Cahaya

135 129 3
                                    

Sekitar setengah jam yang lalu, usai menutup pintu kamar kos, Kei membaringkan tubuhnya di atas kasur. Sampai saat ini posisisnya masih seperti itu. Matanya tertarah ke langit-langit. Sesekali dia tersenyum-senyum samar. Otaknya terus merekam kebersamaannya dengan Arka beberapa waktu lalu. Dia tak memiliki keinginan sedikit pun untuk membersihkan diri di kamar mandi atau sekedar mengganti pakaian seragam sekolahnya. Rasanya ingin sampai malam dia menghabiskan waktunya untuk melamunkan Arka. Namun tentu saja hal itu tak terjadi karena beberapa menit kemudian terdengar bunyi getaran ponselnya yang dia letakkan di atas meja, menandakan ada panggilan masuk. Dengan berat hati akhirnya dia bangkit lalu mengambil ponselnya.

Kei membelalakkan mata ketika melihat notifikasi yang ada di layar ponsel. Ada empat puluh delapan panggilan tak terjawab dan tujuh chat WhatsApp dari Windy. Kakaknya itu memang tadi pagi sempat meneleponnya sebelum berangkat sekolah, namun dia segera memutuskan panggilan lantaran mendengar nama Guntur disebut-sebut. Dia sudah tak mau tahu apa pun tentang Guntur.

Seharian Kei memang tak sempat membuka ponsel. Dia bukan seseorang yang terlalu maniak dengan gawai tersebut. Saat jam istirahat, jam kosong, atau sedang menunggu guru pengajar datang, dia lebih memilih untuk menghabiskan waktunya dengan memetik dawai gitar. Alasan lain mengapa dia tak tahu ada panggilan masuk ya karena ponselnya diatur dalam mode silent.

Dari waktu panggilan masuk, Kei tahu bahwa Windy meneleponnya hampir setiap jam selama beberapa kali. Dari fakta itu tentu tak perlu dia ragukan betapa pentingnya hal yang ingin kakaknya itu bicarakan. Dia lantas menelepon balik ke nomor Windy. Dia menunggu beberapa detik sebelum akhirnya suara nada sambung yang terdengar berganti dengan suaraWindy.

"Halo, Dek, kamu ngapain aja sih ditelfonin dari tadi nggak direspon sama sekali?" sahut Windy. Nada suaranya terdengar sedikit jengkel.

"Maaf, hapeku aku silent," balas Kei, "emangnya ada apa sih?"

"Papa kecelakaan tadi malem pas nganter Tante Janet ke rumah sakit," sahut Windy cepat.

Kei membuka mulutnya. "Hah!" serunya, "seriusan, Kak?"

"Iyalah," balas Windy, "masa Kakak becanda sih. Tadi pagi Kakak nelfon karena mau kasih tahu, tapi keburu kamu matiin aja telfonnya. Sekarang kamu ke Rumah Sakit Bethesda. Papa dirawat di sini."

"Oke, Kak."

Usai memutuskan sambungan telepon dan meletakkan ponselnya ke meja belajar, Kei lantas bergegas melepaskan pakaian seragam lalu menggantinya dengan kaus oblong dan celana jins. Sebelum memakai sneakers, dia meraih sebuah kemeja polos berwarna abu-abu yang tergantung di dalam almari baju lalu memakainya. Usai memasukkan dompet dan ponselnya ke saku celana, dia lantas keluar dari kamar kos lalu mengunci pintunya.

Tak ingin menunggu bus, Kei memutuskan memesan taksi online untuk menuju rumah sakit yang lokasinya di daerah Gondokusuman tersebut. Dia tak peduli meski harus merelakan uang jatah makan malamnya untuk tambahan ongkos taksi. Dia ingin segera bisa melihat keadaan Guntur.

Selama di dalam mobil dia tak bisa duduk dengan tenang. Dia sangat gelisah lantaran mengkhawatirkan kondisi Guntur. Meski selama ini mulutnya berkata kalau dia membenci Guntur bahkan sampai tak mau mengakui pria itu sebagai ayah lagi, tapi ternyata hatinya tak sejalan dengan lisannya.

Kei menghabiskan waktu lebih dari setengah jam dari tempat kos sampai akhirnya taksi online yang ditumpanginya berhenti di depan bangunan megah rumah sakit. Usai membayar ongkos taksi, dia bergegas turun dan langsung berlari ke bagian dalam rumah sakit. Dia berhenti sebentar untuk bertanya pada seorang resepsionis di mana ruang rawat Guntur. Setelah mendapatkan informasi, dia lanjut berjalan tergesa sambil mengawasi petunjuk yang tertulis di papan agar tak salah lorong.

Scintilla (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang