00▪Prolog

184 95 91
                                    

Senin, hari yang dibenci para pelajar Indonesia. Sudah jelas bahwa perkaranya ialah upacara bendera yang ditujukan untuk meningkatkan persatuan bangsa. Tidak tahu ide siapa, tapi yang jelas berdiri lama-lama itu melelahkan. Meski semua kalangan pastilah tahu, bahwa itu tak sebanding dengan perjuangan pahlawan pada masa penjajahan.

"Naon sih upacara teh lama pisan?" keluh laki-laki berseragam SMA sembari menyeruput teh hangat yang telah menjadi dingin akibat terlalu lama ia diamkan.

"Upacara sih sah sah aja menurut gue. Masalahnya ada di tata upacara yang bertele-tele. Apalagi awal bulan begini, pasti yang ngasih amanat Bu Iren. Cantik sih, apalagi body-nya. Tapi kalo ngomong udah kayak Cardi B. nge-rap," ucapan itu diikuti gelak tawa seisi warung kecil milik 'Kong Jengki'. Warung dekat sekolah yang menjadi tempat tongkrongan bagi mereka yang gemar membolos.

Salah satu dari mereka menggeleng melihat kelakuan kawan-kawannya, "Udah jam delapan, cabut!"

Serentak mereka semua berdiri, mengikuti langkah sosok yang baru saja menuntaskan bicaranya. Sosok yang terlihat layaknya ketua dalam kelompok itu.

***

Gerombolan siswa yang sedari tadi asyik nongkrong di warung Kong Jengki sekarang berada tepat di depan gerbang sekolah dengan gapura tinggi bertuliskan SMA Cendekia Bangsa. Satu dari mereka merogoh saku, menyodorkan sebungkus rokok Gudang Garam kepada satpam.

"Pak Agus, ini titipannya."

Satpam yang di panggil Pak Agus itu tidak langsung menerimanya. Ia celingak-celinguk, seolah memastikan keadaan. Setelah dirasa aman, dengan segera ia membuka gerbang untuk gerombolan itu. Tak lupa ia mengambil rokok yang tadi disodorkan padanya.

"Makasih, pak. Saya belajar dulu."

Gerombolan itu menyebar, layaknya tentara yang sedang gerilya. Mereka jalan mengendap di sepanjang koridor. Satu per satu mulai hilang batang hidungnya. Masuk ke kelas masing-masing.

Sisa satu dari mereka yang masih terlihat, belum masuk kelas. Berbeda dengan kawan-kawannya yang mengendap-endap, ia berjalan santai menyusuri koridor.

Ia adalah Bryan Antariksa. Awalnya ia hanya siswa biasa, sama layaknya kebanyakan. Namun, ada beberapa hal yang menjadikannya berbeda.

Salah satunya, Bryan kenal baik dengan hampir seluruh staff dan pengurus sekolah. Itu sebabnya, ia dengan mudah melewati gerbang yang dijaga Pak Agus. Satpam kepala yang terbilang galak dan tidak mengenal toleransi terhadap siswa-siswi yang terlambat.

Selain itu, postur tubuh tinggi nan atletis, serta wajah tampan dengan rahang yang tegas membuatnya menjadi primadona di sekolah.

Satu lagi, ia adalah satu-satunya siswa yang berani memanjangkan rambutnya dengan alasan hal itu tidak dituliskan pada perjanjian materai saat penerimaan murid baru.

Bryan meraih gagang pintu kelas. Tanpa aba-aba, sebuah tangan menarik lengannya dari belakang dan diikuti sebuah bogeman yang meluncur sempurna, tepat mengenai pelipis kirinya. Bryan terjatuh.

"Sialan!" umpat Bryan.

Bryan kembali menyeimbangkan tubuhnya untuk berdiri. Baru saja ia hendak membalas perbuatan orang tersebut, sebuah suara muncul dari ujung koridor, "BRYAN, berhenti! Sekarang juga kamu temui Pak Joko!"

Bryan meraih tasnya yang tergeletak di lantai. Ia berlalu, meninggalkan orang yang menjadi musuhnya semenjak pertengahan kelas sepuluh.

Untung saja saat itu kelas-kelas di koridor tersebut tengah mengikuti program sarapan pagi di aula. Jadi tidak ada yang menengok keluar hanya karena kepo.

***

"Memangnya gak ada cara lain ya? Setiap kalian ketemu pasti baku hantam. Sebenarnya dia juga salah, tapi dia punya privilege, susah."

Bryan hanya diam, membiarkan Pak Joko-guru Bimbingan Konseling-menasehatinya. Pak Joko adalah guru tersabar menurut Bryan. Satu-satunya guru yang tidak pernah memaki Bryan pada saat seperti ini. Seakan beliau paham akan masalahnya.

"Jadi gak enak, ngerepotin bapak mul-"

Belum sempat Bryan menyelesaikan ucapannya, terlihat Bu Erna muncul dari balik pintu sembari berkata, "Kamu tahu sopan santun gak sih? Mau jadi apa kamu nanti?"

"Mau jadi ahli surga, bu," jawab Bryan enteng.

"Mending kamu minta maaf, kamu udah banyak bikin ulah ke orang yang sama. Bisa-bisa kena hukum kepala sekolah."

Bryan menggeleng, "Orang seperti itu, malah makin meraja kalau dimintai maaf. Makasih, tapi ibu jangan repot. Ibu tau saya, dan tau juga harus bertindak apa."

Bryan bangkit dari duduknya, menyalami tangan Pak Joko dan Bu Erna. Ia rasa urusannya telah selesai. Ia harus masuk kelas agar tidak ketinggalan lebih banyak pelajaran.


--------

Hai! Terima kasih sudah membaca cerita ini! Cerita ini mulai aku tulis bulan lalu. Karena sayang kalau di anggurin di draf mulu. Jadi aku publish.

Kalian bisa bantu aku koreksi kalau ada kesalahan penulisan.

Enjoy ya!

HesitateTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang