P R O L O G

5.6K 571 51
                                    

Saat ini, sepasang ayah dan anak tengah asyik bersantai di ruang tengah rumah mereka dengan ditemani televisi yang menampilkan kartun si spons kuning dengan teman bintang lautnya yang berwarna merah jambu.

Tiba-tiba secercah ide muncul di kepala sang ayah untuk mengerjai putra semata wayangnya. Bagi sang ayah, tiada hari tanpa menjahili putra kecilnya itu.

"Jaffan," panggil Jeffrey pada anaknya sambil menusuk-nusuk pipi gembil yang sedari tadi sibuk mengunyah chiki-chiki yang baru saja dibeli pagi tadi.

Jaffan yang terganggu akibat perlakuan sang ayah pun langsung mencoba untuk membuat tangan berotot itu berhenti dari kegiatannya.

"Ihhhh, Ayah!!!" geram Jaffan dengan pandangan sengit yang dihadiahi untuk sang ayah. Namun, setelahnya anak itu fokus kembali ke kartun yang ditontonnya.

Jeffrey terkekeh karena berhasil menjahili putranya sampai-sampai anak itu menatapnya sengit, ya walaupun baginya tatapan itu tak ada apa-apanya. Namun, beda lagi kalau sudah sang istri yang menatapnya seperti itu.

"Jaffan," panggil Jeffrey lagi.

Terdengar sebuah dengusan geram dari anak 4 tahun itu. "Kenapa, Ayah?" tanya Jaffan disertai fake smile-nya.

Jeffrey memasang senyum gemasnya, lalu mencubit kedua pipi gembil milik sang putra. Ia memindahkan putranya ke atas pangkuannya. Menatap wajah mungil itu saksama. Ternyata dilihat-lihat putranya ini tampan juga, tapi masih saja lebih tampan dirinya.

"Jaffan mau punya adik lagi enggak?" tanya Jeffrey.

Sejenak Jaffan terdiam dan menaruh jari telunjuknya di dagu, seolah-olah sedang berpikir. Beberapa saat kemudian Jaffan menggelengkan kepalanya, "Enggak mau ah."

Jeffrey menghentikan Jaffan yang ingin kembali memakan camilannya. Pria itu mengambil dan meletakkan chiki itu jauh di ujung meja.

"Why? Mau ya, please?" tanya Jeffrey dengan nada seperti anak-anak.

"No! The point is Jaffan doesn't want to have another younger brother, period!" jawab Jaffan tegas.

"Jaffan tadi cuman bilang younger brother, berarti kalau younger sister boleh?" tanya Jeffrey dengan antusias.

"No! Mau dua-duanya enggak boleh!" jawab Jaffan.

"Kenapa memangnya Jaffan enggak mau punya adik?" tanya Jeffrey.

"Karena kalo Jaffan punya adik pasti Ayah sama bunda lebih sayang ke adik Jaffan daripada Jaffan sendiri, terus pasti nanti apa-apa yang adik Jaffan minta dituruti, sedangkan Jaffan enggak," tutur Jaffan dengan postur seperti ibu yang sedang memarahi sang anak.

Jeffrey membulatkan matanya. Terus dia berpikir, jadi apa selama ini dirinya kurang memberi kasih sayang pada bocah di depannya ini, atau anaknya saja yang melebih-lebihkan? "Memang selama ini Ayah enggak nurutin apa yang Jaffan mau? Kan Ayah nurutin semua kemauan Jaffan," jelas Jeffrey.

Mendengar itu Jaffan langsung berpikir alasan apalagi yang akan ia keluarkan. Tiba-tiba suatu alasan muncul di otaknya. "Ta-tapi nanti pasti kalo Jaffan sudah ada adik, pasti lebih banyak adik yang dituruti daripada Jaffan," dalih bocah 4 tahun yang otaknya seperti remaja yang sudah pandai berdalih.

"Nah, kan belum terbukti. Berarti hoax dong, soalnya Jaffan belum punya buktinya. Jadi, harus dibuktikan dulu," timpal Jeffrey.

"Enggak! Pokoknya Jaffan enggak mau punya adik!" pekik Jaffan, namun mulut kecil itu langsung dibekam oleh tangan besar sang ayah.

"Udah gini aja, Jaffan mau apa biar mau punya adik?" tawar Jeffrey.

Saatnya mulai aksi sogok-menyogok. Jeffrey tersenyum di dalam hati. Tak apalah ia mengeluarkan uang, yang penting bisa punya anak lagi. Kesempatan tak boleh disia-siakan. Putranya pasti menerima tawarannya.

"Jaffan mau rumah pohon yang di desa kemarin kita ke sana itu loh, Ayah," sahut Jaffan dengan semangat yang menggebu-gebu.

Senyuman lebar langsung menghiasi wajah Jeffrey. "Okey, besok kita ke sana buat cari rumah pohon yang Jaffan mau," ucap Jeffrey.

"Tapi Jaffan setuju mau punya adik, kan?" tanya Jeffrey memastikan.

Jaffan menganggukkan lalu turun dari pangkuan sang ayah dan berjalan ke ujung meja untuk mengambil chiki yang ayahnya taruh tadi. Dan kembali duduk di sofa dengan ditemani kartun yang berbeda, kali ini dia menonton kartun asal negara jiran.

Jeffrey langsung berdiri dan melakukan selebrasi sejenak, sebelum ia berteriak, "Sayang! Jaffan udah setuju nih mau punya adik! Ayo buatin untuk Jaffan!"

Jeselin yang tengah sibuk di dapur pun langsung menghela napas kasar, kemudian dia melangkahkan kakinya menuju ruang tengah, tempat di mana Jeffrey dan Jaffan berada. Dengan sutil di tangannya dan jangan lupakan muka galaknya, Jeselin datang dan langsung berkacak pinggang.

"Mas iming-imingi apa Jaffan?!" tuduh Jeselin.

Jeffrey meneguk ludahnya kasar ketika melihat bagaimana garangnya yang istri. "G-gak ada kok, Jaffan bilang sendiri ke aku kalau dia mau punya adik," jawab Jeffrey.

Dengan jahatnya Jaffan menghampiri sang bunda dan menggelengkan kepalanya. "Enggak, Bunda, tadi katanya Ayah mau belikan Jaffan rumah pohon yang ada di desa yang kemarin itu kita datangi," beber Jaffan.

Jeselin menatap suaminya kembali setelah ia mengalihkan pandangannya ke arah sang putra sejenak. Seketika nyali Jeffrey langsung menciut. Ia juga merutuki Jaffan yang malah mengadu ke Jeselin.

"N-nanti a-aku beliin pecelnya mang Agus deh," bujuk Jeffrey tiba-tiba. Entahlah, tiba-tiba kalimat itu muncul di otaknya.

Jeselin semakin menatap tajam suaminya. "Boleh, sama seblaknya yang pedas pokoknya." Setelah menjawab Jeselin langsung kembali ke dapur meninggalkan sang suami yang tengah menatap sang anak sengit.

Sepeninggal Jeselin, Jeffrey menatap anaknya yang sedang tersenyum sambil menggaruk-garuk kepalanya.

"Dadah, Ayah! Jaffan main ke lapangan dulu!" seru Jaffan dan meninggalkan sang ayah.

revisi : Medan, 11 Maret 2022

Keluarga Bapak Jeffrey [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang