6. ANCAMAN TAK TERDUGA

2 0 0
                                    

Stella tidak sedang mencoba bunuh diri. Lompatannya adalah tindakan yang penuh perhitungan. Dia tahu tak ada gunanya membantah keinginan Presiden. Itulah sebabnya dia memilih berimprovisasi.

Lagipula, dia tahu beberapa trick.

Karena gravitasinya cuma buatan, maka hukum fisika di stasiun ini agak berbeda. Di permukaan lingkaran silinder, gravitasi setara dengan gaya tarik bumi. Tetapi di titik pusat silinder, tempat hovercar melayang, tak ada gaya tarik apapun alias gravitasi nol.

Jadi, bukannya jatuh bebas seperti batu, Stella malah melayang seperti pesawat kertas.

Dia 'terbang' menjauh hovercar kepresidenan dan memandang sekeliling. Ruang kosong di titik pusat silinder ini dipenuhi kendaraan sejenis yang lalu-lalang. Stella mengerahkan segenap kemampuannya selaku pemain bola tanpa bobot untuk menghindari tabrakan - sekaligus menyelinap di antara keramaian.

Apa yang dia lakukan sekarang pada dasarnya sama dengan apa yang dia lakukan di cincin Saturnus beberapa saat lalu.

Bedanya, dia tidak punya apa-apa selain tangan dan kakinya.

Gadis itu berhasil menghindar sekitar lima belas kendaraan sampai tahu-tahu dia menemukan dirinya persis di lintasan sebuah hovercar angkutan barang berukuran besar dan berkecepatan tinggi.

Bukannya menghindar secepat mungkin, Stella justru menunggu hovercar raksasa itu sampai sedekat mungkin.

Dan tepat sebelum terjadi benturan fatal, gadis itu berkelit ke samping dan meraih tonjolan di tepi kendaraan tersebut. Mencengkeramnya seerat mungkin.

Tubuhnya pun tertarik laju kendaraan itu. Stella sekarang jadi penumpang gelapnya.

Dia merapatkan diri pada dinding luar kendaraan, memastikan keberadaannya tidak diketahui pengemudi maupun pengawal presiden yang sekarang pasti kebingungan mencarinya.

Jika pikirannya tidak sedang berduka, dia pasti akan tersenyum jahil.

Kelihatannya rencana gadis itu berhasil. Hampir setengah jam dia menggantung di sana sampai kendaraan itu akhirnya mendarat di pangkalan bongkar-muat.

Tak ada kesulitan baginya untuk menyelinap dan akhirnya pergi ke stasiun angkutan umum terdekat. Stella tahu dia tak bisa pergi ke rumah pribadi maupun kantor ayahnya. Dua tempat itu pasti sudah dikontak pengawal presiden. Tidak, dia menuju tempat lain yang tidak diketahui siapapun.

Bahkan Reza tidak mengetahuinya.

Mengendarai monorail berkecepatan tinggi yang menembus kepadatan gedung-gedung pencakar langit, Stella turun di stasiun terdekat dengan sebuah gedung besar yang terlihat berbeda dengan bangunan lain di sekitarnya.

Bukan pencakar langit futuristik seperti umumnya, gedung ini bagai muncul dari ruang-waktu yang lain. Atap berbentuk kubah dan deretan tiang raksasa adalah gema dari masa ribuan tahun yang lalu.

Namun keanehan itu terjelaskan oleh papan nama yang terpampang di gerbangnya....

MUSEUM SEJARAH BUMI.

Stella tidak terlalu yakin mengapa dia datang kemari. Semua murni menurut naluri. Dan sedikit logika. Mungkin.

Para teroris itu bicara tentang bumi. Tentunya tidak ada yang lebih tepat untuk memulai penyelidikan selain tempat yang punya segudang informasi soal bumi.

Gedung museum itu sangat sepi ketika Stella memasukinya. Tidak mengejutkan. Bumi bukanlah topik yang menarik buat kebanyakan warga. Mungkin itu dulunya sesuatu. Tapi sekarang tak lebih dari sebongkah batu.

Stella sendiri tak pernah ke sini sebelumnya. Dia terpana oleh penyajian display yang ada di dalam museum tersebut.

Dia disambut oleh pemandangan yang dibuat dalam hologram tiga dimensi. Berbeda dengan yang pernah diperlihatkan Cartini, hologram di sini lebih canggih dan nyata. Semua diperlihatkan dalam ukuran sebenarnya, sehingga pengunjung akan merasa benar-benar berada di dalamnya.

Stella menemukan dirinya sedang berjalan di tengah-tengah jalanan yang sibuk di sebuah kota di bumi. Orang-orang berjalan hilir-mudik dalam kerumunan. Semua terlihat sibuk. Semua bicara dengan telepon genggam mereka.

Kendaraan darat bernama mobil dan bus nampak terjebak dalam kemacetan. Semuanya seperti berlomba membunyikan klakson. Berisik sekali. Beberapa pengemudi bahkan meneriakkan makian pada mobil di depannya.

Stella menggelengkan-gelengkan kepala melihat semua itu. Penduduk bumi sepertinya terjebak dalam situasi yang serba tanggung. Kemajuan dan kebebalan seperti bercampur baur jadi satu.

Jika keadaannya seperti ini, Stella tidak bisa membayangkan kenapa ada sebagian dari mereka yang tidak mau pindah ke luar-angkasa.

Sampai dia mendongak ke langit.

Meski ada jejak polusi yang pekat di angkasa, Stella masih bisa melihat langitnya yang begitu biru. Sesuatu yang tidak terlihat dalam hologram yang diperlihatkan Cartini. Itu satu pemandangan yang mencengangkan Stella. Dia belum pernah melihat langit yang begitu biru seperti ini.

Hal itu membuat Stella merinding. Dia merasa dapat jawaban pertanyaannya tadi. Kenapa ada orang yang menolak meninggalkan bumi. Bahkan bersikeras melawan siapapun yang berniat melakukannya.

"Ada yang bisa aku bantu?"

Stella menoleh dengan agak terkejut. Seorang tua berkaca-mata tebal memperhatikan dia di tengah kerumunan. Melihat pakaiannya yang sukar dibedakan dengan sosok-sosok di sekitarnya, gadis itu sempat mengira sedang berhadapan dengan hologram juga.

Lalu sosok tua itu terbatuk. Stella, yang cukup paham tentang teknologi hologram, segera menyadari dia sedang berhadapan dengan manusia yang nyata.

"Bukan, aku bukan bagian dari simulasi ini," kata orang tua tersebut, seperti membaca pikirannya. "Tapi aku lihat kau sekarang sudah menyadarinya."

Dia melangkah mendekat dan mengulurkan tangannya. "Aku adalah kurator museum ini. Sangat menyenangkan akhirnya ada seorang anak muda yang tertarik dengan sejarah nenek moyangnya."

Stella menjabat tangan orang tua tersebut. Dia tidak tahu apa yang bisa diharapkan darinya. Tapi, paling tidak, ini adalah awal yang baik.

"Saya..eh, ingin mengumpulkan bahan untuk karya tulis saya," kata Stella agak kikuk. "Bisakah saya bertanya beberapa hal tertentu tentang bumi?"

"Kau bisa bertanya semua hal tentang bumi, Anakku," kata orang tua itu sambil tersenyum lebar. "Tentunya kau bisa melihat betapa sedikit kesibukanku sekarang. Apa yang ingin kau ketahui tentang planet yang indah ini?"

Merasa mendapat dukungan, Stella mendesak, "Apakah Bapak punya informasi yang agak....yah, tidak umum diketahui orang tentang planet ini?"

Orang tua itu nampak berkilat-kilat matanya. Sambil tetap tersenyum penuh rahasia, dia menjawab, "Itu justru yang paling banyak kuketahui."

"Jadi Bapak tahu tentang kelompok Bumi Datar?"

Senyum orang tua itu seketika menghilang.

Pada saat bersamaan, Stella menyadari simulasi hologram telah dimatikan. Dia sekarang menemukan dirinya sendirian bersama orang tua itu. Sekelilingnya tak lebih dari sebuah aula yang besar dan kosong.

"Ikuti aku," kata orang tua tersebut dengan sikap yang berubah serius.

Stella mengikuti sang kurator menuju sebuah bilik di sayap gedung tersebut. Tak ada seorang pun yang berada di dalamnya. Bisa diduga bahwa itu adalah ruang kantor orang tua tersebut.

Kurator itu mempersilahkan Stella duduk di kursi yang menghadap meja yang sepertinya terbuat dari kayu asli. Gadis itu mendengar sang kurator mengunci pintu di belakangnya.

"Sebelum melanjutkan percakapan ini," kata sang kurator ketika dia mengambil tempat duduk di seberang meja, "aku ingin memastikan sesuatu terlebih dulu."

Dia membuka laci di bawah meja dan, tanpa peringatan, menguarkan sebuah pistol kuno dari dalamnya. Dan sebelum Stella menyadari apa yang terjadi, sang kurator menodongkan moncong senjata itu ke mukanya.

"Sekarang sebutkan kata sandinya," kata orang tua itu dengan bengis, "atau aku akan terpaksa meledakkan kepalamu."

(BERSAMBUNG)

STELLA GADIS ANTARIKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang