ke dalam teh nya tapi sedikit kejutan, obat sakit perut.

Tenang ini belum seberapa, ini masih permulaan Mak lampir.

Tak berlangsung lama setelah Mak Lampir pulang, suamiku datang dengan senyum tipisnya, dia menatap ke arahku dengan pandangan heran.

"Kenapa, Bun, senyum-senyum sendiri?" tanyanya heran, aku hanya membalas ucapannya dengan senyum tipis. Tidak mungkin kan, aku mengatakan habis mengerjai selingkuhannya.

"Habis menang arisan ya, Bun," ucapnya lagi sambil memelukku dari belakang.

Untuk sesaat, aku menikmati perlakuan manisnya, meskipun Mas Rizal belum mandi tapi dia tetap wangi.

"Kangen," rengeknya.

"Setiap hari ketemu masa kangen terus sih," sahutku.

"Kalau sama Bunda, berpisah satu menit aja rasanya seperti berabad-abad gak ketemu," gombalnya. Aku hanya memutar bola mataku malas.

"Dih, gombal," pungkasku sambil mencubit tangannya pelan. Dia mengaduh kesakitan, aku hanya tertawa.

Dalam tawa aku memikirkan, bagaimana nasib rumah tanggaku. Akankah aku bertahan dalam posisi seperti ini?

"Hayo, ngelamunin apa?" tanyanya sambil terus mendekapku erat. Aku tak menjawab, hanya diam menikmati dekapan hangatnya.

Bulir bening terus saja meleleh di pipi, ya aku menangis dalam dekapannya.

Bukan PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang