Stella siuman lagi. Ini sudah ketiga kalinya dia pingsan. Hanya dalam hitungan hari. Bahkan jam. Dan tiap kali terbangun situasinya bertambah buruk.
Pertama kali dia terbangun di geladak OLYMPUS. Dalam ruang perawatannya. Masih mending. Tapi yang kedua dalam museum yang nyaris runtuh kena bom! Dan ia masih ingat betapa kepalanya seperti mau pecah - cuma karena bunyi ledakannya saja.
Dengan semua kenangan seperti itu, Stella tidak terlalu heran jika sekarang dia bangun di tempat - dan kondisi - yang lebih buruk lagi. Sesuatu yang masuk akal mengingat apa yang dia ingat sebelum pingsan.
Berkelahi dengan gadis teroris. Hovercarnya menyambar atap rumah. Lalu jatuh berguling-guling. Kenyatan bahwa dia masih hidup saja sudah merupakan keberuntungan yang luar-biasa.
Dia tidak berharap keberuntungannya dapat bonus.
Stella membuka mata dengan harap-harap cemas. Yang pertama kali dilihatnya adalah langit-langit metalik yang diperkuat dengan kerangka-kerangka logam yang tebal nan kokoh. Dengan segera dia tahu sedang berada dalam sebuah pesawat angkasa luar.
Tentunya jelas lebih baik daripada terbangun di tengah reruntuhan. Tapi entah kenapa, firasatnya mengatakan ini alamat yang jauh lebih gawat.
Dan seolah ingin membuktikan firasatnya, tiba-tiba dalam jarak yang sangat dekat terdengar orang berkata, "Semoga barusan kau bermimpi buruk, Stella. Agar kau tidak terlalu terguncang dengan kenyataan yang akan kau hadapi."
Itu sudah cukup untuk membuat Stella bangkit menegakkan tubuhnya dengan gerakan mendadak. Sikapnya langsung waspada. Dia bersyukur bisa melakukannya tanpa rasa sakit. Karena itu berarti tubuhnya tidak ada yang patah setelah kecelakaan kemarin.
Kemarin? Atau cuma beberapa jam yang lalu? Entahlah!
Stella - lagi-lagi - menemukan dirinya terduduk di ranjang. Bedanya, ranjang yang ini didisain lebih mengutamakan keringkasan daripada kenyamanan. Kerangka logamnya tidak ditopang kasur yang tebal. Hanya secukupnya mencegah tubuh terlalu pegal kalau kelamaan beradu dengan logam yang keras.
Tapi ranjang itu bukan satu-satunya masalah disain yang ada.
Ruangan atau bilik atau kabin atau apapun di mana dia sekarang berada sangat sempit. Dan sangat spartan. Dindingnya penuh tonjolan logam yang panjang dan tebal. Memberi kesan klaustropobik. Kesan itu diperkuat oleh penerangan yang redup dan merah membara.
Sangat menekan perasaan!
Di tengah suasana yang tidak bersahabat itulah berdiri sosok berjubah hitam. Hanya dua langkah dari ranjang tempat Stella berada. Berdiri menjulang seperti malaikat maut yang siap mencabut nyawa.
Stella berusaha keras melihat wajahnya. Tapi percuma. Kerudung hitam yang dia kenakan menutup wajah itu dengan sempurna. Sulit sekali mengenalinya.
"Tapi bisa jadi tak ada yang perlu dikhawatirkan," lanjut sosok itu sekali lagi. "Kau sudah menjadi gadis yang sangat tangguh. Delapan belas tahun! Semuda itu. Dan kau telah dua kali menggagalkan operasi kami. Luar-biasa."
Stella melihat kiri-kanannya. Sosok itu dipastikan sendirian. Tak ada orang lain yang menemaninya. Sepertinya juga tidak bersenjata. Mungkin jika dia bisa memberikan kejutan....
Umumnya Stella selalu berpikir dan bertindak cepat. Tapi terkadang dia sudah bertindak sebelum pikirannya tuntas. Seperti sekarang. Tanpa ba-bu, dia bangkit dan langsung menerjang sosok berjubah hitam itu.
Sosok itu tidak menghindar. Bergerak pun tidak. Bukan karena saking kagetnya. Bukan karena tidak sempat bergerak. Stella segera mengetahui sebabnya.
Gadis itu kaget ketika pukulannya yang telak ke dada tidak membuat musuhnya bergeming. Seperti menghantam karang. Dan seperti itu juga rasanya! Stella mengernyit kesakitan.
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA GADIS ANTARIKSA
Ciencia FicciónStella. Astronot. Genius. Selamat datang di abad 23. Bersama dua sahabatnya, Reza yang diam-diam mencintainya dan Cartini yang berotak komputer, mereka berpetualang melawan penganut bumi datar yang ingin menghancurkan seluruh alam semesta.