T I G A

2.5K 406 43
                                    

Sunyi menemani Jeselin dan Jeffrey yang saat ini tengah ada di dalam kamar mereka. Selepas makan malam mereka langsung masuk ke kamar karena katanya Jeselin ingin membicarakan suatu hal pada prianya.

Keduanya saat ini tengah duduk di pinggir kasur. Samping-sampingan, namun tak ada yang membuka suara.

Jeselin menghela napas sejenak. "Besok tanggal merah. Mas besok libur?" tanya Jeselin.

Jeffrey mengangguk sembari menatap Jeselin yang diketahuinya sedari tadi meremas-remas tangannya sendiri, lalu Jeffrey bertanya, "Iya, memangnya kenapa?"

Pria itu menatap sang istri. Ia tahu istrinya ingin menyampaikan suatu hal yang penting, namun bukan hal barusan.

Jeselin menggelengkan kepalanya. "A-ah enggak ada apa-apa kok," jawab Jeselin.

Jeffrey menggenggam tangan Jeselin yang sedari tadi meremas tangannya sendiri. Ia memegang dagu Jeselin, lalu mengarahkannya untuk melihat ke arahnya. Jeselin menatap Jeffrey dan Jeffrey juga menatap Jeselin.

"Aku tahu, tadi Jaffan enggak masuk kelas taekwondo, kan?" tanya Jeffrey.

Jeselin mengangguk. Namun, bukan hal itu yang ingin dibahas olehnya. Dia ingin membahas hal yang selama ini ada di pikirannya.

"Kenapa dia enggak masuk kelas?" tanya Jeffrey.

"D-dia bilang kalau dia bosan karena semua temannya main bareng saudaranya," jelas Jeselin.

"Aku enggak tahu harus gimana lagi, Mas," imbuh Jeselin.

Pertahanan Jeselin kali ini runtuh, ia terisak. Ia juga pernah merasakan apa yang Jaffan rasakan, karena dirinya adalah anak tunggal, ia juga merasakan kesepian sebelum menikah dengan Jeffrey, ia bertekad untuk tidak menciptakan Jeselin lainnya di dunia ini. Ia tak ingin putranya merasakan yang namanya kesepian. Jeselin semakin menangis ketika Jeffrey merengkuh tubuhnya untuk masuk ke dalam pelukannya. Dapat ia rasakan sebuah usapan di surainya.

"Maafi aku Mas," sela Jeselin, "maaf kalau selama ini aku belum bisa buat kamu bahagia," ucapnya disela tangisnya.

Jeffrey menggelengkan kepalanya. "Kamu udah buat aku bahagia selama ini, Sayang. Bahkan lebih dari kata bahagia, Sayang," jelas Jeffrey.

Jeselin menggelengkan kepalanya. "Maafi aku karena selama kita menikah aku baru bisa kasih Mas satu keturunan." Tangisnya semakin pecah di dalam dekapan Jeffrey.

Jeffrey tak tahu apa yang dipikirkan oleh istrinya, anak memang pelengkap dalam suatu hubungan rumah tangga, tapi bukankah keluarga mereka telah lengkap karena adanya Jaffan? Jadi apa yang dibutuhkan lagi? Ia tak memberatkan Jeselin untuk mengandung lagi, karena ia tahu bahwa istrinya memiliki trauma di masa lalu. "Aku enggak pernah paksa kamu untuk mengandung lagi, Jes. Bahkan, Jaffan sudah cukup buat aku. Selama ini aku memang sering jahili Jaffan dengan kata-kata adik, tapi niat aku bukan untuk memaksa kamu, Sayang," jelas Jeffrey yang semakin mengeratkan pelukannya.

Jeffrey berusaha untuk menahan air matanya agar tak turun dengan cara mendongakkan kepalanya. Ia menarik napas dan membuangnya beberapa kali.

"Maaf," lirih Jeselin berkali-kali.

Jeffrey menggelengkan kepalanya. Ia langsung melepaskan pelukan itu dan menangkup wajah Jeselin. Dapat dilihatnya wajah sembab itu, dengan mata merah dan pipi yang dibasahi oleh air mata. "Kamu enggak perlu minta maaf, karena ini bukan kesalahan kamu," tutur Jeffrey.

Jeselin sesenggukan, lalu berkata, "Aku mau," sela Jeselin, "aku siap kalau kita tambah lagi, Mas." Jeselin sudah mengambil keputusannya. Ia akan berpegang teguh pada ucapannya.

"Kalau kamu cuman mau buat aku bahagia, enggak perlu begini, Sayang. Karena bahagia aku itu kamu, kalau kamu belum siap, aku janji enggak bakal bertindak. Aku masih bisa menunggu," ucap Jeffrey.

Keluarga Bapak Jeffrey [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang