Plan menuruti yang dikatakan Mean. Ia berbaring dan membiarkan Mean di atasnya.
"Tatap mataku," bisik Mean lagi. Ia menurut lagi. Meskipun tatapannya penuh dengan kebencian, Plan menatap Mean.
"Bagus. Kau sangat menarik!" lirih Mean dengan tatapan yang lembut dan teduh. Suaranya semakin lembut dan bergetar.
Deg.
Perasaan aneh menyerang dada Plan. Jantungnya berdebar kencang saat Mean memuji dirinya dengan suara dan tatapan yang lembut dan menggetarkan. Ia akui lelaki di atasnya itu memang sempurna kecuali kelakuannya yang sungguh berkebalikan.
"Tenanglah! Aku tak akan melukaimu," bisik Mean sambil tersenyum.
Ada yang berbeda dengan Mean malam itu. Plan tak mengenalnya. Senyumnya lembut, tutur katanya tulus, dan tatapannya teduh.
Plan hampir terbawa larut dalam rayuannya. Untungnya akal sehatnya berpikir lain, bahwa mungkin itu cara sang Cassanova menaklukan para korbannya dan membuatnya menurut kepadanya.
Tangan Mean menjulur ke kepala Plan, membelai rambutnya dengan lembut sambil tersenyum. Matanya terkunci pada mata Plan dan ia mendekatkan wajahnya mencium kening Plan lembut dan lama.
Hangat. Rasa itu mengalir ke seluruh tubuh Plan saat Mean menyentuhkan bibirnya di kening. Sekujur tubuhnya mulai bergetar dan seiring bibir Mean yang menjelajahi pipi, mencium ujung hidung dan berakhir pada bibirnya, Plan tak lagi berdaya, tubuhnya menggelinjang hebat sebab sentuhan bibir Mean di setiap bagian wajahnya itu membuat api di dalam tubuhnya menyala.
"Mmmmmph," desah Plan saat mereka berciuman.
Ia harus mengakui kehebatan lelaki yang mengulum bibirnya, menyelipkan lidahnya ke dalam mulutnya dan kemudian membuat berpaut dengan lidahnya dan bertukar ludah dengan ramah.
"You are good," bisik Mean sambil tertawa. Ada yang berbeda dengan tawanya juga, lebih lega dan bebas dan nyata. Tawa kebahagiaan yang membuat wajah Mean semakin tampan.
Mereka berciuman lagi. Kali ini Plan tak sungkan membalas. Ia juga mulai merasakan kenikmatan dan ia sadar pada akhirnya ia akan kehilangan sesuatu yang berharga bagi dirinya.
Paling tidak ia harus bisa menikmati pengalaman pertamanya dengan bahagia, meski sedikitpun tak pernah ia menyangka bahwa ia akan menghabiskan pengalaman pertamanya itu dengan musuhnya dan bukan orang yang ia cinta.
"Kau menikmatinya?" Mean bertanya lembut. Tatapannya tulus dan Plan memalingkan wajahnya seraya menganggukkan kepalanya.
Mean tersenyum. Ia meneruskan aksinya. Bibirnya mulai bercengkrama dengan leher Plan yang putih dan mulus dan ia tak lagi sungkan menandai selasar leher yang tanpa cacat dan harum itu dan Plan tak kuasa untuk mengeluarkan suara desahan yang lebih keras.
Dirinya kaget mendengar itu. Ia menutup mulutnya meredam suara, tapi Mean dengan cepat menarik tangannya dari posisi itu.
"Nooo," lirih Plan dengan wajah memerah.
"Aku ingin mendengarnya. Aku ingin kita mengenang malam ini dengan baik," bisik Mean.
Plan hanya menatapnya dengan napas tersengal. Ia kemudian menganggukkan kepalanya dan Mean tersenyum dibuatnya.
Mean melanjutkan aksinya. Dengan sabar, ia menandai setiap senti tubuh Plan dengan bibirnya. Tak ada satu bagian kecil pun dilewatkan. Benar-benar menyeluruh. Plan tak mungkin akan melupakan bagaiamana bibir Mean mengecup dan memghisap bagian-bagian tertentu dalam tubuhnya itu.
Begitu pula Mean. Tak mungkin ia melupakan tubuh dengan definisi melebihi sebuah kesempurnaan dan keindahan serta suara lenguhan dan erangan yang khas dari seseorang yang bernama Plan Rathavit itu.
