2. Bulan Bima🤵💔

8 2 0
                                    

23 November 20xx 🌧️

Suara petir terdengar dari berbagai penjuru kota. Rintik-rintik hujan yang kian menjadi deras, mendominasi atmosfer kota yang penuh hiruk pikuk kehidupan. Suara percik air hujan yang terus menjatuhi permukaan, mengalahkan suara sirine mobil ambulans yang membelah laju kendaraan di jalan malam itu.

Seorang anak laki-laki dengan rambut hitam terangnya tengah menyeruput secangkir coklat panas yang baru saja dibuatkan oleh ibu kesayangannya.

Kring ... Kring ...

Sebuah bunyi yang nyaring terdengar dari salah satu ruangan di sana. Bunyinya begitu nyaring, namun begitu jauh lebih kentara bunyi-bunyian hujan yang membasahi kota.

Kring ... Kring ...

Ting

Ting

Berpuluh-puluh notifikasi dari ponselnya sama sekali tidak mengalihkan perhatiannya dari coklat panas dalam genggaman tangan mungilnya.

Prang

Tanpa sengaja cangkir itu tergelincir dari genggamannya, cangkirnya pecah dan serpihannya menyebar disekitar kaki anak itu.

"Argh ...", ujar anak itu kesakitan kala salah satu serpihannya menjatuhi dan menggores kakinya yang tidak mengenakan alas kaki. Darahnya mulai menitik perlahan-lahan, hingga akhirnya memenuhi ruang tamu rumah anak itu.

Dengan cekatan namun tertatih-tatih, anak itu pergi ke kamar mandi dan membasuh lukanya dengan air yang mengalir. Dia meraih pakaian kotornya yang tergantung di tembok dan mulai mengikat kakinya sendiri walau tak jarang ia merintih kesakitan.

Anak itu berjalan dengan pincang juga beberapa rintihan kesakitan. Ia menaiki tangga perlahan-lahan dan mulai memasuki kamarnya.

"Ah, aku harus merebahkan kakiku sebentar."

Ting

Ting

Ia melihat ponselnya terus menyala dan terus mengeluarkan notifikasi dan dering yang membuat bising kamarnya. Dia mengulurkan tangannya, berusaha menjangkau ponselnya yang berada di atas nakas kamarnya.

12 panggilan tidak terjawab

15 pesan tidak terbaca

Kring ...

+6288xx-xxxx-xxxx

"Siapa ini? Mengapa dia terus mengubungi aku?"

Karena rasa penasaran, akhirnya ia memutuskan untuk menggeser ikon hijau yang tertera di layar. Tapi entah kenapa tiba-tiba jantungnya berdegup kencang tak karuan.

"H-halo?", tanya anak itu dengan perasaan khawatir yang berkecamuk.

...

"A-apa ...?!"

🐶❤️🐶

"Mama! Mama bangun!"

"Mama!!"

"Mama ayo bangun!!"

"Mama, Bulan takut hiks ... Mama!!!"

Anak itu terus menangis dan menjerit tak henti-hentinya. Tangisan dan jeritannya seolah begitu menggambarkan keadaannya saat ini. Dibawah hujan dan petir yang bersahutan, dia menuangkan seluruh perasaannya.

Kakinya yang terluka gemetaran, jantungnya seolah berhenti berdetak, dan raganya seolah ada yang merampasnya begitu saja. Untuk sekedar berdiri saja ia sudah tak mampu. Hatinya begitu sakit, dan penuh ketakutan. Bahkan untuk memikirkan bagaimana bisa Mamanya bisa ada di tempat ini saja ia tidak sempat.

"Bima, kemari ...", ucap seorang pria berkacamata tebal dengan rambutnya yang kini telah memutih yang tiba-tiba memasuki ruangan dan memanggil Bima, anak itu.

Bima menoleh, dan memilih tak menghiraukan ucapan pria itu walaupun pria itu merupakan kakek kandungnya sendiri.

Bima menunduk dan menggenggam erat tangan dingin yang kini terbaring lemah diatas ranjang ruangan yang dipenuhi dengan bau obat-obatan yang begitu kentara. Tangan yang dulu selalu mengelus halus rambutnya saat Bima ingin terlelap, tangan yang dulu menopangnya saat ia masih tak mahir berdiri dan melangkah. Tangan yang selalu memiliki sihir penuh cinta tak terbatas untuknya.

Bima mengelus perlahan tangan dingin dalam genggamannya itu dan menumpukan kepalanya ke atas sana. Mencoba menutupi kerapuhan dirinya dengan menutup wajahnya. Namun, pada kenyataannya isakan Bima terlalu memilukan hingga hujan saja tak sanggup untuk menutupi tangisannya.

"Ma ... mama ...."

Bima tidak pernah tahu, bahwa tadi sore merupakan saat-saat terakhir ia bisa tertawa lepas bersama mamanya. Bima tidak pernah tahu, bahwa mamanya akan terbaring lemah tak berdaya seperti sekarang ini dalam sekali kedipan mata.

"Bima ... ayo keluar sebentar, kakek sudah membawa baju ganti untuk kamu.", ucap pria tadi--kakek Bima.

"Aku ingin bersama Mama ... kasian mama, kek ...", jawab Bima dengan isak tangis yang belum juga mereda.

"Bima, baju kamu basah tadi terkena hujan ... kamu tidak mau bukan kalau mama nanti menangis kalau tau Bima sakit?"

Kakek terus merayu Bima, walaupun tahu kalau Bima tidak akan luluh dengan mudah.

Bima hanya mampu menangis dan mulai menuruti perkataan kakeknya. Lagipula ia tidak ingin jatuh sakit.

"Baiklah."

'Mama, maaf aku tidak bisa menjagamu dengan baik. Andai aku tahu akan seperti ini kejadiannya, aku tidak akan mengijinkan mama pergi.', batin Bima sembari meninggalkan kecupan kecil di punggung tangan mamanya.

🐶❤️🐶

Cerita ini diikutsertakan dalam APproject individu generasi keempat.

Cerita ini diikutsertakan dalam APproject individu generasi keempat

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ini bonus pict Bima atau ya kalau kalian tau itu siapa wkwkw lagi nangis ya~ Dia itu nangis karena aku ga angkat telpon dia tadi btw:)

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Ini bonus pict Bima atau ya kalau kalian tau itu siapa wkwkw lagi nangis ya~ Dia itu nangis karena aku ga angkat telpon dia tadi btw:)

My Secret Lovers From Another Galaxy #APprojectTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang