Bab 17 MASALAH SEMAKIN RUNYAM

19 2 0
                                    

Kamar siapa ini? Tapi ... rasanya ingat bangunan rumah mirip dengan rumah yang aku tempati. Berarti ...

"Wah! Neng Maya, sudah sadar ya? Lama banget pingsannya."

Teh Ani masuk dan tersenyum ceria. Ia mendekati tempat tidur di mana aku terduduk saat ini. Oh, alah! Ternyata di kamarnya wanita bertubuh mungil dan kulit agak gelap itu.

"Pingsan? Oh, eh ... benarkah aku pingsan, Teh?" tanyaku bagai orang linglung. Teh Ani mengangguk lalu duduk di ujung tempat tidur menghadap padaku.

"Iya. Semalam kata Udin kamu mabuk dan pingsan di kafe-nya si Rika itu. Udin dan Bang Roy yang bawa Neng Maya pulang kemari," tuturnya. Aku hanya bergeming. "Benarkah Roy juga ikut mengantar kemari?" Batin bertanya sendiri.

"Lantas, kenapa enggak ke rumahku saja, Teh?"

"Rumahmu dikunci dan kuncinya kami enggak tau," ujarnya lagi. Aku mengangguk saja.

"Kuncinya ada dalam tas, Teh," jelasku.

"Ya mana kami tahu, Neng. Lagian tak ada yang berani mengobok-obok tas mu. Hehehe."

Teh Ani tertawa lebar memperlihatkan barisan giginya yang agak kekuningan karena candu rokok.

"Kenapa sih, Neng? Kok, kamu bisa begitu? Mabuk sampai pingsan?" Teh Ani bertanya lagi.

"Entahlah, Teh. Aku lupa lagi. Enggak ingat apa-apa," jawabku mencoba menutupi.

"Ehmmm. Kata Udin sih, kamu kesel lihat sepupumu itu minum juga di kafe Rika, ya? Roy sama cewek nakal di sana." Teh Ani menatapku dengan seksama. Aku hanya tertawa hambar.

"Hahaha. Mungkin kali Teh. Aku enggak ingat lagi. Namanya juga orang mabuk."

Seketika Udin masuk kamar juga, sambil membawa segelas teh panas dan sebungkus roti.

"Semalam minuman kita, sudah Roy yang bayarin. Dia pesan, agar Neng Maya jangan ke kafe lagi."

Udin meletakkan gelas teh dan bungkusan roti di meja kecil dekat tempat tidur.
Lagi-lagi aku terdiam.

"Roy mengatakan lagi, bila Neng Maya itu cemburu padanya makanya mabuk sampai pingsan," tukas Udin membuat hatiku tergelitik geli.

"Omong kosong!" ucapku sambil meraih gelas teh yang masih mengepul asap lalu menghembus-hembus agar segera hangat. Kemudian menyesap perlahan. Rasanya segar,  tenggorokan tersiram air teh hangat.

"Memangnya Eneng dan Bang Roy pacaran? Bukannya sepupu?" Teh Ani tampak keheranan. Aku mendesah dalam dan meletakkan gelas air air teh manis ke atas meja kecil kembali.

"Enggak, Teh. Kami cuma bersahabat saja," jawabku mengambang dan menerawang.

Setelah banyak mengobrol aku kembali pulang ke rumah sewaan yang hanya tiga langkah saja, setelah mengucapkan banyak terima kasih lalu menyelipkan uang lima puluh ribu buat belanja janda itu. Teh Ani tampak riang sekali menerima pemberianku yang tak seberapa itu.

Kembali dalam kamar, ponsel berdering nyaring. Ternyata panggilan dari Koh Rudi. Astaga! Aku alpa hari ini, tidak masuk kerja karena kesiangan dan sekarang sudah pukul 11.55 hampir jam 12 siang. Jantung berdebar kencang mendapat telpon dari big bos.

[Hallo Maya. Kenapa kamu tak masuk kerja, hari ini?]

[Nggg ... anu, Koh. Aku sedang tidak enak badan. Kepala sakit dan badan panas dingin."]

["Sudah berobat?"]

["Belum."]

["Ya sudah. Nanti aku ke sana untuk mengantar kami berobat, sekalian ada hal yang mau aku bicarakan."]

["Hal apa, Koh?"]

["Nanti saja kita bicarakan. Aku sedang mengantar Rania belanja, nih.]

["Baiklah, Koh."]

Sambungan via telepon terputus. Aku menarik napas panjang. Berarti Mak lampir itu sudah pulang dari kota Jambi dan mulai bekerja. Semakin tidak semangat untuk kembali bekerja di hotel.

Aku cari-cari nomor kontak Roy dari panggilan masuk, panggilan tak terjawab sampai sms tidak ada di layar ponsel Nokia jadul ini. Berarti hanya semalam saja kami telponan. Mungkinkah sekarang dia sedang bekerja atau tidak ya? Aku bertanya-tanya sendiri. Hati tergelitik ingin miskol dia, tapi gengsi.

Setelah mengingat perbuatannya semalam yang melukai hati ini, jadi malas untuk menghubungi. Di sisi lain, kangen akan suaranya yang lembut. Namun, jika aku merajuk akan tampak sekali cemburu padanya dan pasti dia tahu tentang perasaan ini terhadapnya. Tidak! Tidak mau Roy tahu jika aku juga mencintainya.

Ingin tahu dulu, seberapa besar cinta dan kesetiaan yang dimiliki pemuda itu. Jujur saja, takut pacaran dengan brondong karena pikiran mereka masih labil dan dikawatirkan main-main saja hanya untuk mengumbar nafsu.

Ya, Allah ... Ampunilah hambamu ini yang semalam telah khilaf. Menyentuh kembali minuman yang dilarang, ternyata imanku masih setipis kulit bawang.

***

Pukul 19.00 Koh Rudi menjemput. Tak perlu basa-basi kami sudah meluncur bersama mobil RUSH menuju klinik.

"Kamu pucat sekali, Maya. Sudah makan?" tanya pria paruh baya yang berpenampilan santai. Memakai T' shirt hitam polos dan Levis biru. Tergantung kacamata hitam di dadanya.

"Tidak selera, Koh." Aku menjawab lesu.

"Nanti makan yang banyak ya, setelah berobat. Biar lekas sembuh. Jaga kesehatan, karena itu penting."

Koh Rudi menepuk-nepuk lenganku. Hanya mampu bergeming dengan pikiran jauh melayang pada pemuda yang bernama Roy. Mengapa keegoisan ini menyiksa batin? Mengapa tidak berterus terang saja, bila aku juga telah jatuh cinta pada Roy. Ah! Bingung.

Setelah berobat di klinik terbesar di kota kecil ini, Koh Rudi membawaku ke suatu tempat yang begitu romantis, aku tidak tahu namanya. Tempatnya di pinggir pantai yang anginnya kencang sekali dengan deburan ombak yang saling berkejaran. Di naungi oleh langit hitam, tampak rembulan bersinar terang. Sungguh panorama alam yang indah.

Kami duduk-duduk di gubuk kecil yang menghadap ke lautan. Sambil menikmati hidangan kerang dan cumi-cumi saus tiram.

"May, sebelumnya aku minta maaf. Karena mulai besok dan seterusnya, kamu tidak usah bekerja lagi di hotel."

Aku terperangah, antara kaget dan sedih pun perasaan sedikit senang. Sebabnya, dengan demikian aku tidak berurusan lagi sama Rania.
Sedih, karena kemana lagi akan mencari pekerjaan.

"Kenapa, Koh? Bisa tahu apa alasannya?"

Aku menatap wajahnya yang tampan mirip bintang film Hongkong, Mou Shou Chung versi tua itu dengan dag dig dug. Dia menghela napas panjang.

"Kokoh harap, kamu tidak marah dan jangan berkecil hati atas pemberhentian kerja ini. Sebenarnya, Kokoh suka kamu bekerja di hotel itu dan mengapa hanya kamu yang spesial buatku? Karena kamu wanita baik dan jujur. Tidak mudah terpancing oleh keributan yang Rania ciptakan."

Ia berhenti sejenak, untuk menyalakan sebatang rokok. Lalu ...

"Bukannya Kokoh tidak tahu akan Rania yang marah-marah padamu dan menuduh tanpa alasan. Aku tahu semua itu, tapi hanya diam saja. Jika Kokoh ikut-ikutan membela kalian, nanti akan bertambah salah paham. Rania akan menuduh kita yang tidak-tidak dan melaporkan pada istri dan keluarga. Nanti apa jadinya, sebab sebentar lagi aku akan menikahi Rania dan sudah dapat restu istri pertama."

Dengan panjang kali lebar pria itu memaparkan semuanya dan aku mengerti.

"Agar kecemburuan Rania yang tak beralasan itu segera selesai, maka harus ada yang mengalah," ujarnya lagi.

"Iya, aku paham Koh." Aku berkata tanpa gairah. Seketika saja ponsel berbunyi tanda pesan masuk. Segera kubaca pesan dari Roy.

[Hebat! Baguslah kau masih berhubungan dengan Bos mu sendiri. Dasar matre! Apalah aku ini, hanya anak-anak yang gak pantas untuk mencintai emak-emak. Aku sudah salah menilaimu!]

Pesan melalui ponsel itu, bagai sebuah tamparan keras pada wajahku. Seketika hati berdebar kencang menahan gejolak perasaan. Dari mana dia tahu aku pergi bersama bos Rudi?

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang