[ Onze - Truth]

1.3K 229 150
                                    

Apapun yang membuatmu
nggak percaya relationship ataupun lelaki.
Satu yang harus kamu ingat,
Nggak semua lelaki itu brengsek dan
Nggak semua relationship itu toxic.
~Reinaldi Ramdan

🎵 Honne - No song without you

❄️❄️❄️

Keterdiaman Ino setelah kalimat yang diucapkannya membawa Aeri pada sebuah kesadaran. Dirinya terlalu egois kali ini. Keegoisan yang jelas akan berakhir buruk jika dirinya tetap memaksakan permintaannya kali ini. Aeri tahu itu, tapi untuk kali ini saja ia ingin menjadi egois.

Bayangan akan pernikahan –tidak, bayangan akan sebuah hubungan dengan lelaki, membuat hatinya terasa ngilu. Rasa sakit itu muncul kembali ke permukaan bersama dengan kenangan masa lalu. Kenangan yang selalu ingin ia kubur rapat-rapat. Ia takut, akan kembali terpuruk seperti saat empat belas tahun lalu.

"Udah dua orang yang minta gue jadi tameng. Am i that charming to be a shield?"

Aeri tertawa kecil sebelum kemudian mengernyit. "Sapa yang minta lo jadi tameng?"

Ino hanya tersenyum tanpa menjawab pertanyaan Aeri. Membuat gadis itu mengernyit heran. Aeri masih bertanya-tanya siapa yang mempunyai masalah nyaris sama dengannya sampai-sampai membutuhkan tameng, sampai satu nama muncul di kepalanya. Ada satu nama yang terlintas tapi melihat keengganan Ino, Aeri pun memilih tidak membahasnya lebih lanjut.

"I haven't say yes. Both of you." Ino menatap Aeri lekat. Lelaki itu sudah kembali berpindah duduk di sampaing Aeri. "Karena menurut gue, itu bukan sebuah solusi."

"I know." Aeri menghela napas. "But, he's just unstopabble. Gue nggak tau harus nolak dia seperti apa lagi."

Akhirnya, meluncurlah cerita tentang Naren yang ternyata adalah lelaki yang melamarnya. Aeri menceritakan apa yang terjadi tanpa ada kurang sedikitpun. Sesekali Ino mengerutkan kening mendengar cerita Aeri. Senyum terbit di wajah Ino setelah Aeri menyelesaikan ceritanya. Senyum yang entah kenapa kali ini Aeri tidak bisa membaca maksudnya.

"Everything turns out great. Lelaki yang melamar lo adalah lelaki yang bikin lo ngerasa tertarik. Aw!" Ino mengaduh di akhir kalimatnya karena cubitan dari Aeri yang merasa kesal dengan tanggapan Ino. "What?! There's nothing wrong with that. Nggak ada yang salah dengan mencoba untuk mengenal lelaki itu, Sy." Tatapan Ino berubah serius. Meski terbalut candaan, Aeri tahu pasti, ucapan Ino kali ini serius.

Aeri menghela napas pelan. Ino sepertinya tidak begitu memahami apa yang ia rasakan saat ini. Gadis itu menatap gusar ke arah Ino. "No, dia bilang dia udah suka gue sejak lama. Sejak kapan? Gue bahkan nggak ingat dia pernah ada di hidup gue. Gue ngeri membayangkan ada lelaki yang gue bahkan nggak mengenal tapi suka gue sejak lama. Gue takut. It  just that ... it almost the same."

Ino mengernyit sejenak sebelum kemudian terlihat memejamkan mata. "You're not your mom. You are stronger and smarter. Gue yakin lo nggak akan buta untuk membedakan mana lelaki yang baik dan buruk. I'm one of the example."

Aeri terdiam sesaat. Bagaimana bisa Ino justru sangat yakin pada dirinya sedang ia sendiri tidak yakin pada dirinya sendiri.

"Gue ngeri, setelah gue tau dia cowok yang ngelamar gue, gue gemetar tiap kali mikirin dia. Tadi pagi aja, waktu dia ke sini—"

SOLICITUDETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang