Plan sudah menerima takdirnya saat ia dipinang oleh Bangsawan Phiravich, tepatnya Ken Phiravich, ayah dari Mean Phiravich, musuh bebuyutannya sejak mereka satu sekolah. Ia sendiri tak menyangka bahwa ia akan menjadi ibu tiri musuhnya sendiri.
Jika ia boleh memilih, ia akan pergi meninggalkan ibunya dan mengejar mimpinya menjadi seorang desainer baju pengantin. Sesuatu yang sudah menjadi cita-citanya karena ia ingin suatu hari ibunya dengan bahagia menikah dengan orang yang ia cintai setelah berkorban banyak hal untuk dirinya.
Ada hubungan yang sangat unik di antara anak dan ibu ini. Mereka benar-benar saling mengandalkan dan menyayangi. Plan lahir tanpa mengetahui siapa ayahnya. Ibunya tak pernah berbicara tentang identitas ayahnya. Satu-satunya hal yang ia tahu dari ibunya tentang ayah kandungnya adalah bahwa ia adalah orang besar dan sangat penting. Kadang-kadang ia mendengar juga bahwa ayahnya sangat tampa seperti Pangeran yang turun dari kahyangan dan mencintai ibunya sepenuhnya.
Sama halnya dengan ayahnya, meskipun tak pernah ada di sisinya, ibunya tak pernah menyalahkannya. Ia bahkan berpesan kepada Plan bahwa suatu hari, jika ia menemukan siapa ayahnya, jangan pernah membencinya. Ia harus mencintainya. Ayahnya meninggalkan dirinya dan ibunya adalah bagian dari usahanya untuk melindungi mereka.
Sewaktu remaja, Plan tak pernah paham dengan yang dikatakan oleh ibunya. Tetapi, keajaiban selalu terjadi padanya, setiap kali ia memohon sebuah permintaanku kepada Tuhannya di kuil, ini pasti alan terjadi, kecuali satu hal, yaitu saat ia meminta tak dipertemukan lagi dengan Mean Phiravich dalam hidupnya.
Tuhan malah seperti sedang mengejeknya. Ia malah menjadi anak tirinya. Cukup sudah ia dihina Phiry semasa sekolah dulu. Kampus dan kelas yang ia rasakan seharusnta adalah masa yang indah menjadi masa yang gerah dan alasannya hanya karena satu orang, Mean Phiravich.
Bukan salahnya ia masuk ke sekolah itu karena beasiswa. Ia punya otak dan ia punya prinsip, tak seperti pacar-pacarnya yang hanya punya buah dada dan kemaluan yang besar dan itu pun karena mereka sudah dioperasi beberapa kali.
Benar, mereka orang kaya, tapi bagi Plan mereka hanyalah sekumpulan badut bermake-up tebal yang lebih memilih menjadi budak Phiravich daripada berdiri sendiri.
Masa sekolah itu sangat berat apalagi kalau Phiravich sudah menyebutnya dengan anak jadah, alias anak haram di luar nikah dan diabaikan ayahnya. Itu sangat menyakitkan dan ia dilema sebab ibunya melarangnya melawannya dan ibunya selalu meyakinkannya bahwa suatu hari hidupnya akan berubah dan ia akan bahagia.
Inikah yang disebut dengan bahagia? Dijadikan istri ketujuh dalam keluarga Phiravich. Andai saja ini bukan permintaan ibunya, Plan pasti akan dengan tegas menolaknya.
Ia ingat percakapan dengan ibunya sebelum ia meninggal di rumah sakit. Ibunya bilang bahwa ia sudah memberikan Plan kepada Phiravich untuk dijadikan istrinya yang ketujuh dan ka berharap Plan menerimanya dengan lapang dada. Itu adalah permintaan terakhirnya.
Lapang dada?
Bagaimana bisa? Memasuki rumah itu sama dengan memasuki neraka dengan panas yang tak bisa dibayangkan. Ia tak mungkin bahagia di sana.
"Mae, kenapa kau menginginkan aku di sana," lirihnya kepada dirinya sendiri sambil memperbaiki gaun pengantinnya.
Mobil mewah sudah menjemputnya dan ini kali terakhir ia akan berada di rumahnya yang meskipun kecil, ada banyak kenangan dan kebahagiaan di sana.
"Selamat tinggal, Mae," ujar Plan lagi. Ia menoleh untuk terakhir kalinya sebelum ia melangkahkan kakinya menuju mobil mewah itu.
Dua orang, lelaki yang berpakaian seragam sopir dengan wajah yag tampan tapi kocak dan seorang perempuan berdandan seperti sekretaris dan bertubuh sintal berdiri menunggu di dekat mobil.
Ia mengembuskan napasnya sebelum berjalan mendekati mereka, seolah mencoba menenangkan dirinya. Setelah itu ia mendekati keduanya dan memberi hormat.
"Nyonya 7, perkenalkan, namaku Sammy, aku adalah asisten pribadi Anda di kediaman Phiravich, apapun yang Anda butuhkan, Anda bisa memintanya atau bertanya melalui saya. Dan ini adalag Yacht. Dia juga sopir Anda. Jangan sungkan untuk meminta tolong kepadanya," ujar Sammy menjelaskan.
Plan menatap mereka bergantian lalu tersenyum.
"Kurasa kalian sebaya denganku. Kalian sangat ramah kepadaku. Namaku Plan, jadi tak perlu memanggilku Nyonya terlebih ditambah angka seperti aku seorang tahanan saja. Panggil saja aku Plan dan aku akan panggil kau Sam dan Yacht. Kita berteman, bagaimana?" tanya Plan sambil tersenyum dan memiringkan kepalanya.
"Eh, tapi?" Keduanya saling menatap sungkan.
"Ini akan jadi rahasia kita," ujar Plan lagi sambil masih tersenyum.
"Baiklah," ujar Sammy dan mereka pun tersenyum bersama.
Sepanjang jalan Sammy bercerita tentang keadaan di keluarga Phiravich. Aturan umum Bangsawan kebanyakan. Plan hanya menganggukkan kepalanya. Tatapannya menerawang keluar jendela, membayangkan dirinya akan bertemu lagi dengan musuhnya saja sudah membuatnya sakit perut. Padahal dia sudah tenang dan bahagia karena jauh dan tak lagi berurusan dengannya. Sekarang, ia akan melihat wajahnya hampir setiap hari.
Dia tak bisa membayangkan apa yang akan terjadi kepada dirinya.
"Semoga Tuhan melindungiku," lirih Plan kepada dirinya.
"Iya, bagaimana Plan?" tanya Sammy.
"Ah, tidak," ujar Plan. Dia tersenyum kepada Sammy dan kemudian memalingkan wajahnya ke arah jendela.
Bersambung