Komandan, sensor menangkap pergerakan satu squadron hovercar militer mendekati OLYMPUS. Analisa manuver mengarah ke upaya pengepungan."
Suara Artificial Inteligence itu mengagetkan Reza. Chartini pun menegakkan tubuh. Waspada. Sikapnya membuat Reza menjadi was-was. Ini berarti gawat. Kejadian barusan di luar perhitungan robot tersebut.
Chartini menggerakkan tangan. Layar monitor memperlihatkan apa yang baru dilaporkan. Hovercar dengan corak loreng dan bersenjata berat meluncur dalam formasi serang. Mendekati dermaga. Atau lebih tepat, mengepungnya.
"Sepertinya alat menghilang itu belum cukup membuat kita tidak ketahuan." Reza agak gugup melihat pameran senjata berat itu. Sebagai anak presiden, dia tahu tidak akan diapa-apakan. Tapi tetap saja rasanya seperti maling yang tertangkap basah.
"Aku sudah mengacak semua kamera pengawas utama stasiun ketika menolong dan membawamu ke sini," Chartini berkata seolah apa yang terjadi di layar cuma adegan film. "Tapi tentu saja selalu ada kemungkinan ada kamera pribadi - yang tidak terkoneksi dengan komputer induk - telah melihat dan melaporkan kita."
"Dengan kata lain," kata Reza dengan murung, "rencana kita berantakan."
"Tidak," suara Chartini tegas tapi tetap tanpa emosi. "Hal ini sudah masuk kalkulasi. Kita tetap menjalankan rencana semula."
Reza terdiam. Bungkam. Bimbang. Juga ketakutan. Dia bukan Stella yang suka nyerempet-nyerempet bahaya. Seumur-umur melanggar lampu merah saja tidak pernah.
"Aku tidak tahu," Reza menelan ludah. "Tapi apakah tidak lebih bijaksana jika kita biarkan mereka mengambil-alih semua ini."
Kata-kata itu membuat Chartini menghadap Reza. Ekspresi muka android itu berubah simpatik. Lebih lagi dengan tangan kanan menyentuh pundaknya. Reza bertanya-tanya apakah itu bagian dari program atau sesuatu yang berbeda.
"Aku tahu kau cemas dan takut," nada bicara Chartini jauh lebih lembut dari sebelumnya. Bahkan terdengar keibuan. Seperti suara ibunya. "Tapi kita sudah membicarakan ini. Apa yang terjadi di Istana dan juga menimpa Stella membuktikan keamanan di luar sana sangat riskan. Ada kebocoran informasi yang sangat berbahaya. Pesawat antariksa ini tidak hanya lebih aman dari tempat manapun di Ibu Kota ini. Tetapi juga memberi kemungkinan lebih besar untuk menemukan Stella."
"Aku tahu," Reza masih galau. "Tapi melakukan pencarian sendiri tanpa berkoordinasi dengan pihak keamanan adalah tindakan ceroboh. Setidaknya itulah pendapatku."
"Di situasi normal, aku setuju dengan pendapatmu," sahut Chartini. "Persoalannya kita tidak tahu siapa saja yang bisa kita percaya di luar sana. Jika kita memberikan informasi yang kita dapat dari teroris itu pada pihak keamanan, ada probabilitas yang besar bahwa pihak musuh juga akan mengetahui. Dan itu berarti sangat berbahaya buat keselamatan Stella."
Itu memang benar. Reza tidak bisa membantah. Jika Stella sampai celaka hanya karena dia tidak punya keberanian, itu berarti penyesalan seumur hidup. Atau lebih buruk lagi.
Tapi....
Di sisi lain, Reza juga tetap tak bisa mengelak. Keputusan nekad ini tidak cuma ceroboh. Juga sangat berbahaya. Tidak cuma dirinya. Keselamatan Stella pun bisa jadi taruhan.
Demi Tuhan! Apa yang harus dia lakukan?
Belum sempat ia menimbang-nimbang, komputer utama OLYMPUS kembali menggelegar, "Komandan, Presiden menghubungi kita. Apakah harus saya sambungkan?"
Reza terhenyak. Ibunya! Ibunya menghubungi dia. Bukan hal mengejutkan sebenarnya. Jika tentara di luar sana tahu keberadaannya di sini, tentu Presiden juga diberitahu.
Reza menatap Chartini. Tegang. Chartini balik menatapnya. Tenang. Mulut Reza seperti kaku. Tak tahu harus bilang apa. Chartini yang akhirnya bersuara.
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA GADIS ANTARIKSA
Ciencia FicciónStella. Astronot. Genius. Selamat datang di abad 23. Bersama dua sahabatnya, Reza yang diam-diam mencintainya dan Cartini yang berotak komputer, mereka berpetualang melawan penganut bumi datar yang ingin menghancurkan seluruh alam semesta.