Reaksi awal Stella bisa ditebak. Ini tidak mungkin! Pasti tipuan belaka. Sebuah jebakan licik. Untuk menggiringnya ke tujuan tertentu. Entah apa.
Tapi ketika sekali lagi dia memandang wajah di hadapannya, menatap langsung ke matanya, kepercayaan diri gadis itu terusik. Mata lelaki di hadapannya bersinar hidup dan tulus. Meski nampak lelah. Dan mata itu adalah mata yang dia kenali.
Bukan! Itu bukan mata ayahnya selama beberapa tahun terakhir ini. Ayah yang selalu tenggelam dalam kesibukan. Ayah yang tak punya waktu buat putrinya. Bahkan untuk sekedar bertemu empat mata.
Yang dilihat Stella sekarang adalah mata ayahnya semasa dia kecil. Yang diingat dengan baik karena selalu dirindunya. Mata yang hangat. Memancarkan kasih-sayang. Yang selalu memandangnya penuh cinta.
Dan seperti itulah sepasang mata tersebut memandangnya sekarang.
"Aku tahu ini sulit dipercaya, Anakku," kata lelaki di hadapan Stella. "Dan aku takkan mendesakmu. Kau gadis yang cerdas. Kuserahkan pada kecerdasanmu untuk menilai sendiri siapa aku."
Itu adalah sebuah tantangan. Sekaligus siasat yang cerdas. Stella malah curiga jika lelaki itu mendesak. Dengan menyerahkan keputusan di tangannya, Stella bisa dibikin bimbang. Atau malah percaya.
Dan Stella tak bisa memungkiri perasaannya. Itu sialnya. Dia cenderung percaya. Tapi, sekali lagi, bagaimana mungkin?
"Aku memang tidak melihat sendiri kematian ayahku dan juga tidak melihat langsung jenazahnya," kata Stella, berusaha skeptis. "Tapi berita kematiannya dikonfirmasi tiga pihak yang berbeda. Dan semuanya sumber yang bisa dipercaya. Bagaimana mungkin itu cuma kebohongan?"
Dengan tenang orang itu menjawab, "Karena itu memang bukan kebohongan."
Stella tentu saja semakin bingung. Orang itu mengaku ayahnya, tapi juga mengakui berita kematiannya bukan kebohongan! Bagaimana dua hal yang bertentangan itu bisa benar semuanya?
"Baiklah, kau sukses membuatku gagal paham," sungut Stella dengan sebal. Ia telah mengatakan kalimat yang jarang sekali dia katakan.
Lebih menyebalkan lagi, lelaki di hadapannya tersenyum. Seolah menikmati kebingungan Stella.
"Berita kematian itu benar karena aku sendiri yang merancang eksekusinya," ujarnya. Lalu, seperti berteka-teki, dia menambahkan, "Tapi bukan ayahmu yang mati. Sebenarnya dia malah bukan siapa-siapa. Tidakkah kau merasakannya, Stella? Tidakkah kau merasakan perbedaan antara ayahmu yang kau ingat semasa kecil dengan sosok yang menemanimu tujuh tahun terakhir?"
Hah! Kali ini Stella benar-benar tersudut. Daya kritisnya macet seketika. Karena justru itulah yang dia rasakan selama ini. Perbedaan! Perbedaan yang seketika dia ingat ketika melihat mata lelaki di hadapannya. Perbedaan yang selama ini dia rindukan.
Mungkinkah.....
"Kau hendak mengatakan bahwa lelaki yang bersamaku selama sepuluh tahun terakhir ini bukanlah ayahku tetapi cuma kloning belaka?"
"Bukan cuma kloning," kata si lelaki berjubah. "Itu adalah kloning yang nyaris sempurna. Aku tahu itu karena aku sendiri yang dulu merancangnya. Dari DNA-ku sendiri. Tentu saja hanya sampai tahap prototipe. Kuhentikan pengembangannya. Dan tetap kurahasiakan. Terlalu berbahaya kalau sampai terbuka ke publik."
Sebenarnya Sella tadi mengatakan itu setengah berseloroh. Karenanya dia cukup terperanjat dengan keterangan lawan bicaranya. Sesuatu yang terlalu mustahil untuk dipakai menipu. Dan karenanya bisa jadi itu benar!
"Tentu saja Hastarita dan rezimnya bisa mengetahui. Mata-mata mereka ada di mana-mana," lelaki itu menggelengkan kepala. "Tapi yang paling tidak kuduga, mereka berani menggunakannya untuk mengambil alih perusahaanku.....dan mengakali putriku. Sesuatu yang tak bisa kumaafkan."
Stella terdiam. Memperhatikan wajah lelaki yang mengaku sebagai ayahnya. Gurat-gurat kemarahan dan kesedihan jelas terbaca di sana. Membebani kata-katanya. Terlihat sungguh-sungguh. Entah karena dia aktor yang sangat berbakat.
Atau karena yang dikatakannya benar belaka.
"Katakanlah semua yang kau katakan itu benar," Stella berusaha keras terdengar netral. "Lantas buat apa semua itu? Kenapa repot-repot memakai kloning segala?"
"Aku maklum jika itu membuatmu bingung, Stella. Kau anak yang cerdas. Tapi masih banyak yang harus kau pelajari soal politik tingkat tinggi. Aku adalah orang kedua terbesar pengaruhnya di seluruh Federasi setelah Hastarita. Kematianku bisa mengguncang stabilitas Federasi. Dan kalau Federasi terguncang, demikian juga kekuasaan Hastarita."
Stella tak memungkiri. Politik membuatnya bosan. Dan pusing. Aneh sebenarnya. Dia tidak pusing ketika bergumul dengan hitung-hitungan teknik. Tapi mendengar berita politik sebentar saja sudah menguap. Baginya politik identik dengan intrik yang menyebalkan. Apa yang baru dia dengar, jika itu benar, membuktikan hal itu.
"Dam kenapa harus membunuhmu? Apa masalahnya jika bumi benar-benar bisa dihuni lagi? Bukankah itu justru berita menggembirakan? Kita semua bisa balik ke dunia asal kita!"
"Justru karena itu, Anakku. Jika semua memutuskan kembali ke bumi, maka berakhirlah riwayat Federasi Antariksa. Kekuasaan yang dinikmati Hastarita selama bertahun-tahun akan hilang. Percayalah, orang akan melakukan apa saja demi mempertahankan kekuasaan."
Stella kembali terdiam. Merenung. Matanya dialihkan ke pemandangan bumi yang bersinar di luar sana. Begitu indah. Seperti zamrud yang diasah sempurna.
"Sepertinya masuk akal," ujarnya memecah kebisuan. Tatapannya kembali menghunjam lelaki di hadapannya. "Tapi tetap tidak membuktikan bahwa kau memang ayahku."
Di wajah lelaki itu, Stella bisa melihat perasaan sakit hati yang berusaha ditenangkan. Nampak pula tarikan nafasnya yang berat. Seperti berusaha menahan beban yang terlalu lama ditopang. Baru setelah selesai dengan semuanya, lelaki itu berkata, "Aku tidak menyalahkanmu. Aku pun akan bersikap sama di posisimu. Tapi ada sesuatu di masa lalu kita. Di masa kecilmu. Sesuatu yang tak pernah diketahui orang lain. Hanya kau dan ayahmu yang tahu - ayahmu yang sebenarnya."
Jantung Stella berdebar kencang. Dia tahu apa yang dimaksud lelaki itu. Rahasia masa kecil yang tak pernah dia ceritakan pada siapa pun. Hanya ayahnya yang tahu. Karena saat itu bersamanya.
Itu terjadi ketika Stella berusia tujuh tahun. Tahun pertama di sekolah dasar. Dan hari terakhirnya bersama sang Ibu. Bertiga mereka saat itu. Stella, ayah dan ibunya. Sedang menikmati liburan di Mars. Menjelajah kanal- kanalnya yang terkenal.
Lalu terjadilah kecelakaan itu. Kendaraan yang mereka kendarai kehilangan kendali pada saat masih melaju kencang, lalu terguling dekat bibir jurang. Stella dan ibunya nyaris jatuh ke jurang tapi masih sempat diraih sang ayah.
Masalahnya, kedua beban itu terlalu berat. Sang ayah harus melepaskan salah satu kalau tidak ingin mereka bertiga jatuh semua. Tentu saja dia tak bisa melakukannya. Dia tak bisa memilih. Dia terlalu mencintai keduanya untuk mengorbankan salah-satu.
Sang ibu yang akhirnya mengambil keputusan. Dia sengaja melepaskan pegangan tangan, sebelum ketiganya jatuh bersamaan.
Selama beberapa saat setelah itu, Stella dan ayahnya tidak melakukan apapun. Kecuali berpelukan erat sekali. Mencoba saling menguatkan di hadapan tragedi yang terlalu menyakitkan untuk dihadapi.
Peristiwa itu sangat mengguncang Stella. Membentuk karakternya sampai sekarang. Dia dihantui perasaan bersalah atas kematian ibunya. Sikapnya yang cenderung ugal-ugalan adalah kompensasi atas kegagalannya menunjukkan keberanian berkorban. Bahkan ketekunannya atas penemuan baru didorong oleh keinginan bawah sadar untuk mengubah kenyataan. Seolah dia merasa jika ilmunya cukup, suatu saat dia bisa mengubah sejarah.
Dan, seolah sepakat, Stella maupun ayahnya tidak pernah lagi membicarakan kejadian tersebut. Dengan siapapun. Orang-orang hanya tahu bahwa terjadi kecelakaan fatal. Tapi tak menyadari drama yang terjadi di sana.
Dan lelaki di hadapan Stella ternyata mengetahui kejadian tersebut. Itu berarti hanya ada satu kemungkinan..
"Ayah....?"
Mendengar itu, sang lelaki tersenyum. Lega. "Stella, Anakku..."
Sebelum Stella sendiri menyadari apa yang terjadi, dia sudah memeluk lelaki tersebut. Erat sekali. Dan lelaki itu pun melakukan hal yang sama. Seperti dulu. Seperti saat kecelakaan itu terjadi.
(BERSAMBUNG)
KAMU SEDANG MEMBACA
STELLA GADIS ANTARIKSA
Science FictionStella. Astronot. Genius. Selamat datang di abad 23. Bersama dua sahabatnya, Reza yang diam-diam mencintainya dan Cartini yang berotak komputer, mereka berpetualang melawan penganut bumi datar yang ingin menghancurkan seluruh alam semesta.