Pasca terpilih menjadi duta pelajaranti narkoba, Arka jadi sering menghabiskan waktunya untuk kegiatan kemanusiaan. Kalau di akhir pekan biasanya dia suka nongkrong bersama Egy dan Leon di kafe atau menghabiskan waktu untuk menonton film di rumah, saat ini dia harus merelakan satu dari dua hari liburnya untuk diisi dengan kunjungan ke tempat-tempat rehabilitasi dan beberapa sekolah untuk memberi sosialisasi tentang dampak penyalahgunaan narkotika.
Bersama dua duta pelajar anti narkoba yang lain dan beberapa pengurus yayasan duta pelajar anti narkoba, biasanya Arka akan melihat langsung kegiatan positif apa saja yang dilakukan para mantan pecandu di tempat rehabilitasi. Tak jarang dia mengajak bercanda dan memberi semangat pada beberapa mantan pecandu yang ditemuinya di sana. Sebisa mungkin dia berusaha membuat mereka yakin bahwa mereka mampu terlepas dari jeratan zat adiktif dan dapat hidup normal kembali seperti sedia kala.
Hampir setiap melakukan kunjungan ke tempat rehabilitasi, Arka selalu pulang malam karena dia tak hanya mengunjungi satu tempat dalam sehari. Namun anehnya menyadari itu Fery sama sekali tak menaruh rasa curiga apa lagi sampai marah-marah padanya seperti biasa. Pria itu bahkan menyambutnya dengan senyum hangat suatu malam saat dia baru pulang dari kunjungannya ke tempat rehabilitasi.
"Papa bangga sama kamu, Nak," kata Fery sambil menepuk bahu Arka.
Arka menebak Fery telah melihat selempangnya atau mungkin piagam penghargaannya. Namun untuk lebih memastikan dia tetap bertanya. "Bangga kenapa?"
"Mama kamu nunjukin ini ke Papa," jawab Fery sambil menunjukkan piagam penghargaan duta pelajar anti narkoba milik Arka yang ada di dalam bingkai. "Maafin Papa karena selama ini selalu punya pikiran negatif ke kamu."
Arka mengembuskan napas kasar. "Kalau nggak ikut pemilihan duta anti narkoba kaya gini Papa nggak akan sadar ya kalau nggak selamanya Arka itu sama dengan Arsya. Terutama dari segi kelakuan," balasnya sinis.
"Papa tahu kamu mungkin masih sakit hati karena selama ini Papa selalu menyama-nyamakan kamu dengan Arsya," ujar Fery. Suaranya tetap terdengar datar. Sebisa mungkin dia berusaha untuk tak terpengaruh dengan sikap sinis anaknya. "Papa menyesal, le. Tolong maafkan Papa."
Bukannya luluh, Arka justru menunjukkan tampang muak. "Kenapa Arka harus maafin Papa?"
"Karena Papa ingin bisa deket sama kamu seperti mamamu," jawab Fery.
Arka tersenyum getir. Kenapa baru setelah delapan belas tahun dia terkahir di dunia ayahnya itu ingin dekat dengannya? Apa selama ini dia memang tak pernah ada artinya bagi pria itu?
"Nggak perlu," balas Arka, "selama ini Arka baik-baik aja kan meski Papa nggak pernah peduli dan deket sama Arka."
Anita yang sudah memperhatikan percakapan antara Arka dan Fery selama beberapa menit, akhirnya turun tangan. Dia harus menjadi perantara kalau ingin kedamaian antara suami dan anaknya tersebut terwujud.
"Sayang, coba kasih Papa kesempatan dong," ujar Anita sembari merangkul Arka.
Arka menggeleng. "Nggak bisa, Ma," katanya lirih. Tujuh belas tahun lebih bukanlah waktu yang singkat. Selama itu yang dianggap ada oleh Fery hanya Arsya.
"Oke, boleh nggak Mama tahu apa sih yang bikin kamu susah memaafkan Papa?" tanya Anita sembari menyentuh puncak kepala Arka. "Atau mungkin ada yang ingin kamu ungkapkan ke Papa?"
Arka mengambil napas dalam. "Arka nggak mau Papa ingin dekat sama Arka hanya karena Arsya udah nggak ada. Meski kami sama, tapi kami bukanlah pengganti untuk satu sama lain. Arka adalah Arka dan Arsya adalah Arsya. Meski kembar, kami adalah dua orang yang berbeda. Nggak bisa terus disama-samakan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Scintilla (END)
Teen FictionKei memutuskan untuk balas dendam pada Arka ketika menyadari kondisi Windy yang makin lama makin memprihatinkan. Cowok itu harus mendapatkan ganjaran atas apa yang telah dilakukannya. Dalam usahanya itu Kei dihadapkan dengan kenyataan pahit. Guntur...