Bab terakhir. PERPISAHAN

42 2 0
                                    

Tiba di kota Jambi, hari sudah malam pukul 19.45 WIB. Kami mencari tempat makan sederhana dekat terminal. Sambil menunggu bis yang akan ke daerah Jakarta. Tak lama mencari, kami menemukan rumah makan yang dimaksud. Roy langsung menghentikan motornya di depan kedai nasi tersebut.

Setelah masuk, kami duduk saling berhadapan,
menunggu pesanan. Aku hanya terdiam mampu menatap wajahnya yang manis tapi, tampak kusam. Dia membuka percakapan terlebih dahulu.

"Mamak jatuh sakit dan aku harus segera pulang ke Medan. Kemungkinan tidak bekerja lagi di distrik 5. Bos sudah memberi surat pernyataan, terkait membawa dirimu malam itu. Surat tersebut nanti akan diterima Abangku. Dia tambah murka mengetahui kita pergi malam itu ke lokasi kerja. Lalu aku memutuskan pergi juga dari sana."

Roy menunduk. Dia memainkan jari-jarinya, tampak sekali dirinya dirundung duka.

"Maafkan aku, Roy. Semua ini mungkin salahku dan diri ini pantas untuk dibenci," ujarku menyesali lantas kugenggam erat kedua jemarinya. Roy mendesah dalam dan menatapku penuh arti.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Semua sudah terjadi dan aku yang memulai. Mungkin dengan cara kita berpisah, semua dapat menyelesaikan masalahku. Aku terlalu egois!" ucapnya penuh tekanan.

"Yah ... Mungkin dengan kita berjauhan semua masalah bisa teratasi. Aku memaklumi dengan keluargamu yang tak merestui hubungan kita. Maafkan aku, yang tidak bisa pindah agamamu."

Titik-titik air mata mulai mengalir membasahi pipi. Sungguh rasanya ingin ikut serta bersama Roy ke Medan. Namun, apalah daya. Mungkin cinta ini akan berakhir sampai disini. Lalu setelah di kampung nanti, apakah ia masih ingat kepadaku?

"Enggak apa-apa, Sayang. Aku tidak bisa memaksamu untuk pindah agamaku. Aku juga begitu, tidak bisa pindah ke agamamu. Meskipun kita berpisah dan tak tahu kapan akan bertemu kembali, tapi kita tetap bersahabat dan kuharap kita masih berhubungan walau hanya lewat telepon."

Mataku berbinar mendengar ucapannya. Bagaikan mendapatkan angin segar. Hati ini menjadi lega dan bertambah simpati padanya.

"Iya Roy. Kuharap juga begitu," ujarku tersenyum pahit.

"Jaga diri ya. Jangan pernah lupakan aku. Aku akan selalu mencintai dan menyayangi dari jauh. Memang benar kata pepatah, bila cinta tidak harus memiliki." Roy meraih jemariku lalu mengecup dengan lembut. Semakin deras air mata ini membanjiri kedua pipiku.

Adegan melo kami terhenti oleh kedatangan pelayan yang membawa pesanan.

"Kita makan dulu ya, sudah itu mencari bis untuk kamu pulang kampung. Aku juga akan langsung berangkat ke Medan tanpa menunggu besok lagi," katanya kemudian bersiap akan menyantap hidangan. Aku mengangguk dan mengikuti makan walau tak selera.

***

Ada waktu lima belas menit lagi untuk keberangkatan bis jurusan ke Jakarta. Lumayan lah untuk kami saling mencurahkan rasa di dada. Sambil duduk-duduk di atas motor dan Roy berdiri di depanku, kami saling berdekatan dan pemuda ini merangkul leherku.

"Jika sudah sampai kampungnya, lekas kabari aku ya? Ingat, jaga kesehatan dan jangan banyak pikiran. Aku akan selalu ada untukmu jika kau butuhkan. Biarpun kita jauh, tapi hati kita tetap satu. Iya, kan?"

Roy menundukkan kepalanya untuk melihat raut wajah ini. Mataku pun sudah sembab karena banyak menangis. Hanya mengangguk atas ucapannya itu membuat hati tambah sakit. Tak tahan langsung memeluk dirinya.

"Iya ... iya, Roy. Akan ku ingat selalu nasehat dan kebaikanmu tak'kan pernah terlupakan sepanjang hidupku. Bukan karena tak cinta bila akhirnya harus berpisah. Namun, karena perbedaan di antara kita. Kamu juga jaga diri ya? Jangan nakal dan berubah menjadi lelaki yang lebih baik lagi."

Tergugu di bahunya membayangkan semua kenangan indah yang sudah kami ukir bersama. Rasanya bagai dalam mimpi, baru kemarin kami berjumpa dan malam ini adalah malam terakhir kami bertemu.

Belum puas merajut benang emas merenda mimpi-mimpi bersamanya, kini kusut sudah terberai jalin kasih yang tak nyata.

"Ayok! Yang mau ke Lampung, buruan naik! Bis mau berangkat," teriak kondektur bis menyadarkan ku dari kesedihan akan perpisahan ini. Aku segera turun dari motor lalu menatap pemuda berjaket hitam ini dengan penuh kepiluan. Di saksikan terminal bis yang mulai sepi dan lengang. Hanya beberapa unit bus yang masih terparkir.

"Sudah sana naik! Nanti kamu ketinggalan bis, lho. Jangan banyak bengong di jalan nanti diculik."

Roy mencoba berbanyol untuk menghibur diriku atau dirinya. Entahlah! Aku menjabat tangannya dan mencium mesra, sebagai tanda perpisahan.

"Kamu juga hati-hati ya? Kamu bawa motornya harus fokus dan jangan melamun." Aku menasehati.

"Siap! Tuan putri. Sudah sana naik bis!"

Ia mendorong tubuhku agar maju dan naik bis tersebut. Entah mengapa, langkahku terasa berat. Berkali-kali menoleh padanya yang masih berdiri di dekat kendaraanya. Rasa tak tega melihat ia sendirian di sana.

Namun, ini komitmen perpisahan tetap harus terjadi. Menarik napas panjang kemudian naik ke dalam kendaraan besar ini, yang mesinnya sudah menyala hanya tinggal meluncur saja. Mencari tempat duduk dekat jendela. Kebetulan penumpang agak sepi jadi leluasa untuk mencari kursi kosong.

"Selamat tinggal Roy! Aku akan selalu merindukan kamu!" teriakku dari jendela bis.

"Selamat jalan Maya! Hati-hati di jalan! I Miss you!" Roy melambaikan tangan seiring bis sudah mulai bergerak perlahan meninggalkan pelataran terminal. Aku kembali terisak melihat pemuda itu masih melambaikan tangannya meski kendaraan mulai menjauh.
Semakin lama kian menjauh dan Roy tidak terlihat lagi.

Aku menangis tersedu di jok tengah bis seorang diri. Tidak menyangka perpisahan ini benar-benar terjadi. Namun, harus merelakan demi kebaikan bersama. Memang benar, Roy. Cinta itu tidak harus memiliki.

"Lambaian tangan mu ... Masih kuingat selalu ...
Itu yang terakhir ... Ku melihat dirimu ..."

Terngiang lagu kesukaannya itu semakin nelangsa jiwaku.

SELESAI

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 30, 2020 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang