Sepulang sekolah Kei segera datang ke rumah. Dia ingin melihat perkembangan Windy. Dia sengaja datang sore-sore agar tak perlu bertemu dengan Guntur. Saat melihat gerbang rumah tertutup, dia berusaha membukanya sendiri lantaran tak ingin berurusan dengan Pak Tono yang tengah tertidur di posnya. Saat menyadari pintu gerbangnya terkunci, dia mengembuskan napas kasar.
"Pak Tonooo, bukain gerbangnya!" teriak Kei.
Pak Tono seketika terbangun. Refleks, dia seperti memeragakan jurus silat. "Eh, Non Kei," katanya ketika melihat Kei. Dia lantas berlari-lari kecil mendekati gerbang.
"Kerja yang bener kamu," omel Kei, "kalo cuma tidur aja sih anak kucing juga bisa."
"Maaf, Non," kata Pak Tono. Sembari mendorong gerbang dia nyengir tanpa dosa.
"Lagian tuanmu itu ribet amat. Rumah segini aja pakai dijaga satpam. Udah kaya istana negara."
"Aset Tuan kan banyak di dalam, Non," balas Pak Tono, "Tuan pasti nggak mau kalau sampai ada barang-barangnya yang hilang karena maling makanya memperkerjakan saya."
Kei tertawa sinis. "Takut hartanya hilang karena maling, tapi giliran anaknya minggat dibiarin aja."
"Tuan tidak seperti itu, Non," bantah Pak Tono, "Tuan sering curhat ke saya sejak Non pergi dari rumah. Tuan bilang setiap hari dia selalu kangen sama Non. Dia juga kangen kebersamaan keluarganya yang dulu seperti ketika Nyonya masih hidup."
Kei tertawa hambar. Dia tahu Pak Tono hanya mempermanis fakta. Kalau benar Guntur selalu rindu padanya, mengapa tempo hari pria itu tak memintanya pulang saat datang ke kosan dan malah meminta dia untuk menerima Janet.
"Ah, udahlah bikin kesel ngomong sama kamu," omel Kei, "lagian mau sampe macan jadi hobi ngemil sayur sekalipun kamu juga tetap bakal belain tuanmu itu!"
Tanpa peduli pada Pak Tono yang memanggil-manggilnya karena masih ingin memberi penjelasan, Kei terus melangkah mendekati rumah.
Tadinya tujuan Kei adalah taman belakang rumah. Namun langkahnya terhenti di ruang keluarga karena dia melihat Windy dan Vivi di sana. Windy berlutut di depan meja. Tangannya yang memegang pensil bergerak-gerak di atas sebuah buku gambar yang ada di atas meja. Sementara itu, Vivi duduk di sofa. Gadis itu memperhatikan Windi dengan wajah semringah. Tampak jelas ekspresi kepuasan di wajahnya.
"Hai semua," sapa Kei saat langkahnya terhenti di dekat sofa.
"Hai, Kei," balas Vivi.
Windy menghentikan aktifitasnya sejenak. Dia menoleh dan tersenyum simpul ketika melihat Kei. Fakta itu membuat Kei tertegun, kaget bercampur takjub. Betapa tidak, kakaknya yang selama beberapa bulan ini beraut muram, sekarang sudah bisa tersenyum.
"Kak Windy senyum ke aku barusan, Mbak Vivi," bisik Kei pada Vivi ketika dia telah duduk. "Keren. Menurut kamu itu perkembangan yang bagus nggak sih?"
"Iya," balas Vivi dengan suara lirih. Matanya tak lepas mengawasi Windy.
Setelah hampir dua puluh menit Vivi dan Kei terdiam mengamati, Windy akhirnya menyelesaikan gambarnya. Ketika gadis itu menyerahkan buku gambarnya ke Vivi, Kei ikut melihat. Gadis itu menggambar banyak hal. Meski sederhana, tak terlalu jelas, dan tak seindah goresan tangan pelukis, Kei bisa mengerti itu gambar apa karena di setiap gambar Windy menuliskan keterangan.
Di gambar pertama ada gambar dua orang gadis, seorang wanita dewasa, dan beberapa baju. Windy menulis keterangan bahwa itu adalah dia, Manda, dan Kei yang sedang berbelanja baju di Pasar Beringharjo. Di gambar kedua ada seorang pria, seorang wanita, dua orang anak perempuan, dan dua pohon beringin besar dan kecil. Pada keterangan gambar ditulis bahwa itu adalah Windy, Kei, Guntur, dan Manda yang sedang menghabiskan waktu di Alun-Alun Kidul. Di gambar ke tiga ada gambar seorang gadis dan beberapa piala. Di gambar itu Windy menulis bahwa itu adalah dirinya dan semua kumpulan piala yang dia miliki. Di gambar ke empat ada gambar seorang gadis dan sebuah mobil. Di gambar itu Windy menulis keterangan bahwa itu adalah dia dan mobil hadiah dari Guntur. Di gambar terakhir Windy menggambar gambar seorang gadis dan seorang cowok. Si gadis duduk sambil mendekap dua kakinya yang tertekuk, sementara si cowok berdiri tak jauh darinya. Di antara mereka ada arsiran pensil yang menjadi penghalang. Di gambar itu Windy tak memberi keterangan. Kei tertegun lama memandangi gambar terakhir itu sebelum Vivi meletakkan kertas gambarnya di atas meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
Scintilla (END)
Novela JuvenilKei memutuskan untuk balas dendam pada Arka ketika menyadari kondisi Windy yang makin lama makin memprihatinkan. Cowok itu harus mendapatkan ganjaran atas apa yang telah dilakukannya. Dalam usahanya itu Kei dihadapkan dengan kenyataan pahit. Guntur...