Lia
"Tanteee Nitaaaa..." pekikku saat mendapati sosoknya berdiri di seberang gedung sekolah SMA ini sambil bersandar di depan mobilnya.
Tante Anita atau yang biasa kupanggil Tante Nita terlihat melambaikan tangannya dengan semangat. Aku yang melihatnya pun semakin semangat untuk segera menyebrang dan menghampirinya.
Tidak butuh waktu lama, aku sudah mendaratkan tubuhku ke dalam pelukan Tante Nita yang hangat.
"Udah lama banget nggak jemput aku... Tante udah nggak sayang sama aku ya?" tanyaku sambil bergerutu dalam pelukannya.
"Hahaha... Iya Tante udah berkurang sayangnya sama kamu..." jawab Tante Nita yang kutahu pasti disengaja untuk membuatku terpancing semakin kesal.
"Kenapa lagi sekarang alasannya? Kok ya makin hari Tante makin nggak sayang sama aku?" tanyaku meladeni.
"Soalnya Tante dengar kamu makin keras kepala... bisa-bisanya ngambek nggak mau makan karena nggak dikasih bawa motor ke sekolah..." kini Tante Nita melonggarkan pelukan kami dan memosisikan wajahnya menatap langsung ke wajahku.
Aku pun menghela nafas, "Mama cerita ya?" tanyaku yang sebenarnya tidak memerlukan jawaban.
Tante Nita dan Mama memang sangat dekat, seperti kakak beradik sungguhan. Bahkan mungkin lebih dekat daripada aku dan Nana yang selalu saja bertikai.
"Iya Mama kamu kan selalu cerita apa saja sama Tante... Termasuk sejak kemarin lusa kamu nggak makan di rumah... Ayo ngaku makan di mana kamu? Tante sih nggak yakin kalau kamu bener-bener mogok nggak makan sama sekali..." perkiraan Tante Nita memang selalu tepat.
"Hehe... aku makan di cafe Om Seva dong... Pulang dari cafe juga dibekelin makan buat malam..." aku berujar angkuh.
Aku memang selalu mengandalkan Om Seva untuk membantu memberikan pasokan makanan, ketika sedang merajuk di rumah. Mama tidak akan menghubungi Om Seva lebih dulu, entah kenapa, mungkin karena Papa yang cemburu.
Kecuali Om Seva yang menginfokan ke Mama, maka Mama tidak akan tahu bahwa aku tidak benar-benar mogok makan karena keinginanku tidak disetujui. Sayangnya, aku sudah memohon pada Om Seva untuk tidak memberitahukan hal ini pada Mama, jadi sampai sekarang Mama pasti sedang memohon pada Papa untuk menyetujui keinginanku mengendarai motor sendiri ke sekolah.
Keinginanku itu sebenarnya memiliki alasan yang kuat. Pertama, aku tidak mau menghabiskan waktu terlalu lama di perjalanan jika harus diantar dengan mobil oleh Pak Man supir di rumah. Kedua, aku ingin bisa pulang sesuai dengan jadwalku pulang, tidak harus menyesuaikan untuk menjemput adik-adikku di tempat les mereka masing-masing. Ketiga, aku ingin menunjukkan bahwa pendapat Papa bahwa wanita tidak cocok mengendarai motor itu salah.
Ya, Papa selalu saja menganggap seorang wanita harus bertingkah laku dalam batasan-batasan tertentu. Anggapan ini bisa aku setujui dalam beberapa aspek, tetapi tidak soal mengendarai motor. Memang kenapa wanita tidak cocok mengendarai motor? Sah-sah saja kan? Dasar Papa yang terlalu suka meninggi-ninggikan kaum lelaki.
"Hmmm selalu deh manfaatin Om Seva ya kamu... Emang kenapa sih harus naik motor sendiri sayang? Langganan ojek aja bagaimana? Tadi Tante udah kasih ide ini ke Mama kamu, kalau memang kamu nggak mau dianter mobil lagi..." kini Tante Nita mengajukan saran.
"Nggak ahhh... aku maunya bawa motor sendiri... aku udah bisa kok... udah diajarin sama Cecil teman sekelasku..." aku mengungkapkan kembali keinginanku yang tidak bisa ditawar.
"Iya deh iya... Tante nggak ngurusin lagi ah perdebatan ini... Oh ya kamu libur semester kapan?" kembali Tante Nita bertanya.
"Minggu depan ujian semesteran... Minggu depannya udah jam bebas sih, udah boleh meliburkan diri... Kenapa Tan?" tanyaku penasaran.
"Ikut Tante yuk ke Bali? Liburan..." ajaknya dan membuatku sempat antusias walau hanya sesaat.
Rasa antusiasku mendadak hilang ketika Tante Nita mengucapkan kalimat selanjutnya, "Sekalian si Tama mau ngenalin pacar barunya lagi sama Tante... Aduh itu anak playboy nggak ketulungan nurun dari siapa ya... hahaha..."
*****
Tama
"Halo Tan gimana?" tanyaku langsung saat mengangkat telepon dari Tante Nita.
"Main tanya gimana gimana aja kamu tuh... Salam dulu, tanya kabar Tante sama Om dulu gitu... Tanya Tante udah makan malam belum... Main nyerobot aja tanya cewek..." ceramah panjang Tanteku satu-satunya ini terpaksa kudengar karena memang aku yang salah.
"Hehe sorry Tan... Aku nggak sabar aja denger kabar dari Tante... Tante udah makan malam belum? Kalau belum..." ucapku sengaja terpotong.
"Kalau belum kenapa Tam? Mau mesenin?" jawab Tante Nita masuk dalam jawabanku.
"Kalau belum... ya makan lah Tan... hahahaha" tawaku menggema mengisi sambungan telepon kami.
"Oh gituuuu... oke Tante nggak punya kabar apa-apa... Good night ya Tam... Tante mau tidur dulu udah malem..." ucap Tante Nita dan membuatku sedikit panik.
"Ehh Tannnn... aku bercanda jangan ngambek... kasih tahu dong jadi gimana? Tante jadi ke sini sama Lia?" tanyaku akhirnya sudah tidak sabaran.
"Jadi donggg... Akhirnya setelah dibujuk-bujuk dan Tante juga bantu keinginannya diturunin sama Mama Papanya, akhirnya dia mau ke Bali dua minggu lagi... Emang kamu kenapa sih pengen banget ketemu Lia di Bali Tam?" kini Tante Nita kembali bertanya pertanyaan yang sama yang tidak kujawab sejak pertama kali aku meminta bantuannya membawa gadis dingin itu ke sini.
"Aku ada perlu sama dia Tan... Nanti Tante juga tahu... Bye Tan... and thank you so much..." jawabku sekenanya dan menutup sambungan telepon.
HALOOOOOO
ADUH MELUNCUR JUGA NIH CERITA LIA DAN TAMA :D
KALAU VOTE DAN COMMENT NGGAK BANYAK, BAKAL LAMA UPDATE YA :)
AYO VOTE DAN COMMENT DISEGERAKANNNN
KAMU SEDANG MEMBACA
Magnolia's
RomanceAura dingin yang selalu terpancar ke luar adalah satu-satunya tameng yang dimilikinya. Dia adalah Lia, wanita dingin dan keras kepala. Dia adalah Lia, wanita yang berpendirian teguh. Dia adalah Lia, wanita yang tidak melihat arti dari keberadaan pri...