E M P A T

2.3K 363 21
                                    

Sesampainya di hotel, Jaffan langsung mengurung dirinya di dalam kamar mandi dengan niatan agar orang tuanya tahu bahwa dirinya sedang marah. Di luar kamar mandi, Jeselin dan Jeffrey berusaha membujuk anak mereka agar mau keluar. Tetapi, berbagai cara yang mereka lakukan sama sekali tak mempan membujuk anak itu.

"Woah, es krim!" pekik Jeffrey.

Dari dalam kamar mandi Jaffan dapat mendengar pekikan sang ayah yang menyerukan es krim. "Huh? Es krim? Apakah Jaffan harus keluar?" gumamnya.

Perlahan-lahan Jaffan memutar kunci kamar mandi dan membuka pintu itu, namun hanya sedikit saja. Jaffan mengintip dari balik pintu, di sana kedua orang tuanya sedang asyik menikmati es krim. Dan saat itu juga Jaffan mulai keluar dari kamar mandi.

"Jaffan mau es krim! Jaffan mau es krim!" pekik Jaffan sambil meloncat-loncat kesenangan.

Jaffan langsung naik ke atas pangkuan sang bunda dengan tidak sabar. Hal itu membuat Jeselin sedikit meringis.

"Yah, udah habis," ucap Jeffrey sembari menekuk sudut bibirnya ke bawah. Ia menunjukkan kedua tangannya yang sudah kosong akan es krim.

"Ih ...! Pasti Ayah kan yang habisi," tuduh Jaffan sambil menunjuk wajah ayahnya.

Jeselin memegang tangan Jaffan dan menurunkannya. "Enggak boleh tunjuk-tunjuk begitu," tegur Jeselin.

Bukannya memintanya dengan baik-baik, Jaffan malah memukul ayahnya. Tetapi, Jeffrey sama sekali tak menangkisnya. Percuma juga dia menangkis, pukulan Jaffan bahkan tak berasa apa pun baginya, baginya pukulan hanya sebuah angin kecil.

"Jaffan, Ayahnya jangan dipukuli begitu, nanti enggak Bunda kasih es krim loh," perintah Jeselin.

Seketika Jaffan berhenti memukuli ayahnya dan langsung menatap ke arah sang bunda. "Mau es krim, Bunda," pinta Jaffan dengan mata yang berkaca-kaca.

"Enggak, kamu kan lagi pilek," sahut Jeselin.

Mendengar hal itu membuat Jaffan merengek kepada Jeselin agar dirinya diberikan es krim. Awalnya memang merengek, tapi lama kelamaan rengekan Jaffan berubah menjadi isak tangis. Jeselin? Dia tidak peduli dengan itu, dia lebih memilih kesehatan anaknya dari pada permintaan itu. Jeffrey bahkan mulai muak mendengar isak tangis Jaffan yang sedari tak kunjung reda walau sudah ditawar berbagai macam barang lainnya.

"Jaffan, stop crying," tegas Jeselin.

Mendengar ucapan tegas dari sang bunda membuat Jaffan mulai menghentikan tangisnya dan terdiam sambil menundukkan kepalanya dalam-dalam.

Jeffrey yang tak tega melihat anaknya sesenggukan pun mencoba mencari cara. "Ayo, kita pergi beli mainan aja ya?" tawar Jeffrey, tapi dibalas gelengan oleh anaknya.

"Atau mau main timezone?" tambah Jeffrey. Tetapi, lagi-lagi Jaffan menggeleng.

"J-Jaffan bersama Bunda aja," jawab Jaffan sambil memeluk sang bunda.

Jeffrey tersenyum melihat anaknya yang begitu imut itu. Tapi, ia juga sedikit kasihan pada putranya karena tidak mendapatkan keinginannya. Jika bersama Jeffrey apa pun keinginan anak itu pasti akan dituruti, namun kalau bersama sang bunda belum tentu, karena Jeselin mempertimbangkan banyak hal, seperti kesehatan putra mereka dan hal itu dapat Jeffrey mengerti.

Jaffan memeluk Jeselin dan Jeselin pun membalas pelukan hangat putranya.

Melihat hal manis itu tentu membuat Jeffrey ingin mengganggunya. "Ayah enggak diajak nih?" tanya Jeffrey.

"Jangan ganggu deh," perintah Jeselin.

Jeffrey membulatkan matanya dan langsung bergabung dalam pelukan hangat itu.

Keluarga Bapak Jeffrey [REVISI]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang