Bab 15 Aku telah jatuh cinta

19 1 0
                                    

Badan terasa panas dingin, mendengar pengakuan Roy yang ada di sebuah kafe tak jauh dari kafe milik bos Fitri, di mana kemarinnya aku bekerja. Apakah pemuda itu sudah mulai kumat ke kafe kembali? Padahal ia pernah berjanji, tidak mau ke kafe lagi setelah kenal denganku. Namun ... apa kenyataannya?

"Okeylah, Roy. Selamat bersenang-senang," ucapku mencoba biasa saja. Sementara gemuruh hati ini kian terasa menyesakkan dada karena masih terdengar suara wanita di seberang sana.

Klik.

Telpon dimatikan lantas aku menghambur dari kamar menuju pintu depan lalu membukanya. Tak tahan rasanya ingin segera menyusul Roy ke kafe itu. Bermaksud ingin diantar Udin. Kebetulan pria itu sedang ingin menghidupkan motornya.

"Mas Udin!" Panggilku. Ia menoleh. Menghentikan aktivitasnya.

"Eh, Neng Maya. Ada apa?"

"Mau kemana?" tanyaku tepat di hadapannya.

"Eh, biasa lah Neng. Mau cari angin, namanya saja bujangan. Siapa tahu dapat gebetan di jalan. He-he-he." Dia cengar-cengir.

"Ikut aku aja, yuk?" Kataku berusaha ceria, tersenyum manis padanya.

"Kemana, Neng?" Udin menatapku dengan mimik wajah lucunya.

"Mau enggak?"

Dia sejenak ragu, kemudian mengangguk.

"Mau," katanya mantap.

"Okey. Tunggu ya, aku ganti baju dulu. Tenang saja kalau soal ongkos," ujarku sambil mengerling padanya.

"Eits dah! Tenang aja, Neng. Pokoknya kalau jalan-jalan sama Neng Maya mah, gratis juga mau," katanya sambil membetulkan letak topi yang dipakainya. Ia jadi salah tingkah sendiri.

Aku hanya tertawa kecil, kemudian masuk kembali.

Beberapa menit kemudian, aku sudah berada di boncengan motor Udin. Dengan tersenyum senang, duda ini sudah menghidupkan motor dan segera tancap gas. Kebetulan pintu rumah teh Ani dan Mak Karti tertutup rapat. Jadi tidak tahu dengan kepergian kami berdua.

"Emangnya Neng Maya, mau kemana?" Udin bertanya lagi saat dalam perjalanan.

"Nanti juga tahu lah. Sudah terus saja jalan," jawabku.

Aku duduk gaya cowok, tapi tetap menjaga jarak agar dada ini tidak terbentur punggungnya. Berpegangan pada bagian bawah jok motor. Udin sepertinya ingin menggoda, dengan memainkan gas motor agar tubuhku dapat menempel dengannya.

"Yang bener bawa motornya, Mas. Jangan main-main, nanti aku loncat nih?" Aku pura-pura mengancam.

"I-iya, Neng. Maaf," katanya masih menjalankan motor. Kini berusaha bisa saja, tanpa memainkan gas motor lagi.

Lima belas menit kemudian, kami tiba di dekat kafe yang Roy katakan yaitu, milik Kak Rika saingannya Fitri. Sekali lagi, Udin masih keheranan akan aku yang mengajak kemari.

"Kamu yakin, mau ke kafe itu?" tanyanya masih ragu. Kemudian memarkir motor di antara deretan motor lain.

Aku mengangguk mantap,  "emangnya kenapa, Mas? Enggak boleh aku main ke kafe?"

"Oh, enggak. Bukan begitu. Tapi ini kan tempat para cewek penggoda. Atau ... Neng ada janjian ya, sama Om-om?" Udin asal nyeplos saja. Tak sadar aku menampar pipinya dengan gemas.

"Sembarangan aja, Lu! Yuk, ah kita masuk. Aku sudah enggak sabar pingin nyanyi karaoke." Aku menarik tangannya. Udin dengan gugup, mengikuti berjalan di sampingku.

Suasana ruang kafe yang remang-remang dan penuh dengan kepulan asap rokok lumayan ramai oleh pengunjung. Aku agak kesulitan mencari Roy yang entah duduk di sudut mana. Sementara Udin sibuk menggoda cewek-cewek seksi yang tengah mengantar minuman ada pula yang berjoget.

"Mas, kita cari tempat duduk yang agak pojok. Biar enak memandang sekitarnya," kataku sambil mengawasi orang-orang yang  sedang duduk-duduk sambil menikmati minuman bir ada pula yang sedang bercengkrama. Tak ada sahutan.

"Mas Udin?!" Aku menoleh tapi tak terlihat lagi pria itu yang tadi berjalan di belakang. Kemana dia? Celingak-celinguk mencari sosok Udin, gemas juga berarti tadi bicara sendiri.

Akhirnya aku mencari Udin di tengah pengunjung dan pelayan kafe sedang berjoget.

"Aha! Rupanya di sini. Mas!"

Aku menepuk bahunya yang sedang asyik jojing dengan cewek bergaun ketat, agak terbuka bagian dada. Udin menoleh, kemudian cengar-cengir.

"Eh, iya Neng. Maaf." Dia tersenyum malu melihat mataku mendelik.

"Ayok kita cari tempat duduk!" ujarku kembali melangkah, Udin mengekor di belakang.

Kami menemukan tempat duduk yang sudah kosong, di pojok ruangan. Saat melangkah melewati beberapa meja, tak sengaja ekor mata menangkap pemandangan yang menyesakkan dada.

Ternyata Roy duduk tak jauh dari tempat duduk kosong yang aku dan Udin akan tempati. Dia duduk mesra bersama seorang waiters belia dan dua temannya yang ku tahu bernama Yono dan Bang gendut pun ditemani cewek-cewek malam.

Perempuan yang bersama Roy teresebut, begitu mesra menyandarkan kepalanya ke bahu pemuda manis itu. Spontan dada ini bagai terhantam godam. Badan terasa panas dingin tidak karuan. Namun, berusaha menyembunyikan semua perasaan ini. Pun pura-pura tidak tahu akan dirinya. Mereka juga tidak melihat kehadiran aku dan Udin.

Cepat menarik tangan Udin yang sibuk larak lirik tebar pesona pada cewek-cewek yang hilir mudik. Mengajak dia duduk di sofa empuk ini.

''Neng, terima kasih ya, sudah ngajak kemari. Beneran nih, mata dan otakku langsung fresh. He-he-he." Udin cengengesan melihatku yang tegang menatap pada rombongan Roy yang hanya berselang satu meja.

"Neng! Lihat apa sih? Serius banget," tanyanya sambil menoel bahu. Ia ikutan melihat dengan apa yang kutatap. Udin langsung berwajah lemas menyandarkan punggungnya.

"Itu kan Roy, Neng. Sepupu kamu. Doyan juga ya, ke sini," celetuknya.

Aku tak mau banyak komentar sibuk menata hati ini yang berantakan. Oh Tuhan ... Mungkinkah aku sudah jatuh cinta pada berondong itu, hingga menyebabkan hati ini sangat cemburu melihat dirinya bersama cewek malam itu.

Pelayan kafe datang menghampiri dan menanyakan kami mau minum apa.

"Bir lima pasang ya."

Aku langsung memesan minuman bir sebanyak itu. Pikiran ini sangat kacau sekali. Hati terbelit rasa sakit yang mendalam. Tak menghiraukan Udin yang hanya melongo menatapku.

"Baik lah, Kak. Tunggu sekejap ya," kata pelayan cantik ini dengan ramah. Dia segera berlalu. Hah! Pelayan itu jadi mengingatkanku pada masa kemarinnya, di saat bekerja di kafe bos Fitri.

"Neng, enggak salah ehem ... pesen minuman sebanyak itu? Nanti kita mabuk lagi," ujar Udin terheran-heran. Aku hanya melotot padanya, ia akhirnya diam mengkeret.

Tak menunggu lama minuman yang di pesan tadi sudah datang. Aku segera membuka tutup botol-botol minuman tersebut dengan cekatan. Lagi-lagi Udin hanya melongo. Ia akhirnya ikut membantu menuangkan minuman.

"Oya, tulis di sini lagu apa yang mau di request ya."  Waiters itu menyerahkan selembar kertas nota dan pena kemudian menuggu.

"Mas, kamu mau lagu apa?" tanyaku pada Udin yang bengong saja, siap mencatat lagu yang di pesan. Udin gelagapan dan langsung nyeplos.

"Gadis atau janda!"

Aku langsung mencatat sambil tersenyum dikulum. Karena pengunjung ramai, maka hanya tiga lagu yang ditulis lalu menyerahkan pada wanita seksi pelayan kafe ini. Ia segera berlalu.

Sedikit demi sedikit aku meminum bir campuran ini, untuk mengurangi kekesalan hati yang melihat Roy semakin lengket saja dengan cewek muda pekerja karaoke itu. Mata tiada henti menatap ke arah rombongan tersebut, dengan jantung berdebar kencang.

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang