Ibukota memang selalu terkenal akan kemacetan. Jadi, seharusnya siapapun sudah tahu apa yang harus dilakukan jika menjabat sebagai seorang pelajar di dalamnya. Ya, pergi lebih awal adalah pilihan terbaik agar tidak terlambat.
Lain cerita dengan Alkana, hari itu ia harus rela terlambat karena mobil kesayangannya mogok. Padatnya lalu lintas tentu membuat ruang gerak kendaraan terutama angkot yang ia naiki menjadi terbatas.
Alkana gusar, berkali-kali ia melirik jam tangannya. Hanya satu hal yang ada dipikirannya sekarang. Bukan perihal hukuman untuk murid yang terlambat, tapi ia takut Bu Lita—guru Fisika—tidak menerima tugas yang dikumpul di atas jam 7 pagi.
Alkana Senjani, gadis yang terkenal dengan sifat ambivert-nya itu. Tujuannya di sekolah hanya rebutan prestasi, agar bisa mendapat sedikit reputasi.
Prinsip hidupnya sederhana, yang penting banyak orang mengetahui dirinya. Jadi jika ia ada di posisi sulit, ia akan mudah mendapat bantuan.
"Neng, turun sini aja ya, di depan macet banget."
Alkana terbelalak mendengar ucapan itu. Rasanya ia ingin mematahkan leher supir angkot itu sekarang juga.
"Gak usah bayar neng, langsung turun aja."
Alkana dengan terpaksa turun. Bayangkan, setelah ini ia harus berjalan kaki sekitar 450 meter untuk sampai ke gerbang sekolah. Belum lagi untuk menuju ke arah kelas, berapa banyak waktu yang ia butuhkan? Dan yang lebih parah, tampaknya tidak akan ada bantuan untuk kali ini.
"Ish, mana sempat, keburu telat," Alkana mencibir dirinya sendiri.
Alkana mempercepat langkahnya, sesekali ia reflek melihat ke arah jam tangan. Persetan dengan tugas fisika, yang penting ia sampai sekolah dulu.
***
Perhatian, perhatian!
Suara toa menggema di seluruh sudut sekolah. Memaksa beberapa murid diam sejenak untuk mendengarkan pengumuman.
Atas nama Bryan Antariksa kelas MIPA 2, dimohon ke ruang Kepala Sekolah sekarang juga. Sekali lagi, atas nama Bryan Antariksa, ke ruang Kepala Sekolah sekarang juga.
Pengumuman itu membuat murid kelas MIPA 2 serentak menoleh ke arah Bryan. Sedangkan yang dipanggil masih saja sibuk dengan benda pipih di tangannya.
"Aelah, Bry, lu ngapa lagi sih anying?" tanya Alfi, ketua kelas MIPA 2.
"Tau tuh, mana masih pagi," kali ini Revo yang bicara.
Bryan hanya mengangkat bahunya sembari memajukan bibir bawahnya. Sontak ia mendapat pukulan hangat dari teman-temannya yang penasaran. Sebelum hal itu terjadi, Bryan mengantisipasi dengan berlari ke arah pintu.
"Nanti deh gue kasih tai."
Ucapan itu disambut dengan omelan dari teman-temannya yang tidak terima.
***
Alkana tengah berdiri sempurna di depan gerbang. Sesekali ia menunduk sembari mengerjapkan matanya. Ia lelah, lebih tepatnya sangat lelah.
Sayang sekali, gerbang sekolah telah tertutup sempurna. Alkana lagi-lagi melihat ke arah jam tangannya. Tercetak jelas angka 07:25 am di jam digital itu.
Alkana menghela nafasnya kasar.
"Pak, Pak Agus, bukain pak."
Tak ada sahutan.
"Pak Agus kemana lagi sih?" decihnya.
Alkana memutuskan untuk duduk dipinggir gerbang. Ia merasa dirinya sangat kentang. Wajah dan tubuhnya berkeringat. Seragamnya juga sudah hampir kucel. Tidak serapi saat ia berangkat. Untungnya wangi parfum Alkana masih semerbak seakan tidak luntur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Hesitate
Random🍒 (On Going) Ini cerita tentang Bryan Antariksa cowok ganteng setengah cuek anggota geng Gaverta. Bukan hanya itu, ini juga cerita tentang Alkana Senjani. Cewek ramah yang anti-cinta. Semesta selalu berusaha menjadikan mereka dekat. Hingga suatu sa...