Reza bingung sendiri kenapa dia ingin melakukannya. Bertemu muka dengan tahanan mereka jelas bukan ide brilian. Apalagi yang bersangkutan jelas ingin membunuhnya, dan sudah membunuh orang-orang yang dikenalnya. Tidak! Sama-sekali bukan gagasan terbaiknya!
Chartini sendiri, anehnya, tidak keberatan. Malah mendukung. Siapa tahu ada informasi penting yang tanpa sengaja terkorek. Menurutnya itu tidak berbahaya - asal dilakukan sesuai prosedur keamanan, dan tidak coba-coba berada dalam satu ruangan. Reza langsung menyetujuinya. Sekali lagi, entah kenapa.
Mungkin dia hanya penasaran. Secara psikologis, itu normal. Sebagai mahasiswa medis, yang punya mata kuliah psikologi di kurikulumnya, dia tahu hal seperti ini tidak terlalu mengejutkan. Sindrom Stockholm, istilahnya. Stockholm! Bukankah itu nama salah satu kota di bumi, ratusan tahun lalu. Kebetulan sekali!
Menggunakan lift berkecepatan tinggi, Reza melewati beberapa dek sebelum tiba di ruang kontaminasi tempat mereka mengurung gadis teroris itu. Ruangan tersebut sebenarnya untuk menampung muatan berbahaya, bukan kriminal berbahaya. Tapi karena pesawat antariksa ini tak memiliki penjara, sedikit improvisasi terpaksa dilakukan.
Gadis itu di sana. Di balik dinding transparan yang memisahkan dirinya dari bagian ruangan lain. Ada dipan yang cukup nyaman di dalam, tapi gadis itu memilih berdiri kaku dan nampak sangat marah. Lebih-lebih saat melihat kedatangan Reza.
Gadis itu meninju dan menendang dinding sambil berteriak-teriak. Ruang kontaminasi itu kedap udara sehingga suaranya tidak terdengar. Baru setelah Reza menyalakan interkom, teriakannya menggema seperti guntur.
"Apa yang kau lakukan padaku, Bangsat?"
Reza terkaget-kaget dengan pertanyaannya - dan juga reaksinya. Benar-benar tidak masuk akal! Gadis itu mau membunuhnya dengan darah dingin, dan sekarang bersikap seolah diperlakukan sewenang-wenang? Manusia macam apa dia itu?
Tiba-tiba saja Reza menyesal datang ke sini.
Ia mengambil nafas dalam-dalam. Ragu sejenak sebelum akhirnya mendekati dinding transparan. Ia berusaha kelihatan tenang. Toh dinding ini tak mungkin dijebol. Tapi tetap saja ada perasaan merinding menatap ekspresi ganas di wajah gadis itu - yang berdiri sangat dekat di hadapannya.
"Jadi begitu cara bangsat-bangsat langit macam kalian mengontrol pikiran kami? Percayalah, itu takkan terjadi lagi! Aku akan langsung bunuh diri begitu kau coba-coba melakukannya lagi!"
Butuh satu-dua kejab sebelum Reza menyadari gadis itu bicara soal 'techno-hipnotisme' yang diterapkan Chartini padanya. Tapi tunggu dulu, apa maksud dia dengan 'mengontrol pikiran kami'? Kok kedengaran lebih luas urusannya?
"Aku yakin kau tidak perlu khawatir soal itu lagi," Reza berusaha terdengar serius tapi santai. "Kurasa kami sudah dapat semua informasi yang kami butuhkan darimu. Meski demikian, terus-terang aku penasaran dengan..."
"Kalau begitu bunuh saja aku," potong gadis itu dengan ketus. "Bunuh aku seperti kalian membunuh umat manusia yang tidak berguna buat konspirasi kalian!"
Nah, apa pula maksudnya itu? Konspirasi macam apa lagi ini? Reza jadi benar-benar tertarik sekarang. Mungkin datang ke sini bukan ide yang terlalu buruk. Tapi itu tergantung apa dia bisa mengubah diri. Dari sekedar sasaran menjadi teman curhat.
Reza menarik nafas. "Seperti yang kubilang, aku penasaran dengan apa yang barusan kau bilang. Kontrol pikiran. Konspirasi. Percaya atau tidak, aku tidak tahu maksudmu itu apa. Bisakah kau bicara lebih jelas?"
"Dasar pembohong!" gadis itu terus saja mendamprat. "Semua tahu apa yang dilakukan orang langit pada orang bumi! Bagaimana mereka menanamkan kebohongan pada pikiran kami! Bagaimana mereka membuat kami percaya apa yang tidak patut dipercaya - dan membantai sisanya yang tetap tidak mau percaya!"
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA GADIS ANTARIKSA
Science FictionStella. Astronot. Genius. Selamat datang di abad 23. Bersama dua sahabatnya, Reza yang diam-diam mencintainya dan Cartini yang berotak komputer, mereka berpetualang melawan penganut bumi datar yang ingin menghancurkan seluruh alam semesta.