18. KEJUTAN DI DARATAN

1 0 0
                                    

Jantung Stella berdebar kencang ketika gerbang utama pesawat antariksa mulai membuka. Entah sengaja atau tidak, ruangan antara tempatnya berdiri sekarang bercahaya remang-remang. Sehingga ketika cahaya sangat terang menerobos masuk, efek yang ditimbulkan nyaris terasa spiritual.

Bukan hanya cahaya. Tapi juga angin yang kencang. Menderu. Menyusup masuk lewat celah yang terbuka semakin lebar. Mengelus wajahnya. Menerpa rambutnya. Hangat dan lembut. Membawa berbagai aroma asing namun menggairahkan.

Stella belum pernah merasakan sensasi seperti itu. Tidak ada angin kencang di stasiun antariksa yang memiliki pengontrol cuaca yang ketat. Semuanya serba terkendali dan terprogram. Kering dan sintetis.

Tidak seperti yang dirasakannya sekarang!

Saat gerbang terbuka semakin lebar dan cahaya terang itu semakin menyilaukan, Stella spontan melindungi mata dengan tangan. Namun saat pandangannya mulai terbiasa, justru kakinya yang mundur setapak.

Apa yang dia lihat sangat bertentangan dengan pengalamannya seumur hidup.

Sebagai seorang astronaut, Stella sudah biasa berpikir bahwa melangkah ke dataran sebuah planet tanpa pakaian pelindung adalah bunuh diri. Dan di hadapannya sekarang terhampar sebuah dataran tanah yang luas. Debu beterbangan disertai suara angin mendesau keras.

Surya memegang tangannya, tersenyum padanya. "Percayalah padaku, Stella."

Stella tersenyum, agak malu, lalu mengikuti sang ayah melangkah keluar pesawat. Menginjak tanah bumi untuk pertama kalinya.

Gadis itu memandang sekeliling. Ke arah pesawat antariksa yang membawanya selama ini. Ukurannya memang besar. Bahkan lebih besar dari dugaannya. Yang tidak meleset, pesawat ini memiliki tampilan layaknya pesawat antariksa militer. Sangar dan gagah. Dengan panel-panel senjata yang bertonjolan.

Stella agak tidak enak melihat keseraman pesawat antariksa itu. Dia bertanya-tanya tentang kegunaannya. Untuk apa semua senjata penghancur itu? Kalibernya terlalu besar untuk sekedar pertahanan diri.

Dia ingin menanyakan langsung pada ayahnya. Tapi waktunya dirasa kurang tepat. Lagipula perhatiannya sudah teralihkan pada hal lain - di bawah kakinya.

Ada yang aneh pada pasirnya!

Dataran atau lapangan itu dihampari oleh butiran pasir yang berkilauan. Seperti kaca. Stella mengenali apa itu. Pasir kuarsa! Unsur yang terbentuk karena panas yang luar-biasa. Dan hanya satu kejadian yang bisa menghasilkan panas setinggi itu.

Ledakan bom nuklir!

Pikiran pertama Stella ini adalah sisa-sisa ledakan nuklir yang dulu dilancarkan konsorsium, seperti yang diceritakan Chartini. Tapi segera disadari itu tidak mungkin. Peperangan itu terjadi ribuan tahun lalu. Mustahil bekasnya masih sejelas ini.

Pikiran pertama Stella ini adalah sisa ledakan nuklir yang dulu dilancarkan konsorsium, seperti yang diceritakan Chartini. Tapi segera disadari itu tidak mungkin. Peperangan itu terjadi ribuan tahun yang lalu. Mustahil bekasnya masih sejelas ini.

"Ayah," Stella memecah kesunyian, "Ada yang ingin kutanyakan..."

"Sebentar, Anakku," potong sang ayah. "Tapi kurasa penjemput kita sudah datang."

Stell menoleh mengikuti arah telunjuk ayahnya yang menuding ke kota futuristik di seberang tanah tandus ini. Ada suara mesin yang cukup halus sehingga tidak terdengar pada awalnya. Dan bukan cuma halus, tapi aneh. Stella belum pernah mendengar suara mesin seperti itu.

Dan apa yang kemudian dilihatnya lebih aneh lagi.

Dari balik punggung bukit pasir yang membatasi dataran gersang itu, muncul sosok yang sekilas mirip hewan. Berlari mendekat dengan empat kaki yang bergerak dengan lincah. Tapi itu bukanlah hewan.

Tapi semacam kendaraan mekanis. Sebuah robot!

Stella tercengang. Bukan karena belum pernah melihat robot sebelumnya. Tapi lebih karena takjub oleh pemanfaatan yang sedemikian jauh. Di antariksa teknologi robotika tidak pernah digunakan untuk transportasi. Mereka lebih menyukai hovercar dan sejenisnya.

Tapi ini luar-biasa!

Robot berbentuk hewan ini ternyata berukuran cukup besar. Itu baru kelihatan saat mendekat ke pesawat antariksa. Hampir sebesar bus. Sementara kaki-kakinya setinggi pohon. Sama-sekali tidak terlihat kaku saat bergerak.

Dan, sama seperti pesawat antariksa yang barusan ditumpangi Stella, ada kesan militeristik pada kendaraan darat yang aneh itu. Sekujur eksteriornya berselubung armor - seperti dirancang untuk menangkis serangan berat di medan tempur.

Stella melihat ayahnya mengangkat tangan kanan tinggi-tinggi menyambut kendaraan itu. Matanya berbinar seolah mengenali siapapun yang ada di dalamnya. Bukan, bukan mengenali. Ada sesuatu yang lebih dalam dari itu.

Perasaan Stella makin tidak enak. Dan kali ini dia tidak tahu penyebabnya. Ini lebih ke insting daripada intelek.

Kendaraan itu berhenti hanya beberapa meter di depan mereka. Menjulang seperti jerapah berbaju zirah. Tapi kemudian kakinya yang panjang itu ditekuk sedemikian rupa, sehingga badannya merendah ke dekat permukaan tanah.

Lalu pintunya terbuka.

Seorang perempuan keluar dari dalamnya. Usianya mungkin sekitar awal tiga puluhan, dan mengenakan jubah putih seperti pendeta. Rambutnya yang panjang digelung menyerupai sanggul.

Wajahnya klasik dan cantik. Luar-biasa cantik.

Sebelum Stella sadar apa yang terjadi, ayahnya melangkah maju dan memeluk wanita itu. Tidak cuma memeluk, tapi menciumnya juga. Bukan di pipi, atau cuma di dahi. Bibir pun tak ketinggalan.

Stella cuma bisa melongo.

Sambil tersenyum dan mata tetap berbinar, Surya menoleh kepada putrinya dan berkata, "Stella, perkenalkan ini Kaifa. Dia adalah...."

"Aku istri ayahmu, Stella," Kaifa mendahului. "Aku adalah ibumu yang baru."

(BERSAMBUNG)

STELLA GADIS ANTARIKSATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang