Bab 18. HATI TERLUKA

16 2 0
                                    

Hati dicekam kegelisahan yang mendalam atas SMS yang Roy kirimkan. Kepalaku berdenyut sakit dan degup jantung semakin tidak beraturan. Ingin membalas pesan tersebut, tapi tidak enak dengan Koh Rudi. Maka dibiarkan saja.

"Dari siapa?" tanya pria itu merapat padaku. Memang di sini dingin sekali, angin laut semakin berhembus kencang. Untung saja menggunakan jaket Levis kalau tidak, entahlah. Mungkin mati kedinginan.

"Eh, d-dari Roy." Aku sedikit gugup.

"Apa dia bilang?"

Aku diam sejenak, tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Terpaksa berbohong.

"Dia mengatakan agar aku menjaga kesehatan dan tidur jangan terlalu larut malam."

Aku menunduk menahan gejolak perasaan yang semakin lama semakin tak karuan. Apalagi Koh Rudi merangkul pundak dan berbisik di telinga.

"Aku sayang kamu, Maya. Andai kita kenal bukan saat kau kerja di hotel milikku, tentu kita akan berhubungan yang lebih intim lagi."

Spontan aku menjadi ill feel. Hobi amat sih, pria ini jatuh cinta. Ia pikir wanita itu hanya untuk mainan dan pelampiasan nafsu belaka? Hingga tidak cukup satu wanita dalam hidupnya. Terus terang, bukan bangga atau bahagia Koh Rudi bilang begitu. Justru takut.

Begitu banyak hati yang tersakiti karena ulahnya. Aku sudah salah menilai kebaikannya yang ternyata dia menyukai diri ini. Jangan karena dia banyak uang, sehingga dengan mudahnya mengumbar cinta.

Lalu perlahan ia meraih wajahku agar menghadapnya. Kemudian  dengan penuh nafsu mengulum bibir ini.

Aku memberontak dengan pura-pura sakit perut. Meringis memegangi perut.

"Kamu kenapa, May?" Ia bertanya penuh khawatir.

"Perutku sakit. Pulang yuk, Koh? Aku tidak tahan di sini dingin sekali." Aku membuat mimik wajah memelas.

"Oh iya, baiklah. Maaf lupa jika tadi kamu habis berobat." Koh Rudi langsung bersiap ingin pulang.

***

Saat baru pulang dari pasar sekalian mengirim uang ke kampung, terlihat ada Roy sudah duduk-duduk di teras rumah seorang diri. Karena bila jam siang para tetangga masih bekerja di perkebunan, sebab itu suasana menjadi lengang.

Ojek mengantar hingga depan rumah, aku segera turun dari boncengan lalu membayar ongkosnya. Kemudian tukang ojek cepat berlalu.

"Hai, Roy! Sudah lama menunggu? Sapaku dengan tersenyum lebar, padahal hati sangat kacau.

Pemuda berwajah manis dan imut ini tersenyum datar, kemudian cemberut lagi.

"Kenapa wajahmu ditekuk begitu? Ada masalah?" tanyaku sambil membuka pintu yang digembok. Setelah pintu terbuka, kami melangkah masuk.

"Darimana?" tanyanya sambil duduk di lantai beralaskan tikar plastik yang dibeli kemarinnya.

"Biasa, habis ngirim uang ke kampung."

Aku menjawab seraya berjalan ke dapur untuk menaruh belanjaan. Kemudian meraih plastik gorengan untuk dipindahkan ke atas piring. Sebungkus es cendol  dituangkan dalam gelas plastik yang  aku pinjam pada Teh Ani. Melangkah kembali keluar menemui Roy dan meletakkan sepiring gorengan dan segelas es cendol di hadapan pemuda itu.

"Yuk, dimakan." Aku menawarkan pada Roy lalu duduk di dekatnya.

"Uang darimana? Kamu kan belum gajian?" Roy mengkerutkan alis ia tampak keheranan.

"Koh Rudi," jawabku pendek, sambil mencomot bakwan sekalian cabe rawitnya. Berondong itu menatapku tajam.

"Sudah kuduga!" gumamnya. Aku yang balik menatap ia tajam.

"Maksudmu apa?"

Roy kembali menatap dengan sinis.

"Ternyata kamu memang matre! Pantas saja kamu gantung cinta yang selama ini akan aku berikan. Rupanya ingin mencari Om-om berduit, tidak peduli suami orang pun. Kalau aku ... Ah apalah! Hanya anak kemarin sore yang cuma kuli proyek bawa eksavator dengan gaji kecil. Mungkin juga kamu ragu dan malu, karena aku orang Batak dan beda keyakinan denganmu!"

Roy tampak berapi memandangku dengan mulut mengoceh pedas. Tidak memberiku kesempatan untuk berbicara. Ingin berucap, tapi dipotong terus hingga mulut ini hanya bisa menganga. Bakwan tidak jadi dihabiskan langsung aku lempar keluar.

"Berarti semalam, kamu habis dibooking ya? Makanya banyak uang dan bisa kirim keluarga. Hebat!"

Napas Roy memburu ia geram sekali. Aku ingin membuka mulut kembali, tapi dia cepat bicara lagi.

"Asal kamu tahu, semalam aku kemari tapi kamu tak ada. Kata Udin, kamu dijemput Koh Rudi pergi entah kemana. Mungkin sedang asyik-asyik di hotel."

"Cukup!" Aku berteriak lantang dan memandangnya penuh amarah.

"Kamu tu ngomong apa sih?! Kamu tuh ya, sama saja seperti Rania yang menuduh tanpa bukti nyata." Aku kesal sekali. Ya, memang masalah aku dan Rania pernah diceritakan padanya.

"Rania menuduhmu begitu, mungkin juga perasaan dia sama sepertiku. Diselingkuhi! Pantas saja feeling tidak enak." Roy mendengus kesal.

"Feeling mu itu ngaco! Diselingkuhi? Emangnya kita pacaran? Emangnya kamu tahu, aku selingkuh? Jujur saja ya, Roy. Semalam memang aku pergi bersama Koh Rudi tapi, dia hanya mengantarku ke klinik," papar ku panjang lebar.

"Alasan! Mungkin kamu sudah sering jalan bareng dirinya. Makan di restoran dan tentunya tidur berdua di hotel. Sudahlah! Memang benar kamu tidak mencintaiku dan tak'kan pernah."

Dadaku sesak sekali, bagai terhimpit bongkahan batu yang sangat besar tanpa bisa menyingkirkan. Hingga mati! Mati dalam perasan ini sampai tak bisa berkata-kata lagi. Gulir bening telah membasahi pipi. Tubuh terguncang menahan isak. Aku hanya menunduk dalam tercekik akan hati yang tersakiti, atas tuduhan tak mendasar pemuda yang beda jauh usia ini.

" Ternyata selama ini, aku sudah salah menilai. Semula aku tidak peduli siapa dirimu yang kutahu, kamu adalah wanita pekerja karaoke yang baik dan tidak menjual diri. Makanya aku menyukai bahkan mencintaimu. Merasakan nyaman bila di dekatmu. Namun ... Apa kini kenyataannya? Kamu memilih bandot tua itu! Pantas saja, selama ini kamu menganggap ku hanya sahabat, tidak lebih. Rupanya kamu mengambil kesempatan atas kebaikanku untuk tujuan lacur mu!"

Plak!

Aku menamparnya keras. Tidak tahan atas ucapannya yang sudah melukai hati ini. Terasa bagai tersayat belati perih dan nyeri. Tak ku sangka ia akan sekejam ini. Teringat kembali saat di kafe kemarinnya, yang dengan begitu tega Roy berciuman dengan perempuan lain di depan mata ini. Namun, mencoba menutupi pedih itu dengan pura-pura bahagia.

Dengan beruraian air mata aku berkata, "jaga bicaramu! Apa yang kau tuduhkan itu sangat keliru. Salah besar! Apa kau tidak merasakan sinyal cinta dariku? Mengapa aku ke kafe itu? Mabuk dan pingsan, melihat kau berciuman bibir dengan cewek kafe tersebut? Sungguh kau memang tidak ada perasaan! Asal kau tahu, aku pura-pura saja tidak cemburu. Padahal hati ini terbakar, Roy. Sakit dan pedih!"

Aku menepuk-nepuk dada sendiri dengan berlinang air mata. Menatapnya dengan pandangan nanar.

"Lalu ... kau membalasnya dengan mendekati Kokoh gatel itu? Tidur dengannya agar bisa mendapatkan uang untuk keluargamu?!"

"Diam! Aku tidak serendah itu, Roy. Terlalu picik otakmu."

Aku benar-benar marah melotot padanya dengan bahu terguncang akan tangis ini. Semua perkataannya menyakitkan!

"Lantas ... dengan cara apa kamu mendapatkan uang? Gajianmu masih lama."

"Bukan urusanmu!" Aku berkata ketus. "Jika kamu keberatan dengan aku berada di sini, biarlah akan kutinggalkan rumah ini. Mungkin aku harus menjauh dan mencari pekerjaan lain. Asal kau tahu Roy, aku sudah diberhentikan kerja di hotel. Koh Rudi memberiku gaji satu bulan."

Aku melangkah ke kamar meninggalkan dirinya yang terpaku.

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang