02▪Taruhan

119 92 93
                                    

"Pelajaran ibu sampai di sini. PR kalian jangan lupa dikumpulkan," Bu Hani—guru Matematika—menutup pembelajaran dibarengi dengan suara bel istirahat.

Seluruh ruangan MIPA 1 bersorak mendengar itu. Sejatinya, mereka juga manusia yang benar-benar butuh istirahat. Jam dimana mereka bisa mengisi kekosongan perut dan memulihkan kembali kinerja otak yang terkuras akibat pelajaran.

"Alka, lo kemana aja sih kemarin?" tanya Meishel penasaran.

"Iya, lo dihukum apaan sih?" Sabira juga mulai kepo.

Meishel dan Sabira adalah sahabat Alkana semenjak SMA. Mereka pula yang setia mendengarkan segala keluh kesah Alkana selama ini.

Faktanya, Alkana dan Meishel sudah saling mengenal sejak Sekolah Dasar. Namun ketika menginjak bangku SMP, Meishel pindah ke luar kota dan akhirnya bertemu kembali di SMA Cendekia Bangsa. Sedangkan Sabira, adalah siswi pindahan asal Singapura akibat pertukaran pelajar di awal semester lalu.

Meishel menoyor kepala Alkana karena pertanyaannya tidak digubris.

"Sakit Shel!" Alkana mengusap-usap kepalanya.

"Kantin ayo! Nanti gue ceritain panjang lebar sekalian kali tinggi biar jadi volume!"

"Anak kumon emang beda. By the way, tumben lo gak bawa bekal?"

Alkana mengangguk, "Iya, mending gak bawa bekal daripada disuruh bersihin toilet."

***

Kantin SMA Cendekia Bangsa sudah sama padatnya dengan jalan tol menuju puncak saat liburan. Dipenuhi oleh mereka yang sama-sama enggan mengalah karena lapar.

Untunglah Meishel dan Sabira punya tempat langganan yang selalu menyisakan kursi untuk mereka. Sehingga tak perlu repot-repot berebut tempat dengan yang lainnya.

"Intinya gue bolos kemarin. Gitu ceritanya," tutup Alkana di akhir pembicaraannya.

"Insane! Besok besok ajarin gue solob juga ya. Tapi beneran lo ga tau cowok itu siapa?" tanya Sabira antusias.

Alkana menggeleng pelan sembari menyeruput es jeruknya.

"Gue bilang juga apa? Lo kebanyakan jaga telur sih! Udah gue bilang, kalo sekolah jangan cuma tau tiga tempat doang."

Alkana mengerutkan dahinya, tak mengerti apa yang dimaksud Meishel.

"Iya Al, lo itu cuma paham yang namanya kelas, library, sama toilet. Gimana lo mau tau cogan-cogannya Cendekia Bangsa coba?" timpal Sabira menyetujui ucapan Meishel.

Alkana hanya diam, ia sama sekali tidak dapat membantah perkataan dua sahabatnya itu. Alkana memang tipe anak yang kurang suka keramaian meski ia punya kemampuan quickly-addapt. Bahkan jika dihitung-hitung Alkana baru empat kali ini mengunjungi kantin.

Alkana mengedarkan pandangannya. Mencari kebenaran atas ucapan Meishel dan Sabira yang selama ini mengagungkan banyaknya keberadaan nikmat Tuhan di sekolah. Benar saja, banyak sekali cowok yang ia rasa tampan.

Sekarang Alkana tahu, pergi ke kantin bukan hanya untuk mengisi perut. Tetapi juga untuk cuci mata. Lumayan, hiburan untuk mengusir penat.

Pandangan Alkana berhenti pada segerombolan laki-laki yang duduk di bangku panjang dekat pohon rindang. Pohon itu tepat berada di samping arus balik dari kantin ke kelas. Terlihat beberapa dari mereka menggoda cewek-cewek yang lewat.

Alkana merasa tak asing dengan salah satu dari mereka. Itu Elgar! Tapi tunggu, Alkana juga merasa familiar dengan cowok yang duduk di sebelah Elgar. Ya, itu adalah cowok yang menolongnya—ah tidak! Lebih tepatnya membuat perasaannya campur aduk kemarin.

HesitateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang