Bab 5. Perjalanan

27 3 0
                                    

Malamnya selesai kafe tutup jam dua malam, aku langsung mengemaskan barang-barang yang akan dibawa. Kemungkinan besok jam sembilan pagi travel datang untuk menjemput, kemarin sudah dipesan. KTP milik Roy, sudah aku pulangkan melalui temannya yang tadi datang.

Kafe di sini peraturannya jam dua malam harus tutup. Mengingat tidak jauh dari lingkungan tenda biru ini, sebagian adalah pemukiman warga. Jadi bila menghidupkan musik sampai subuh, ada perasaan segan. Jika melanggar, maka para warga akan langsung menegur.

Sebab itu, sering mengalami sepi para tamu pengunjung. Bila tidak punya langganan khusus, sudah pasti tidak akan mendapatkan uang. Maklumlah, komplek tenda biru jauh dari jalan raya dan terpencil. Sekeliling perkomplekan kafe adalah kebun kelapa sawit dan palawija. Jalanan nya pun tanah merah, jika musim hujan rawan banjir dan tanah menjadi lumpur.

"Kamu kenapa buru-buru pulang, May?"

Tiba-tiba, Eva dan Lydia muncul menyibak gorden kamar, pintu memang belum aku tutup. Keduanya duduk di lantai sambil menatapku yang sedang melipat baju.

"Ada urusan penting. In Sya Allah, aku akan datang lagi kemari," jawabku santai saja, menyahuti pertanyaan Eva. Wanita bertubuh agak gempal dan berkulit putih serta mempunyai tahi lalat di atas bibirnya.

"May, jika kamu pulang kampung beneran, aku mohon jangan ceritakan bila kita kerja begini, ya?" cetus Lydia nampak khawatir.

Aku menatapnya sedikit malas. Entah mengapa, hati ini sudah tidak nyaman bersama ke-tiga teman satu kampung tersebut.

"Ya, enggak mungkin lah aku ceritain. Emangnya aku sudah sinting! Membuka aib teman, sama saja menguak aib sendiri, Lyd."

"Terima kasih banyak ya, May. Kamu memang teman yang baik."

Lydia memelukku, sambil matanya berkaca-kaca.

"Kami di sini akan merindukan kamu, May. Jangan lama-lama ya, di kampung. Pulang kemari lagi dengan cepat," ujar Lydia terisak.

Melihat sikapnya demikian, hatiku menjadi terenyuh. Kemudian mengangguk dan membalas dekapannya dengan erat. Biar bagaimanapun kami adalah teman satu kampung yang seharusnya sama-sama saling menjaga dan melindungi. Akan tetapi, aku harus segera berpisah dengan mereka.

Dua teman satu kampung lainnya yaitu, Dewi dan Rena, justru keduanya sudah jauh dariku bagaikan seorang musuh. Melihat diri ini dibully dengan Meli Ambon, keduanya tidak merespon. Malahan seakan mendukung perbuatan jahat wanita hitam itu.

Yah, sudah lah aku terima saja yang penting tidak merugikan orang.

"May, nanti kito telponan yo. Jangan lupakan kito, jika sudah balik kampung," kata Eva dengan logat Palembang nya yang masih kental. Aku tersenyum dan mengangguk saja.

***

Jam sembilan pagi, travel yang menjemput telah tiba. Saat ingin melangkah ke mobil kijang Inova berwarna putih itu, tak ada satupun teman-teman yang mengiringi kepergianku.

Pun dengan bos Fitri, wanita mirip orang bule itu dengan rambut panjang dicat pirang, hanya menatap dari lantai dua rumah induk.

"Aku berangkat ya, Mom! Bye ..."

Aku melambaikan tangan padanya, ia hanya membalas tanpa senyuman. Pandangan kini beralih pada lantai dua kafe, di mana beberapa teman memandang dengan santai saja. Tak terlihat Eva juga Lydia. Apalagi, Dewi dan Rena beserta Meli Ambon.

Tanpa menghiraukan sikap mereka semua, langsung menyeret tas koper ke arah mobil yang terparkir tepat di halaman kafe.

"Benar-benar mereka sudah tidak menginginkan diriku lagi. Okey lah kalau begitu, takkan pernah menginjakkan kaki lagi di sini," omel hatiku sambil menarik napas panjang dan masuk ke mobil. Koper sudah diurus supir, di masukkan dalam bagasi belakang. Aku kebagian duduk di belakang dekat jendela, bersama satu penumpang bapak-bapak.

Mobil sudah muiai bergerak meninggalkan pelataran depan kafe tempatku mengais rezeki selama satu bulan ini. Tak  ada kesedihan saat telah menjauh dari perkomplekan tenda biru. Justru kini aku bisa bernapas lega.

Dret ... Dret ....

Handphone yang kugenggam bergetar. Cepat menatap benda biru ini, sms datang dari Roy.

[May, nanti malam minggu aku datang ke kafe. Tunggu saja, ya. Aku lagi masih kerja sif malam, ini pun baru pulang dari lokasi.]

Isi pesan Roy, aku mendengus. Malam minggu, berarti dua hari lagi. Kemudian membalas sms-nya.

[Maaf, aku sedang dalam perjalanan menuju Jambi kota.]

Pesan terkirim. Tak lama dia buka, mungkin sedang membaca. Kemudian terkirim lagi pesan masuk, lalu cepat ku baca.

[Emangnya, kamu mau kemana?]

[Aku bertujuan ke daerah Riau.]

[Ngapain? Tega ya, kamu ninggalin aku. Padahal baru sekali kita jumpa. Aku ingin bertemu lagi.]

[Maaf, aku enggak bisa. Aku ada pekerjaan lain di daerah itu. Ada teman satu kampung juga, di sana.]

[Batalkan saja dong! Aku kangen sama kamu, lho. Beneran, sejak pertama kali kita jumpa, aku jadi suka sama kamu dan sering memikirkan dirimu.]

Duh, Roy mulai menggombal. Bult shit! Pikirku.

Di saat aku ingin membalas, tahu-tahu pulsa habis. Sudahlah biarkan saja, kemudian me-non aktifkan handphone. Benda tersebut cepat kumasukkan dalam tas kecil yang ter-selempang di dada.

Mencoba tak acuh kan perkataan berondong itu melalui sms nya tadi, aku berusaha memejamkan mata. Semalam kurang tidur karena kepikiran tempat kerja yang baru di daerah Riau. Untuk pertama kalinya, aku pergi ke sana.

Namun, tidak khawatir dengan perjalanan seorang diri, ada Mbak Yeni yang memandu jalan lewat telepon nanti. Jadi tidak takut tersesat.

Mbak Yeni adalah tetangga akrab di kampung, susah senang kami bersama. Kebetulan dia sudah terlebih dulu merantau ke daerah Riau dan mencoba mengajakku join ke dalam kafe tempat Mbak Yeni bekerja.

Hitung-hitung mencari pengalaman mengais rezeki di tanah orang, selama masih di kawasan Indonesia aku masih mau mengarungi. Jika sudah sampai keluar negeri, masih berpikir dua kali.

Dua jam perjalanan, mobil travel tiba di simpang kawat kota Jambi. Aku dioper dengan travel lain yang tujuan Jambi-Pekanbaru. Dengan mengendarai mobil kedua ini, maka akan langsung diantar ke alamat kerjanya Mbak Yeni.

Setelah istirahat makan dan minum, perjalanan dilanjutkan kembali. Kali ini memakan waktu lima jam perjalanan. Waw! Sungguh melelahkan. Namun, tidak jadi masalah, anggap saja sedang traveling.

Handphone berbunyi nada panggilan, tadi sudah diaktifkan lagi. Banyak sms masuk dan panggilan tak terjawab, tetapi tak kuabaikan. Kali ini Mbak Yeni yang telepon.

Kami berbincang singkat di handphone, dia hanya bertanya aku sudah sampai di mana. Lalu menjawab, masih jauh lagi perjalanan kemungkinan akan sampai sore atau malam tiba di kafe janda beranak tiga itu.

***

Waktu Maghrib telah tiba, saat travel tiba tepat di halaman luas depan kafe Mbak Yeni. Aku turun dari dalam mobil dan disambut Mbak Yeni dan seorang ibu-ibu.

Setelah koper sudah turun, supir kemudian melanjutkan perjalanan kembali.

"Hai, Maya! Apa kabarnya? Senang bertemu kamu lagi, ih aku kangen banget." Mbak Yeni yang hampir 75 % telah berubah ini, langsung memeluk dengan erat. Seperti yang ingin menumpahkan segala kerinduan.

"Alhamdulillah, baik dan sehat selalu, Mbak." Aku membalas memeluknya.

Lantas aku diperkenalkan oleh Ibu yang bernama Baity. Ia adalah bos kafe tepi jalan lintas ini. Wanita cantik berkulit putih dan bertubuh gemuk itu tersenyum sumringah menyambut.

"Semoga kamu senang di sini, Maya. Maaf, tempatnya begini," ujar Bu Baity.

Kutatap sekeliling tempat ini, hati menjadi miris. Sungguh tempat yang sangat jauh dari bayangan.
Oh, Tuhan!

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang