Pupus

153 141 2
                                    

Kei melihat mobil yang familiar di matanya ketika dia melangkah melewati gerbang rumahnya. Dia tak bisa menebak keperluan apa yang membuat si pemilik kendaraan tersebut datang ke rumahnya bahkan tanpa memberi tahunya terlebih dahulu. Untuk menuntaskan rasa penasarannya, maka dia bergegas masuk ke rumah.

Saat berada di ruang keluarga, Kei bertambah bingung karena melihat si pemilik kendaraan tengah berjalan di sisi Vivi.

"Loh, Kak Bagas, Mbak Vivi, kalian saling kenal?" tanya Kei. Dia memandangi dua orang yang ada di depannya itu bergantian.

Vivi berbalik. Bagas juga. Dia lantas cengenegsan. "Hei, Kei, lama nggak ketemu," katanya sambil melambaikan tangan kanannya. "Pasti shock ya lihat aku makin ganteng!"

Vivi tersenyum. "Iya, Mbak Kei," jawab Vivi, "Jadi, Bagas ini sepupu aku. Kalian saling kenal?"

Bagas dan Kei menganguk hampir bersamaan menanggapi pertanyaan Vivi.

"Astaga, kita bicara di ruang tamu aja gimana?" usul Kei.

Ketiganya lantas bergegas menuju ruang tamu.

"Jadi Vivi ini sepupu aku, Kei," kata Bagas ketika telah duduk pada salah satu sofa di ruang tamu. "Dia beberapa kali cerita ke aku tentang Windy dan udah dua kali dia ajak aku ke sini. Dan aku baru tahu kalo kamu adeknya Windy tadi pas lihat foto kamu di ruang keluarga."

Kei mengangguk-angguk mendengarkan penjelasan Bagas.

"Mbak Kei, sebenernya satu-satunya cara buat bikin Windy ngelupain Arsya ya dengan bikin dia move on. Intinya harus ada orang baru dalam kehidupannya yang bisa mengalihkan dia dari luka masa lalunya itu," sahut Vivi. "Aku udah lama punya rencana jodohin Bagas sama Windy buat bikin Windy move on. Awalnya aku agak pesimis pas pertama kali ajak Bagas ke sini. Tapi syukurnya Windy bisa nerima Bagas dengan baik."

"Jadi Kak Windy udah nggak ketakutan lagi kalo ngelihat laki-laki selain Papa?" tanya Kei.

Vivi menggeleng. Saat pertama kali dia datang memang Windy ketakutan kalau melihat laki-laki mana pun selain Guntur. Perlahan, dia memberi pengertian pada Windy bahwa tak semua laki-laki akan merendahkan dan menyia-nyiakannya seperti apa yang Arsya lakukan. Saat pertama mengajak Bagas pun dia sudah mewanti-wanti sepupunya itu untuk bersikap sesopan mungkin sehingga Windy merasa dihormati dan dihargai.

"Itu artinya terapi Mbak Vivi udah berhasil dong!" seru Kei girang.

"Iya," balas Vivi, "kemaren aku juga udah kasih pengertian ke Windy kalo Arka bukanlah Arsya. Aku jelasin detail ke dia pelan-pelan bahwa mereka adalah dua orang yang berbeda meski memiliki wajah yang sama. So kamu nggak usah khawatir seandainya mau ngajak gebetan kamu itu ke sini lagi." Vivi menutup kalimatnya dengan kedipan mata genit.

"Apaan sih Mbak Vivi," balas Kei, "orang kita cuma temen satu band."

"Teman satu band? Loh, jadi itu pengganti aku?" sela Bagas.

Kei mengangguk. "Iya, Kak Bagas." Jawabnya, "Miko yang rekomen Arka karena Arka kakak kelasnya dia pas di SD."

"Mainnya bagus nggak?" tanya Bagas, "alah, pasti lebih keren aku kan mainnya."

"Nanya nanya sendiri, dijawab jawab sendiri. Gimana sih kamu, Gas," sahut Vivi.

Kei tertawa. Selain tingkahnya yang masih pecicilan, rasa overpede yang dimiliki cowok itu juga tak berubah. "Kapan-kapan aku ajak dia buat ketemu Kak Bagas deh kalo udah nggak lagi sibuk buat nyiapin skripsi," balas Kei.

"Eh, iya bicara soal sibuk skripsi, aku minta maaf ya karena harus mengundurkan diri gitu aja dari Harmony," kata Bagas. Ekspresinya mendadak berubah serius.

Scintilla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang