Kepada semua pembacaku yang budiman,
Sebulan kemudian...
Petra sedang mengasah pedangnya ketika ledakan itu mengguncang daratan yang dipijaknya. Penuh waspada, Petra menoleh ke sumber suara. Lonceng berdentang, memperingatkan bahaya. Asap hitam mengepul dari salah satu kapal yang mengangkut tawanan Albatross ke Waisenburg. Api menjalar, meruntuhkan tiang dan layar kapal. Semua prajurit, baik Waisenburg maupun Reibeart, bergegas ke posisi masing-masing, mengacungkan senapan serta pedang. Para perawat kalang kabut memindahkan tubuh korban ke tenda. Prajurit-prajurit yang kehilangan anggota tubuh dan wajah cacat karena ledakan.
Satu kata terlintas di benaknya. Satu sosok yang pagi tadi memerintahkannya untuk tinggal di perkemahan. Paman. Pamannya sedang bertugas persis di kapal yang baru saja meledak. Bibirnya berubah kering. Petra menyarungkan pedangnya, berlari sekuat tenaga menghampiri tenda para perawat. Teriakan dan jeritan segera menyapanya. Ia menyisiri setiap ranjang yang ada, tak jarang menabrak para perawat, menerka wajah-wajah korban y terkapar tidak berdaya. Kendati penuh luka, Petra mengenali para prajurit itu. Beberapa dari Waisenburg dan sebagian dari Reibeart. Namun, tidak ada Paman.
Hal itu tidak menenangkan hatinya. Tidak meredakan racauan detak jantungnya. Tetapi, wajahnya setenang es. Keluar dari tenda, Petra mengamati tiap-tiap korban yang berdatangan. Tidak ada pamannya. Di kejauhan, sebuah tiang kapal jatuh ke lautan, menabrak deburan ombak. Hantamannya mengundang jeritan dari para perawat, tapi benak Petra terlampau padat oleh proses pemikiran cepatnya.
Di sisi barat, Petra menangkap sekelebat perseteruan antara gerombolan tawanan bebas dengan himpunan prajurit yang berusaha mengukung mereka kembali. Sekumpulan tawanan berhasil melarikan diri ke hutan, sedangkan yang lainnya masih beradu, dihadang pasukan Raphael Schiffer. Di timur, raut wajah komandan pasukan Waisenburg, Livius, tampak jengkel. Ajudannya memarahi sebaris prajurit yang bertugas menjaga kapal dari berlayar hingga sampai ke Waisenburg. Tidak mengejutkan apabila malam kelak mereka dihukum cambuk—Petra memandangi kapal yang perlahan karam—sebab mereka telah melakukan kesalahan fatal.
Saat menyadari para perawat berhenti memindahkan korban, Petra mencengkeram lengan salah satu dari mereka. "Di dalam masih ada orang." Suara Petra merupakan es paling tipis yang siap pecah.
"Kapal mulai tenggelam, Tuan Putri," ujar perawat itu, matanya membelalak takut. "Kami tidak—"
Menepis lengannya, Petra berlari menghampiri kapal. Beberapa prajurit berusaha menghentikannya, tetapi percuma. Sebab, Petra menerjang mereka bagai badai. Penuh gemuruh, sarat akan marah. Butuh sampai empat orang untuk mencegahnya mendekati dermaga yang mulai terbakar. Kapal terbalik sembilan puluh derajat, air menelan tubuh kapal, menariknya karam. Paman. Tidak. Lagi-lagi hatinya dilanda perasaan tidak berdaya itu.
Tetapi, kemudian, Petra berhenti meronta, tidak lagi mencoba untuk menerobos maju. Mengurungkan tindakan sembrononya saat melihat seorang pria memanjat geladak kapal, turun mendarat di dermaga di hadapannya.
Dan dunia Petra pun berputar.
Gerakannya sarat keahlian dan percaya diri. Ia membopong sosok familiar di punggungnya. Meniti jalan dengan kobaran api di balik punggungnya. Ia datang bagai doa, permohonan yang Petra panjatkan kepada dewa-dewi. Layaknya pemburu paling nekat, memasuki sarang singa hanya dengan sebuah pedang di sisi tubuhnya, dan Paman di punggungnya. Petra menyadari empat orang yang menahannya mundur perlahan, bersembunyi di balik tubuh Petra tak ubahnya pengecut, menyaksikan pria asing itu mendekati pesisir pantai.
Dipacu insting, Petra segera mengacungkan pedangnya ke sisi leher pria tersebut. Denting logamnya lebih cepat dari kedipan Petra sekalipun. Atau mungkin, Petra tidak berkedip. Di hadapannya, pria yang jauh lebih tinggi darinya. Bahunya lebar dan tubuhnya kekar, tidak berlebihan, namun mengintimidasi. Rambut cokelatnya nyaris pirang, kotor oleh abu, diacak angin serta peristiwa di dalam kapal. Meskipun wajahnya dinodai debu, ketampanannya tidak berkurang. Jenis ketampanan yang membangunkan hasrat wanita melalui sensualitas bibirnya. Rahangnya. Tulang pipinya. Dagunya—tunggu.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRA
FantasyBakat dan kemampuan semata tidak cukup memuaskan orang-orang di sekitarnya... Petra Alexius of Reyes, putri sulung Kerajaan Reibeart hanya memiliki dua tujuan dalam hidupnya. Pertama, ia akan melindungi seluruh keluarganya, Ayah, Ibu, saudaranya--da...