Part 9 - It's Tama again...

223 42 7
                                    

HAI KETEMU LAGI

MAAF TERNYATA SEMESTA SERINGKALI MEMBUAT AKU MENGHILANG SAAT INI :(

Semoga masih pada setia menunggu kelanjutan cerita Bang Tama yaaa :D

Lia

Aku pulang dari Bali dengan suasana hati yang tidak tenang. Hatiku kembali tertinggal di mana Tama berada. Apalagi setelah aku mendengar sendiri perkataan sayangnya padaku. Namun semua hal yang terjadi antara kami di Bali bukan hal yang tidak bisa kupahami. Aku tahu, Papa dan Mama juga sudah sering mengingatkan, ada batas sentuhan fisik antara pria dan wanita.

Apa yang Tama dan aku lakukan di sana jelas sudah melewati batas. Entah mengapa aku pun yakin memang hanya itu tujuan utama dibalik kata sayang yang diucapkannya padaku. Hatiku kecewa tapi juga menyesali, kenapa tidak kuberikan saja apa yang diinginkannya. Asalkan Tama menjadi milikku?

Suasana hati buruk membawaku masuk ke dalam kamar tanpa bercakap-cakap dengan Papa dan Mama. Aku meninggalkan orang tuaku berbincang dengan Tante Nita dan keluarganya. Begitu saja, aku langsung menelungkupkan wajahku ke bantal, membasahinya dengan air mataku. Air mata penyesalan dan kekesalan.

*****

Aku terbangun keesokan paginya, menuju meja makan dan mendapati Papa dan Mama sedang berbincang seru. Langkah kakiku mendekati kursi di samping Nana, bergabung dan mencoba menyimak apa yang sedang mereka perbincangkan.

"Iya Pa. Pinter banget 'kan Tama tuh," Mama mengucapkan nama yang membuatku menangis seharian kemarin.

"Papa tahu dia pinter secara akademis Ma. Wajar kalau dilihat dari Ayah sama Bundanya 'kan. Tapi yang Papa salut banget ternyata Tama juga punya bakat bisnis seperti Ayahnya. Dia bahkan siap buka cabang bisnisnya itu di Bandung, tempat dia akan melanjutkan kuliah," kini Papa yang berbicara dan menyebutkan nama kota yang belum pernah kudengar sebelumnya.

"Bandung?" aku berucap tanya karena tidak dapat menahan rasa ingin tahu lagi.

"Liaa lho udah gabung aja, Mama sampai nggak sadar. Mau makan apa sayang?" fokus Mama langsung teralihkan pada kebutuhan sarapanku. Namun saat ini bukan itu yang menjadi fokusku.

Aku kembali menanya, "Bandung?"

Kali ini Papa yang merespon, "Iya sayang. Tama keterima di kampus ternama di Bandung. Ternyata memang sesuai juga sama bisnis yang lagi dia rintis. Jadi dia dalam waktu dekat akan pindah ke Bandung, kuliah dan kembangkan bisnisnya."

"Bukannya ... bukannya ... Bang Tama mau kuliah ke Jakarta?" aku akhirnya menanyakan pertanyaan terbesar yang kutahan sejak mendengar nama kota Bandung tadi.

"Bang Tama bilang kuliah di Jakarta kok. Papa sama Mama nggak salah denger 'kan? Bang Tama ... Abang kenapa nggak jadi kuliah di Jakarta?" kembali aku bertanya kini bahkan sudah dengan air mata yang menggenang di pelupuk mata.

Belum selesai rasa kesalku kemarin, kini aku kembali dikecewakan. Harus berapa kali lagi Tama tidak menepati kata-katanya? Bahkan kini dia tidak lagi ingin menemuiku di Jakarta? Begitukah?

*****

Sejak mengetahui bahwa Tama tidak menepati janjinya yang akan kembali ada dekat denganku di Jakarta, aku bertekad melupakannya. Benar-benar melupakannya, hingga rasa benci pun tidak rela kurasakan lagi seperti sebelumnya.

Nama Tama akan kuhapus seluruhnya dalam hidupku. Itu niatku!

Salah satu cara paling ampuh mempercepat proses melupakannya adalah dengan fokus belajar. Kebetulan sekali aku pun sudah naik ke kelas 11 yang artinya semakin dekat akan lulus dari SMA. Aku sejak dulu memang sudah cukup berprestasi, tapi kali ini aku ingin lebih berprestasi.

Magnolia'sTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang