Bab 13 COBAAN APALAGI

20 2 0
                                    

Sebenarnya malas melayani, aku tidak suka ribut-ribut. Malu dilihat orang, nanti dikira anak baru sok jagoan. Apa sih, maunya wanita yang penampilannya mirip wanita malam itu?

"Maya! Maya!"

Dia masih memanggil di balik pintu. Aku bangkit dari duduk di toilet lalu membuka pintu.

"Ada apa sih, Ran?!"

Aku menatap dengan tajam. Dia terlihat marah sampai wajah putih memakai make-up nan menor itu, berubah merah ungu. Apa sebenarnya yang ada di otak anak ini.

"Aku mau kau jujur, apa yang kau buat sampai Koh Rudi mau mempekerjakan menjadi pengawas dapur hotel?!" tanyanya dengan nada membentak. Hati ini bagai terbakar, panas sekali. Namun, aku beristighfar dalam hati agar tenang menghadapi Rania.

"Kok, tanyanya ke aku? Tanyain aja sama Koh Rudi nya sendiri. Aku tidak tahu apa-apa."

Aku berusaha bersikap santai, bisa saja tadi melawan dia. Namun, untuk apa? Tak ada gunanya, berkelahi merebutkan pepesan kosong.

"Alah! Masih berdalih kau! Jawab!"

Rania ingin melayangkan tamparan ke pipiku, bertepatan dengan masuknya Helen si resepsionis.

"Kak, Nia hentikan!"

Kami sama-sama menoleh padanya.

"Kalian ngapain di sini?"

Helen mendekati kami lalu menatap bergantian.

"Ini wanita rusuh, perusak hubungan orang saja," jelas Rania.

"Maksudnya apa? Tapi, kenapa ingin memukul Kak Maya?"

"Alah ... bukan urusanmu!"

Rania kemudian beranjak meninggalkan ruang toilet, setelah mendorong tubuhku yang langsung tersandar ke dinding kamar kecil ini. Helen menggeleng saja, melihat tingkah wanita yang menurut isu adalah simpanan Koh Rudi.

"Sudah lah Kak Maya, jangan diambil hati. Rania memang begitu orangnya. Dia pencemburu sekali pada wanita yang lebih cantik darinya," papar Helen menepuk-nepuk pundak ku.

"Emangnya aku cantik? Sehingga dia menuduh aku yang bukan-bukan," kataku melepaskan sesak napas ini.

"Hehehe, tidak usah dilayani. Nanti, sama saja gilanya," ujar wanita cantik mirip penyanyi Betharia Sonata ini. Kemudian mengajak keluar dari toilet wanita. Untung saja Helen datang tepat waktu, kalau tidak mungkin kami sudah berkelahi.

Aku langsung berbaur dengan para koki di dapur, melihat cara kerja mereka yang begitu cekatan dan profesional. Kebanyakan kaum pria. Para koki tersebut rata-rata orang Cina. Aku merasa asing di tengahnya, secara memang belum banyak kenal. Tadi pagi sempat  Koh Rudi memperkenalkan aku pada koki-kokinya hanya sekilas saja. Sebab mereka fokus bekerja.

"Kak, kami kekurangan bahan makanan untuk menu dinner. Stok daging sudah menipis, biasanya kami membuat stek dan makanan berbahan daging."

Seorang koki setengah baya, mendekati dan bicara sopan. Namun, logat  bicaranya masih kental bahasa Cina.

"Oh, eh iya." Aku jadi gugup karena belum banyak mengerti sistem kerja di sini.

"Lalu, siapa yang belanja dan uangnya dari mana?" kataku bagai orang bodoh.

"Begini, Kak. Berhubung Kakak masih baru kami maklum jika belum tahu bagaimana cara kerja di dapur ini. Maka akan aku beritahu, nanti Kakak bikin laporan pengeluaran belanja untuk hari ini. Buat daftar list-nya. Setelah selesai, beri pada kokoh Rudi biasanya dia yang akan membayar pada kontributor daging. Bisa juga Kakak yang memegang keuangan, jika sudah dipercaya oleh Bos."

Bapak ini memaparkan dengan gamblang. Aku mengangguk saja, kemudian mengambil catatan dan pulpen. Ia menyebutkan apa-apa saja yang akan dibeli dan aku mencatat.

"Kami belanja tidak setiap hari. Biasanya satu minggu dua kali," jelasnya lagi.

"Okelah, Pak kalau begitu. Segera aku urus."

Aku melangkah meninggalkan ruang dapur menuju ke meja kerja untuk membuat laporan. Namun, alangkah terkejutnya saat melihat di dekat komputer ada secarik kertas bertuliskan "JAUHI KOH RUDI! BILA PERLU TIDAK USAH BEKERJA DI SINI. JIKA TIDAK KAU AKAN MERASAKAN AKIBATNYA!"

Aku tahu ini tulisan Rania, dia mengancam. Hah!  Tidak takut, toh tujuan kemari mau bekerja bukan menggoda bos hotel. Dasar gila! Melipat kertas HVS ini dan memasukkan dalam saku celana. Sebagai bukti ancaman. Aku kembali fokus membuat laporan.

***

Keesokkan harinya aku bekerja seperti biasa. Kini waktu banyak dihabiskan di   ruang dapur yang besar dan tampak higenis. Memperhatikan para koki yang sedang bekerja. Ada yang memotong sayuran berupa kubis, wortel, bunga kol dan lain sebagainya.

Melihat ke kanan, koki-koki sedang menggoreng ayam dan ikan mas. Kesibukan mereka mengingatkanku pada dapur para chef. Dengan meja panjang untuk meletakkan berbagai bahan-bahan sayuran dan makanan lainnya. Pun peralatan dapur yang komplit dan modern. Kesemua koki menggunakan seragam putih, memakai topi khas koki dan menggunakan celemek dada.

Tugas ku pun harus mencatat menu-menu apa saja pada pagi, siang dan malam hari untuk disuguhkan tamu hotel tiga tingkat ini. Ternyata, para koki yang masih kokoh-kokoh itu sebagian memang tidak mengerti bahasa Indonesia. Pantas saja terlihat agak sombong.

Aku memaklumi. Lantas berjalan menuju kamar mandi yang dindingnya agak kotor karena percikan darah. Mungkin darah hewan sapi  ataupun ayam potong. Mereka tidak menghiraukan kehadiranku yang ingin tahu keadaan kamar mandi agak besar ini.

Di sudut kamar mandi, ada para pekerja yang sedang mencuci tiga baskom besar berisi daging yang dikerjakan oleh ibu-ibu dan anak-anak muda lelaki dan perempuan. Namun, mereka sebagian bukan orang cina. Mungkin asli penduduk pribumi daerah sini.

Mereka menganguk saja melihat kehadiranku.

"Daging apa ini?" tanyaku pada salah satu pekerja lelaki yang masih belia. Dagingnya begitu segar dan kemerahan.

"Kerbau, Bu." Dia menjawab singkat dan fokus kembali mencuci potongan daging-daging tersebut. Kembali berjalan ke lain tempat dan alangkah terkejutnya saat melihat hewan b**i mati tergantung kedua kaki dan sedang disayat-sayat dagingnya oleh tiga orang laki-laki. Perut jadi mual dan rasa dikocok. Tak tahan, langsung menghambur meningkatkan dapur ini.

Oh Tuhan! Ternyata hotel ini mengkonsumsi daging haram itu. Namun, sadar kembali di hotel ini tidak mungkin orang muslim semua yang menginap. Aku harus positif thinking. Kembali ke ruang kerja.

Namun, di dalam sana sudah duduk pria bos-ku yang meski usianya sudah menginjak 50 tahun lebih tapi terlihat masih fresh dan energik. Jantung berdegup kencang, akan kemunculannya.

"Ada apa, tumben sekali bos hotel yang senang dipanggil Kokoh Rudi datang ke ruang kerjaku?" Batin bertanya.

Aku perbaiki letak hijab dan pakaian dirapikan. Kemudian melangkah mendekati pria bermata sipit dan simpatik itu.

"Tumben kemari, Koh? Tadinya aku mau ke ruangan Koh Rudi, untuk memberitahukan laporan hari ini,"  ujarku berdiri di hadapannya yang duduk di kursi tempat diri ini bekerja menghadapi komputer.

Aku menyerahkan kertas catatan tadi padanya. Namun ... Tiba-tiba saja Koh Rudi menggenggam jemariku kuat sekali. Apa maksudnya?

Dadaku berdebar tidak karuan dan badan menjadi panas dingin. Lelaki besar tinggi ini bangkit dan menatapku serius.

"Hari ini temani aku untuk suatu urusan. Aku butuh orang sepertimu. Cantik dan berpakaian sopan," kata Koh Rudi.

"Tap ..."

"Jangan membantah! Ini perintahku," ucapnya seraya menempelkan jari telunjuk ke bibir ini. Aku terdiam sesaat lalu mengangguk.

Akhirnya siang itu aku pergi bersama Koh Rudi naik mobil mewahnya, entah mau kemana. Dengan tidak banyak komentar, mengikuti saja perintahnya. 

Aku bergidik membayangkan kemarahan Rania nanti jika seandainya melihat kami berduaan begini di dalam mobil. Entah caci maki dan sumpah serapah apalagi yang akan kudengar. Ya, Allah ... Cobaan apalagi yang Engkau beri.

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang