Bab 8 MALAPETAKA

32 4 0
                                    

Tok ... Tok ... Tok ...

Pintu kamar ada yang mengetuk. Tubuhku semakin menggigil, pikiran kacau dan hati berdebar tak karuan. Tak berani membuka pintu, semakin merapatkan selimut.

Samar terdengar Ghandi berkata keras di ruang karaoke yang sepi, karena musik telah dimatikan.

"Tunggu saja besok, aku akan bikin perhitungan dengan p*****r sombong itu. Baru ini aku ditolak wanita murahan semacam dia!"

Tok ... Tok ... Tok ...

Pintu kamar diketuk kembali.

"Maya, buka pintunya dulu!"

Itu suara Mbak Yeni. Tak lama terdengar suara mesin mobil dinyalakan. Mungkinkah Ghandi dan temannya akan pulang?
Segera menyingkirkan selimut dan beranjak mendekati pintu.

KREK

Pintu kubuka setengahnya saja, tampak di hadapan berdiri mbak Yeni dengan wajah yang sulit dilukiskan.

Dia mendorongku masuk kamar lalu menutup pintu.

"Apa yang sudah terjadi, Maya? Kenapa Ghandi mengamuk begitu?!" tanyanya setelah duduk di pembaringan. Aku mengikuti  duduk di sampingnya sambil mendesah dalam.

Lalu menceritakan awal kejadian yang mana Ghandi sudah melecehkan dan menghina ku. Mbak Yeni tertawa mendengar penuturan ini.

"Oh alah ..., aku kirain apa. Tapi kamu memang sudah mencari masalah. Ghandi memang tidak pernah berbuat demikian, bila dia tidak menyukai seseorang. Berarti dia suka sama kamu. Tapi ..., yah itulah caranya yang salah," papar mbak Yeni membuatku semakin tercekam.

"Ghandi orangnya keras. Jika belum mendapatkan yang dia mau, maka sampai di manapun pasti akan dikejarnya." Lanjut Mbak Yeni. Dadaku bergemuruh kencang dan tubuh menjadi panas dingin.

"Lalu, apa yang harus aku lakukan, Mbak?"

Jujur aku sangat takut sekali. Awalnya menyukai cowok ganteng itu, tapi setelah kejadian ini hati rasa tidak bersimpati lagi.

"Ya, menurut ku sih, kamu layani saja dengan baik-baik. Jika kamu bisa mengambil hatinya, maka apapun akan dia berikan. Ghandi sebenarnya orang baik," jelasnya panjang lebar seakan ingin mempromosikan pemuda tersebut. Aku jadi ill feel.

"Tapi aku enggak mau menjual diri, Mbak. Ghandi ingin tidur denganku. Jujur saja jika hal itu, aku belum siap," keluhku dengan jantung berdebar.

Mbak Yeni tertawa lagi, seolah sedang mengejek kejujuran ku.

"Jadi orang itu jangan polos banget, napa? Semua orang tidak akan percaya atas ucapan mu itu, Maya. Setiap wanita yang sudah terjerumus ke lembah hitam, mustahil mampu menahan godaan setan. Biarpun kamu bicara bahwa tidak pernah menjual diri, tapi pekerjaanmu menjadi wanita penghibur. Apakah mungkin mereka percaya?!" Mbak Yeni menatap serius padaku yang hanya menunduk.

"Jika kamu ingin dianggap wanita baik-baik, mengapa kamu pilih pekerjaan ini? Bukannya menjadi wanita penghibur itu, harus siap dengan segala resiko yang terjadi. Jika kamu tidak siap, jangan kerja begini." Mbak Yeni memberi petuah yang memukul hatiku.

Diri ini bagaikan baru di sadarkan kembali dari buaian mimpi yang menyesatkan.

***

Keesokkan harinya setelah membersihkan ruang kafe yang berantakan, sebuah motor matic berhenti di halaman rumah kafe. Bu Baity turun dari boncengan motor dan menghampiriku dengan tergopoh. Semetara Hendra-anak lelakinya hanya menunggu di atas motor.

Memang Bu Baity, rumahnya ada di kampung lain dan terpisah dari kafe. Di sini hanya tempat usaha saja dan dijaga oleh para anak buah bersama sang operator musik, Beny.

"Sini kamu, May!"

Wanita bertubuh gemuk dan agak pendek ini, menarik lenganku untuk duduk. Aku mengikuti dengan jantung berdebar.

"Semalam kamu cari kasus dengan Ghandi, ya? Dia tadi menelpon ibu, katanya mau berurusan denganmu. Aduh ... May! Ghandi itu anaknya pamong desa sini. Bapaknya jahat sekali. Jika ada masalah di kafe-kafe pinggir hutan ini, maka mereka tidak segan untuk menghancurkan. Polisi saja kalah dengan kekuasaan warga kampung. Sebenarnya tempat kita ilegal. Sudah dilarang."

Bu Baity menjelaskan dengan panjang lebar. Dadanya naik turun tidak beraturan, wajah dan bibir menjadi pucat. Aku jadi bingung sendiri.

Sefatal itukah kesalahan yang sudah kuperbuat? Sehingga pemuda bernama Ghandi tersebut, ingin memperpanjang masalah.

"Tapi kan, Bu ... Perjanjian kita kemarin bagaimana? Aku kan, tidak melayani tamu untuk bercinta. Hanya sistem gaji dan uang saweran." Aku membela diri.

"Mereka mana tahu urusan soal itu, Maya. Mereka tahunya kau sudah menolak keinginan Ghandi. Maka menurut dia, sama saja kau menghinanya. Ghandi tidak terima."

"Semalam Ghandi sedang mabuk berat, Bu. Masak dia masih ingat semuanya?" Aku masih protes, karena menganggap itu masalah sepele. 

"Enggak, Maya. Kalaupun dia mabuk mungkin hanya sedikit. Buktinya, dia telepon Ibu dan menceritakan semua kejadian tadi malam," terangnya lagi.

"Lalu, aku harus bagaimana, Bu?" tanyaku cemas.

Bu Baity menatapku dengan roman wajah sedih.

"Untuk sementara, kamu menghindar saja dulu. Pergi dari sini, terserah kamu mau kemana yang pasti jangan dulu ada di sini untuk beberapa lama. Ibu khawatir, Ghandi dan teman-teman warga kampungnya akan datang kemari dan mengacaukan kafe ini."

Keterangan yang diberikan oleh Bu Baity, sungguh membuat dadaku sesak. Hati diliputi kesedihan dan bingung. Harus kemana lagi melangkah? Sedangkan tidak ada tujuan. Pun tak ada teman lain yang memberi informasi pekerjaan. 

Ingin pulang kampung, itu mustahil karena aku belum berhasil. Ataukah mungkin, ini suatu jalan agar diri ini berhenti bekerja di tempat hiburan malam? Lalu, mencari pekerjaan yang baik-baik saja juga halal. Namun, kerja apa?

Terlintas dalam benak, sosok pemuda bernama Roy Frans.

***

Bu Baity memesan mobil travel untuk tujuan Jambi. Ya, akhirnya kuputuskan untuk kesana lagi. Tak ada jalan lain. Hanya pemuda berondong itu harapan satu-satunya yang nanti akan menolong.

Bu Baity dan Mbak Yeni juga Karin ikut-ikutan cemas menunggu mobil travel datang. Sebab kepergian ku ini jangan sampai diketahui oleh Ghandi dan teman-teman preman-nya.

Kemungkinan jika sudah tidak ada di kafe ini, mereka akan mengurungkan niatnya untuk membuat kerusuhan. Jadi, harus aku terlebih dulu menyingkir dari sini dan itu bisa jadi alasan untuk mereka tidak berbuat anarkis. Kasihan bila kafe bu Baity akan hancur karena masalahku. 

Hampir tiga jam menunggu dengan gelisah dan takut, akhirnya travel datang. Kebetulan juga Beni dan Hendra datang mengendari motor berboncengan.

Beni cepat melompat turun dari jok motor dan bergegas menghampiri kami yang berdiri di dekat travel.

"Cepat pergi, Maya! Rombongan Ghandi 10 menit lagi akan datang. Tadi kami berjumpa di jalan." Beni melaporkan.

BERSAMBUNG

KASIH TAK SAMPAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang