Pov Amel
Hari ini weekend, rencananya aku mau menjenguk Dio ke rumahnya, apalagi kejadian kemarin. Dio kena bogeman Ayah, padahal Dio tidak salah sama sekali.
Aku menatap penampilanku di cermin, aku hanya memakai kaos lengan pendek dan celana selutut, rambut dibiarkan tergerai, lagian cuma mau ke rumah Dio, gak perlu tampil mewah.
Soal insiden kemarin, aku masih marah terhadap Ayah, dia berani menamparku. Aku tahu aku salah, membolos sekolah, tapi Ayah enggan mendengar alasanku.
Aku bangkit dari dudukku, dan keluar dari kamar. Aku turun dari tangga, Kebetulan kamarku berada di lantai dua. Aku menatap ke arah ruang tamu, di sana terlihat Tante Laras bergelayut manja di lengan Ayah.
Penampakan yang menjijikan.
Tapi di mana Bunda?
Aku memalingkan wajahku ke arah lain, jijik jika harus menyaksikan perselingkuhan Ayahku sendiri.
Perihal perselingkuhan Ayah, aku sudah tahu dari awal, hanya saja aku enggan memberitahu Bunda. Aku tidak mau melihat Bunda sedih akan hal ini. Tapi sekarang Bunda udah mengetahuinya, bahkan semenjak Bunda mengetahui semua itu, Iblis itu semakin berani ke rumah untuk bertemu Ayah, apalagi dapat dukungan dari Nenek.
Aku awal mengetahui semuanya saat itu melihat mereka jalan, saat itu aku tak berani memergoki perselingkuhan mereka karena masih terkejut sama apa yang aku lihat. Setelah 1 bulan aku mengetahui itu, aku baru berani menemui Tante Laras untuk menjauhi keluargaku, tapi Tante Laras dengan gilanya bilang, kalau yang harus pergi adalah Bundaku. Dan setelah itu Tante Laras sering merayuku untuk merestui hubungan mereka.
Cih, sampai kapanpun aku tak akan pernah sudi.
Bunda datang dari arah dapur, malaikat tanpa sayap itu tersenyum ke arahku. Aku membalas senyumannya.
"Amel, mau ke mana?" tanya Bunda lembut. Mereka yang mendengar pertanyaan Bunda menoleh ke arahku. Mungkin Ayah dan Iblis itu terkejut melihat kehadiranku.
Aku menghampiri Bunda "Mau ke rumah Dio, Bun," bisikku. Bunda tersenyum menggodaku.
"Cie mau ngapel, ya," godanya sambil berbisik.
"Engga, Bun. Apaan sih," jawabku sedikit salah tingkah. Bunda yang melihatku seperti itu terkekeh.
"Yaudah, kamu bawa sarapan buat Dio ya, kasihan dia orang tuanya sibuk sama pekerjaan."
"Siap, Bunda."
Aku melewati ruang tamu, Ayah yang melihatku tersenyum, aku hanya diam.
"Mau ke mana, Mel?" tanya Ayah.
"Bukan urusan, Ayah" ketusku. Ayah menatapku tajam. Aku membalas tatapan tajam Ayah.
"Ditanya itu jawabnya yang sopan," ucap Ayah dengan nada naik satu oktaf. Aku memutar bolanya malas.
"Apa peduli, Ayah, tentang Amel hah? Urus saja Iblis itu," sahutku sambil menahan amarah yang kian membucah
"Jangan kurang ajar, kamu!" bentak Ayah. Ayah mengakat tangannya bersiap menamparku, tapi Bunda datang langsung memelukku.
"Stop, Mas!" teriak Bunda. Ayah menurunkan tangannya. Dia pergi dari hadapan aku dan Bunda, Iblis itu terus saja mengekor kemanapun Ayah pergi.
Dasar Iblis sialan
*******
Tok!
Tok!
Tok!"Assalamualaikum, Dio. Ini Amel cantik jelita lagi di luar rumah, buka dong pintunya. Amel ke panasan nih," teriakku.
"YUHU DIO."
"BUKA WOY!"
"DIO JELEK."
Ceklek!
Wanita paruh baya membukakan pintu, aku hanya tersenyum kikuk.
"Ehh Non Amel, kirain Bibi orang gila yang teriak-teriak dari tadi," ucap Bi Ijah. Aku hanya tersenyum kikuk.
"Yaudah, masuk, Non," ucapnya. Aku mengangguk dan masuk ke rumah Dio.
Aku duduk di sofa ruang tamu.
"Bibi panggilin dulu, Den Dio nya. " aku hanya mengangguk. Setelah Bibi pergi aku mengambil remot tv, jenuh juga. Aku udah terbiasa berada di rumah Dio.
"Ternyata lo Mel, ganggu tidur gue aja," ucap Dio sambil berdecak dengan wajah kantuknya. Kemudian dia duduk di sampingku.
"Lo pasti gadang lagi, kan," ucapku malas.
"Tau aja lo. Lagian ini weekend, Mel," sahutnya sambil nyengir. Aku hanya berdeham saja.
"Eh lo bawa apa?" tanyanya yang melihat kotak nasi yang ada di meja. Aku mengalihkan tatapanku ke arah meja.
"Oh itu, sarapan dari Bunda, buat lo," jawabku
"Wih, camer emang paling pengertian kalau calon mantunya emang belum makan," ucapnya sambil mengambil kotak itu. Aku hanya menatapnya.
"Kenapa gue ganteng ya?" tanyanya dengan percaya diri. Aku memutar bola mataku malas.
"Dih, itu masih ada iler," sahutku. Dia menyimpan makanannya di meja dan lari entah kemana.
"Huaa, kenapa lo gak bilang dari tadi Mel?"
"Aduh, gue malu, masa di depan calon pacar."
Aku yang mendengar teriakan Dio seketika tawaku pecah. Mau aja anak itu aku bohongi.
Dia kembali dengan muka lebih fres.
Dia melanjutkan makannya. Aku menatap ke arah film kartun yang sedang aku tonton.
"Ehh gimana keadaan lo?" tanyaku tanpa mengalihkan tatapan dari tv.
"Gue gapapa. Itu hanya bogeman biasa," sahutnya sambil terkekeh. Aku menghela napas dengan gusar.
"Maafin gue ya, lo jadi kena getahnya. Padahal lo gak salah sama sekali," ucapku tulus, Dio tersenyum ke arahku.
"Gue gapapa, Mel. Itu udah jadi tugas gue jagain lo," ucapnya lembut.
"Dulu lo sering banget deh, cium pipi gue," lanjutnya. Aku yang mendengarnya menjitak kepalanya pelan, dia hanya tertawa terbahak.
"Itu waktu kecil lho," sahutku malas. "Lo nyebelin banget sih," lanjutku sambil pergi dari rumah Dio.
Pipiku memanas mendengar perkataan Dio tadi, Dasar Dio nyebelin.
*****
KAMU SEDANG MEMBACA
Bukan Pelakor
Teen FictionTak ada yang senang saat hadir orang ketiga dalam rumah tangga. Alma Amelia harus menyaksikan perselingkuhan Sang Suami dengan sahabatnya sendiri, malah Ibu mertua mendukung kelakuan bejad anaknya. Alma masih bertahan dalam renggang rumah tangganya...