Bab 1 Awal pertemuan

80 5 0
                                    



Sudah hampir satu minggu, aku bekerja di salah satu kafe Tenda Biru yang berada di daerah terpencil, di ujung kota Jambi. Meski masih pedesaan, tapi cukup padat penduduk.  Sebenarnya bukan menjadi seorang waiters, pekerjaan yang ku mau. Namun, apa hendak dikata tak ada pekerjaan lain yang instan dengan gaji lumayan.

Aku hanyalah seorang janda beranak dua yang kedua anak tersebut masih butuh banyak biaya sekolah. Keluarga juga orang yang tidak punya, hanya tinggal ibu dan adik perempuan saja. Ayah sudah meninggal karena sakit usus buntu. Sementara sang adik yang bernama, Mona dia pun seorang janda yang ditinggal menikah lagi.

Mona adikku itu hanya bekerja di pabrik minyak, dengan gaji kecil. Untungnya saja dia belum mempunyai keturunan. Sedangkan ibu, hanya penjualan kue keliling kampung. Penghasilan keduanya tidak mencukupi untuk biaya hidup sehari-hari dan juga biaya sekolah kedua anakku. Rumah masih menyewa, meski perbulannya murah, tapi tetap pusing untuk membayar.

Sebab itu, aku harus keluar kandang untuk memperbaiki nasib keluarga yang serba kekurangan ini. Ibu semula keberatan putrinya yang cantik ini merantau jauh.

"Neng, ibu khawatir kalau kamu kerja jauh. Nanti, jika ada apa-apa, bagaimana?" kata ibu kala aku mengutarakan maksud ingin bekerja di daerah Jambi.

"Alah, Ibu. Lampung-Jambi itu kan, dekat. Bisa pulang kapan mau. Makanya aku enggak mau kerja jadi TKW. Takut enggak bisa pulang lagi," ujarku menatap wajah tuanya itu yang tampak khawatir.

"Iya, sih. Tapi, Ibu tetap saja khawatir."

"Tenang lah, Bu. Seperti Eneng ini anak kecil saja. Ingat, sudah beranak dua lho," pungkasku sambil menjawil pipi kempot ibu.

"Emangnya di sana nanti kerja apa, Neng?" tanyanya lagi. Kebetulan malam itu anak-anak sedang pada mengaji di Musolah sekalian menunggu sholat isya. Mona sedang bekerja, dia kebagian sift malam. Tinggal aku dan ibu.

"Kata si Dewi sih, kami mau kerja di restoran. Gajinya lumayan besar, Bu."

Aku menjelaskan dengan menerawang, membayangkan bagaimana suasana di daerah yang sama sekali belum pernah dikunjungi. Padahal ibu tidak tahu, jika sebenarnya aku sedang berbohong. Pekerjaan tersebut bukanlah di restoran, melainkan sebuah kafe, tempat orang happy dan mabuk.

Sedangkan Dewi adalah tetangga yang mengajak aku dan dua tetangga lain bekerja di sana. Dewi terbilang sudah profesional bekerja di tempat hiburan malam. Hitung-hitung mencari pengalaman di kampung orang.

Akhirnya ibu mengizinkan juga. Begitu pun kedua putra putriku yang masing-masing berusia 12 tahun dan 9 tahun. Mereka aku iming-imingi dengan membelikan barang-berang yang diinginkan.

Si Kakak bernama Riyan, minta dibelikan handphone Android. Sang adik, Alya minta dibelikan sepeda. Lalu, Mona minta dibelikan pakaian muslim dan ibu minta mukena. Semua itu In Sya Allah bisa aku turuti.

***

Bukan hanya permintaan mereka yang aku pikirkan, tapi juga harus punya tabungan untuk biaya sekolah Riyan yang tak lama lagi akan masuk bangku SMP. Juga memikirkan membeli rumah kecil buat keluarga tercinta.

Sedangkan suamiku, entah pergi kemana tidak ada kabar beritanya sudah hampir 5 tahun. Menceraikan tidak, dinafkahi pun enggak. Statusku kini adalah janda bodong. Tidak ada surat cerai resmi, tapi menurut syariat agama itu sudah jatuh talak tiga selama empat tahun tidak dinafkahi lahir batin.

Selama itu juga, aku menahan syahwat dalam diri. Mencoba setia dengan tidak mencari pengganti. Bukannya tidak laku, tapi masih trauma. Maka, ku habiskan waktu bekerja di pabrik kayu, yang pergi pagi pulang malam. Pergi malam, pulang pagi. Selebihnya hanya istirahat di rumah. Jadi mana ada waktu untuk mengenal cinta lagi.

"Woi, Maya! Tuh, ada tamu di luar. Suruh masuk. Bengong saja kau, seperti sapi ompong," seru Meli Ambon rekan kerja yang memang agak jutek.

Aku tergagap karena terkejut tadi dia teriak. Kemudian melongok room karaoke yang sudah ramai pengunjung. Berarti lama sekali termenung, sampai tidak menyadari lagi.

"I-iya, Mel. Mana orangnya?" Aku bangkit dari sofa dalam ruang tunggu.

"Tuh, dua orang. Berondong, lagi," ujar Meli tertawa lebar menunjukkan barisan giginya yang besar-besar, sambil menunjuk ke arah luar. Segera ingin melangkah untuk menemui dua tamu tersebut, Lydia muncul.

"Hei, Lydia! Sini, temani Maya tuh, melobi tamu berondong. Kamu kan, teman satu kampung dia ya?" Meli menatap padaku yang baru melangkah omongannya memang terdengar, karena suara wanita berkulit hitam manis itu memang besar dan berat. Lydia mengangguk, tak lama, ia sudah menemaniku di luar.

Suara musik karoke mulai terdengar membahana di per komplek an Tenda Biru ini. Aku mengamati dua pemuda yang tampaknya malu-malu. Hm ... ternyata keduanya ganteng-ganteng, walaupun melihat dari lampu yang remang-remang.

Aku yang masih belum pandai merayu, lagian kurang suka juga dengan berondong, akhirnya menyuruh Lydia saja yang bicara. Sementara diri ini hanya berdiri dekat mereka, dengan acuh tak acuh.

Akhirnya pemuda yang berambut gondrong, bertubuh atletis dan berkulit sawo matang tersebut, tanpa menunggu lama sudah menarik lenganku mengajak masuk.   Meninggalkan temennya yang masih dirayu Lydia. Memang pemuda temannya itu, sedikit susah diajak masuk. Entah, malu atau bagaimana.

Kami mengambil meja no 9 di pojok ruangan. Kemudian pemuda yang belum diketahui namanya itu, memesan minuman lima pasang dulu. Berupa bir putih dan bir hitam. Aku langsung berpikir, apa mungkin pemuda ini punya banyak uang?
Tanpa membuang waktu, aku segera melangkah untuk mengambil pesanan.

Semenit dua menit, tak terasa sudah hampir satu jam aku menemani pemuda berondong ini menyanyi karoke. Temannya pun kini sudah gabung bersama kami di dampingi Lydia. Namun, rasanya bete dan suntuk sekali. Bagai menunggu anak SD yang lagi ikut kontes menyanyi.

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang