Chapter 5

431 57 12
                                    

Mobil yang membawa Plan sudah tiba di depan pintu gerbang. Plan menggigit bibir bawahnya. Ia sangat gugup. Ia paham bahwa sekali ia memasuki gerbang itu akan sangat sulit untuk keluar.

Sebenarnya, Plan seharusnya merasa sangat beruntung. Ia adalah satu perempuan dari ribuan wanita di luar sana yang mengantre ingin dipersunting keluarga Phiravich. Sayangnya, hanya satu anak lelaki keluarga Phiravich itu, yaitu Mean Phiravich dan yang lainnya selalu perempuan.

Yang paling aneh adalah meski ayahnya menikahi banyak perempuan sesudah ibu Mean, tak satu pun yang bisa memberikan keturunan, padahal sesudah menjalani pemeriksaan dan lainnya, mereka bisa dikatakan sehat dan tak ada masalah apa pun.

Ini seolah kutukan untuk mereka, bahwa keturunan Phiravich akan dianugerahi harta kekayaan yang berlimpah dan tak akan pernah surut sampai kapan pun serta kekuaasaan yang kuat, tapi tak akan pernah bisa menghasilkan keturunan lelaki, dan Mean sampai saat ini satu-satunya yang ada.

Namun, sang penguasa yang dingin dan bertangan besi serta terlampau tegas, perempuan yang bernama Pearl, satu-satunya perempuan yang menjadi penentu atau pengambil keputusan dalam keluarga Phiravich, sekaligus ibu Ken Phiravich, itu selalu percaya bahwa ia bisa meruntuhkan kutukan itu. Dan saat Mean lahir, ia seolah memenangkan pertarungannya dengan Tuhan.

Pearl, nenek Mean tak pernah menyadari yang sebenarnya terjadi. Jika tahu yang sebenarnya, entah apa yang akan terjadi kepadanya.

Ketika mobil melewati gerbang, sang sopir masih harus melajukannnya kira-kira selama lima belas menit untuk mencapai pintu utama. Plan keluar setelah Sammy mempersilakan. Itu pun setelah ia diam sejenak dan memgambil napas panjang.

Ia berjalan menuju Ken yang tersenyum sumringah saat melihat pengantinnya yang cantik luar biasa. Tak ada yang lain. Hanya Ken Phiravich. Ia berjalan menuju Plan dan tersenyum bahagia.

"Selamat datang di istanaku, pengantinku yang cantik," ujarnya bangga. Ia memberikan lengannya. Plan menatap Ken sejenak lalu menatap tangannya dan Ken dengan sabar menunggu dirinya mengaitkan lengan Plan pada lengannya.

Ia melakukannya dan mereka berjalan menuju rumah yang lebih tepat disebut istana. Gong, sang pengawal membukakan Ken pintu dan kemudian berjalan di depannya untuk memastikan semuanya baik-baik saja.

Mereka berjalan ke aula utama dan semuanya berkumpul di sana, termasuk Pearl. Ia duduk di kursi utama. Plan dan Ken melangkah menuju Pearl disaksikan semua anggota keluarga yang duduk di pinggirnya.

Sejenak ia terhenyak menatap Mean Phiravich yang jelas lebih tampan tapi menatapnya dengan pandangan yang dingin dan penuh dengan kebencian.

Dia tahu dan paham benar pandangan itu. Dan ia sangat tahu bahwa penderitaannya akan dimulai detik itu juga.

Mereka memberi hormat dan Ken memperkenalkan kepada semuanya istri terbarunya ini. Semuanya hanya diam, tak satu pun mengangkat gelas untuk menyelemati sampai Pearl melakukannya.

"Kau masih perawan, Perempuan ke-7?" tanya Pearl tiba-tiba. Hal ini membuat Plan terkejut. Ia diam dan baru akam membuka suara saat tawa sinis Mean terdengar keras memenuhi ruangan. Semua tatapan menuju Mean.

"Kau tertawa, cucuku tersayang. Kau tahu sesuatu?" tanya Pearl, mengarahkan pandangannya kepada Mean.

"Aku hanya meragukan perempuan zaman sekarang masih menjaga dirinya," sahut Mean.

"Aaah, begitu rupanya," ujar sang nenek lalu ia berpaling kepada Plan meminta jawaban.

"Bukan. Aku bukan perawan. Dan bukan Paman Ken yang melakukan kepadaku," sahut Plan sambil menatap Mean tajam.

Mean tersenyum kepadanya seolah ia bangga Plan mengakui dirinya sebagai seseorang yang mengambil sesuatu yang paling berharga baginya.

Giliran Ken yang menganga. Ia kemudian mengalihkan pembicaraan dengan meminta Pearl untuk menutup acara sebab ia ingin segera berduaan dengan sang pengantin.

Pearl tertawa dan ia melakukan yang Ken minta. Setelah itu, Plan dibawa Gong dan Sammy ke kamarnya sementara Ken tengah mempersiapkan dirinya di ruangan yang lain.

Plan memasuki kamarnya. Selama setengah jam, Sammy memperkenalkan bagian-bagian ruangan termasuk fungsinya. Namun, sepertinya, bukan itu yang ada di dalam pikiran Plan saat itu. Isi otaknya terokupasi dengan tatapan dan tawa sinis Mean yang entah kenapa membuat perasaannya kembali gundah.

Rasa itu kembali setelah sekian lama mereka berpisah. Plan duduk di tepi ranjang, merenungkan nasibnya. Bagaimana bisa tubuhnya dinikmati secara bergiliran. Dulu anaknya yang mengambil harta berharganya dan malam ini dan seterusnya seumur hidupnya ayah Mean yang akan menikmati setiap bagian tubuhnya itu.

Plan mengepalkan tangannya dan mulutnya mendadak pahit saat ia memikirkan bahwa sesudah Phiravich muda tak ada yang lain dalam pikirannya. Ia adalah sumber kebenciannya tapi juga kerinduannya.

Barangkali ia sudah gila. Atau barangkali ia terkena sindrom yang ia bahkan tak tahu namanya. Sejenis perasaan korban yang merindukan sentuhan sang pemerkosa. Plan sendiri berpikir ia sudah gila karena satu hal yang pasti tubuhnya bergetar saat ia dan Mean bertatapan dingin. Tubuhnya merespons tatapan itu dengan cara yang tak wajar. Sederhananya, otaknya dan tubuhnya tak sama berjalan sebab sejujurnya saat itu ia hanya ingin Mean yang menyentuh dirinya.

Air matanya mengalir. Ia tengah perang dalam dirinya sendiri. Antara keinginan membuat ibunya bahagia dan mengikuti nalarnya yang gila. Plan harus mengakui hatinya sudah tercuri sang Cassanova sejak lama.

Jangan tanya durasi lama itu mulai kapan, sebab ia sendiri tak menyadari dengan pasti kapan Mean mulai mendominasi seluruh pikirannya.

Pintu dibuka. Ken Phiravich berdiri dengan gagahnya di balik pintu. Kali ini senyumnya sangat beda. Tatapannya pun sangat teduh senada dengan ekspresi di wajahnya yang dipenuhi dengan rasa rindu yang amat dalam.

"Kau sangat mirip dengan Nun," sahut Ken sambil tersenyum. Plan tersentak kaget saat nama ibunya disebut dengan cara yang kasual.

"Paman kenal ibuku?" tanya Plan.

"Sangat baik," ujar Ken sambil tersenyum bahagia.

Ia masih menatap Plan dari balik pintu dan perlahan mendekati Plan dan tiba-tiba berlutut dan bersujud di kaki Plan.

Plan tersentak kaget. Ia sontak berdiri dan kemudian mengangkat Ken agar berdiri.

"Maafkan aku," sahut Ken yang tak bergerak bahkan saat Plan mengeluarkan seluruh tenaga yang ia punya.

"Paman, ada apa ini? Aku bingung," sahut Plan. Wajahnya memang menunjukkan yang ua katakan.

"O, Baby, maafkan Pho, na!" ujar Ken dan langsung memeluk Plan.

"Pho!" Wajah Plan kaget dan ia masih diam dalam pelukan Ken.

Bersambung

THE SEVENTH LADYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang