Gak peka

407 28 1
                                    

Malam harinya, Mas Rizal seperti biasa saja, seperti manusia yang tak pernah melakukan dosa. Aku yang melihatnya seperti itu jadi geram sendiri.

Mas Rizal duduk di tepi kasur, sedangkan aku tiduran di kasur. Mas Rizal melirik ke arahku dengan tatapan bingung, terlihat dari wajahnya.

"Mata kamu kenapa, kok sembab gitu?" tanyanya saat melihat ke arah mataku yang memang masih sembab akibat tadi menangis.

"Gapapa, ini cuma kelilipan," elakku. Mas Rizal hanya mengangguk kemudian ikut berbaring di sampingku.

Dasar cowok gak peka.

Aku membalikan badanku untuk membelakanginya. Aku geram dengan tingkah so gak pekanya.

Aku bangun dari tidurku karena ada sesuatu yang harus aku selesaikan.

******

"Mel, udah tidur?" tanyaku dari luar sambil mengetok pintu kamar Amel pelan.

"Belum, Bun," sahutnya dari dalam

"Bunda masuk ya."

"Iya, Bun. Gak di kunci kok pintunya."

Setelah mendapatkan izin dari Amel, aku masuk ke dalam kamarnya. Aku melihat dia sedang membuang sesuatu dengan tergesa-gesa. Amel kembali duduk di tepi kasur, aku mengikutinya, duduk di sampingnya.

Aku memandang wajahnya yang terlihat sedikit pucat.

"Kamu sakit, Mel?" tanyaku khawatir. Anak itu hanya menggelengkan kepalanya pelan.

"Benaran?" tanyaku masih gak percaya dia baik-baik saja. Dia tersenyum.

"Amel, gapapa, Bunda," sahutnya mencoba meyakinkanku. Aku terus memandang wajahnya, tak sengaja melihat hidungnya di sana terlihat bekas darah.

"Kamu mimisan, Mel" tanyaku tambah khawatir. Amel meraba hidungnya, kemudian tersenyum.

"Iya, mungkin karena kecapean, Bun."

"Besok di periksa, ya."

"Ini cuma kecapean aja, Bun," tegasnya. Aku menghela nafas berat, mencoba mempercayainya.

"Bunda, Tumben ke kamar Amel malam-malam gini. Ada apa, Bun?" tanyanya heran.

"Kamu masih marah sama Ayah?" tanyaku balik. Amel hanya diam saja tak menjawab. Aku menghela napas berat.

"Biar bagaimanapun, dia tetap Ayah kamu, Mel. Gak baik loh marahan lama-lama, apalagi ini sama Ayah sendiri," ucapku "Mau seburuk apapun sikap Ayahmu, dia tetap Ayahmu. Bunda gak mau melihat kalian tidak akur. Dan Bunda gak mau anak Bunda menyimpan dendam terhadap siapapun, apalagi keluargamu sendiri" lanjutku. Setelah mengatakan itu aku bangkit dari dudukku.

Hendak membuka pintu, Amel memelukku dari belakang.

"Maafin Amel, Bun," ucapnya sambil menangis dan masih memelukku dari belakang. Aku hanya diam saja menunggu dia berbicara lagi.

"Amel, ngaku salah. Tapi, Amel hanya kecewa dengan Ayah yang selalu mementingkan urusannya sendiri," lanjutnya. Aku membalikan badanku untuk berhadapan dengannya. Aku mengusap kepalanya pelan.

"Besok minta maaf sama Ayah, ya," pintaku.Amel hanya mengangguk. Kemudian memelukku erat aku membalas pelukannya.

"Ayah," ucapnya lirih. Aku membalikan badanku. Di ambang pintu ada Mas Rizal. Pasti dia mendengar ucapanku dengan Amel.

Mas Rizal mendekati Amel, kemudian berjongkok dan langsung memeluk Amel.

"Maafin Ayah, ya," ucap Mas Rizal tulus.

"Amel juga minta maaf, ya,"ucap Amel. Mas Rizal hanya mengangguk dan mencium kening Amel. Aku yang melihatnya tersenyum tipis.

*******

Aku membawa 2 kantung keresek belanjaan. Habis belanja bulanan di supermarket. Aku terus saja berjalan dengan tergesa-gesa karena beban berat.

Bruk!

Saking buru-burunya aku tak menglihat jalanan. Tapi kok aku kayak melayangnya. Pas aku membuka mataku, badanku menegang saat melihat seseorang yang sedang menahan badanku supaya tidak jatuh. Setelah sadar aku buru-buru menegakan badanku.

Aku buru-buru mengambil kantung belanjaanku. Dan buru-buru pergi dari hadapannya.

"Al, tunggu!" teriaknya. Aku yang mendengar teriakannya spontan membalikan badanku.

"Udah lama ya, kita gak ketemu," ucapnya, aku hanya tersenyum kikuk.

"Gimana kabarmu?" tanyanya

"Alhamdulillah baik."

"Makin cantik aja kamu, Al," godanya. Aku yang mendengarnya tersenyum kikuk.

"Idih, kikuk banget kamu, Al. Padahal aku mantan terindahmu," sarkasnya. Aku mencibikan bibirku pelan.

"Gak ada namanya mantan terindah, kalo ninggalin gitu aja," sahutku. Dia yang mendengar perkataanku tertawa renyah.

"Kamu masih aja inget ya, Al," godanya.

Aku memandanganya tajam.

Dasar cowok aneh.

"Mau aku bantuin," tawarnya. Aku hanya menggelengkan kepalaku pelan sebagai jawaban. Dia hanya mengangguk.

"Ya udah, aku duluan, Sal," pamitku sambil berlalu pergi dari hadapannya.

"Kalau nanti kita ketemu lagi, berarti kita berjodoh ya, Al," teriaknya sebelum aku masuk ke dalam mobil.

Dasar cowok sinting.

Aku hanya menggeleng kepalaku pelan, dia selalu saja bertingkah seperti itu, dari dulu tidak ada yang berubah sifatnya.

Aku masuk ke dalam mobil. Dan memghidupkan masin mobilku.

Cowok tadi yang bertemu denganku adalah Faisal, mantan pacarku dulu. Aku dengannya udah lama tidak bertemu. Barusan adalah hari pertama aku bertemu dengannya lagi.

******

"Habis dari mana kamu?"

Aku menatap ke arah Mas Rizal dengan tatapan heran. Kenapa dia seperti marah, padahal aku tak melakukan kesalahan apapun.

"Habis belanja bulanan, Mas," jawabku

Dia menatapku tajam. Aku hanya diam menunduk tak berani menatap wajahnya.

"Habis belanja atau bermesraan bersama mantan pacarmu itu?" tanyanya dingin.

Aku hanya diam tak beraksi apapun, otakku blank untuk mencerna setiap ucapannya.

"Maksudnya?"

Mas Rizal berdecak, sambil berlalu pergi dari hadapanku. Aku menggaruk kepalaku pelan, belum tahu maksud dia seperti apa.

Aku menghela napas pelan, kemudian pergi berlalu untuk menyimpan semua belanjaanku.

Saat hendak membuka pintu kulkas. Badanku dipeluk dari belakang, Mas Rizal memelukku erat sekali. Kepalanya terus mencium leherku, bikin geli.

"Kalau mau kemana pun, harus sama aku. Gak boleh pergi sendiri!" larangnya. Aku masih diam melongo, gak mengerti dengan sikapnya yang tiba-tiba jadi manis seperti ini.

"Kamu paham, kan, Sayang?" tanyanya. Aku buru-buru mengangguk, walau sebenarnya otak masih blank.

Mas Rizal mengusap kepalaku pelan dalam posisi masih memelukku dari belakang, aku yang diperlakukan seperti ini risih. Karena tak bebas untuk bergerak.

"Mas lepas dong, aku susah buat gerak," rajukku. Mas Rizal diam saja tak mendengar rajukanku.

"Mas ..."

"Diam, biarkan aku seperti ini. Nyaman sih," potongnya. Aku hanya menghela napas pelan. Mencoba mengabaikan Mas Rizal.

****

Tbc

Bukan PelakorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang