21 - Petra / Thalia

830 184 17
                                    

Ketukan langkah Petra, secepat apapun, tidak akan bisa menandingi langkah panjang Rhys. Setelah mengungsikan Liam ke salah satu tenda pemberontak, Petra segera mengikuti jejak lari Rhys. Pria itu tidak berpikir laras. Murka menguasai pemikiran rasionalnya. Petra tahu, di atas segalanya, semalang apapun nasib yang menimpa Lazarus, Ozias tidak boleh dibiarkan mati. Belum. Dan Rhys membutuhkan dirinya demi mencegah itu terjadi.

Apabila mereka akan memberantas musuh hingga ke akarnya, mereka membutuhkan informasi mengenai orang di balik semua kekacauan ini. Siapa dan apa tujuannya. Mereka harus menarik diri mereka sendiri dari lubang ketidaktahuan, menyasar langsung sang musuh utama. Pria yang menjadi alasan mengapa pemberontakan ini terjadi. Mengapa penduduk Albatross yang mulanya hidup terpisah-pisah, bersatu melawan kekuatan Waisenburg.

Petra kehilangan sosok Rhys di pinggir perkemahan. Pria itu bagai halilintar, siap menumbangkan segala halangan di hadapannya. Menghentikan langkahnya, Petra menoleh ke kanan kiri, mencari setitik pun kehadiran Rhys. Tetapi, hanya dengkur tidur dan keratak api unggun yang menyapa telinganya. Petra menghela napasnya, tidak menyadari tekanan di paru-parunya.

Sejurus kemudian, sayup jeritan tertahan menusuk genderang telinga Petra. Begitu samar, namun Petra tahu masih ada kehidupan yang tersisa dari sang pemilik suara. Petra pun mengusik kegelapan hutan, menjelajahi seluk-beluknya dengan indra yang ada. Meraba-raba batang pohon dan semak, menghampiri geraman rendah dan teriak kecil pertolongan. Pada titik ini, Petra bahkan tidak tahu apakah dirinya semakin dekat atau, sebaliknya, kian jauh dari sumber suara. Ia hanya dapat berharap bahwa ia akan sampai tepat waktu.

Tungkai Petra membawanya ke sebuah sisi hutan yang tidak padat dibayang-bayangi rimbun pohon. Melalui celah dahan, cahaya keperakan dewi malam menerangi kemurkaan di hadapannya. Mata Petra membelalak mendapati, dengan mudahnya, Rhys mengangkat tubuh Ozias, mengambang dari permukaan tanah. Wajah pria tua itu hampir biru karena cengkeram tangan Rhys di batang tenggorokannya. Dua pasang matanya lebih bulat dan besar daripada milik Petra, melirik ke arahnya. Kakinya meronta, tangannya memberontak melawan cengkeraman Rhys.

Tangan besar Rhys seolah dapat mematikan kehidupan di dalam diri Ozias seketika. Namun, pria itu memberikan penyiksaan yang perlahan nan lambat kepada Ozias, menikmati rasa sakit yang dipaparkan raut wajahnya. Melampiaskan semua kecamuk perasaannya, mengikutsertakan Ozias dalam pelayaran penderitaannya.

"T-tolong aku," ujar Ozias dari sela decit napasnya.

"Rhys," Petra mendekati mereka, "kau pernah berkata bahwa membunuh bukan satu-satunya cara menyelesaikan masalah."

Rhys tidak sedikit pun menoleh ke arah Petra, menancapkan pandangannya kepada wajah biru Ozias. Tetapi, kedut di lengannya melembut dan cengkeramannya mengendur. Ketika tubuh renta Ozias gedebuk menemui tanah, pria itu bernapas megap-megap. Meraup semua udara yang dibutuhkan relung paru-parunya. Pada lehernya, bekas cekik kemerahan menghias kulitnya.

Petra menghampiri Rhys, berdiri di sampingnya sembari melarikan elusan ke telapak tangannya. Lubang hidungnya kembang kempis tidak beraturan. Wajahnya keras oleh amarah. Giginya bergemeletuk, saling berseteru menahan kutuk demi kutukan yang hendak ia lontarkan kepada Ozias. Rhys ingin membunuh Ozias, membalaskan kematian Lazarus, lebih dari apapun. Tetapi, Petra dapat melihat bahwa Rhys menghargai dirinya. Menemukan suara tenang Petra di dalam palung keputusasaan itu.

Genggaman Rhys melingkar pada pergelangan tangannya. "Petra," mulainya, masih mengawasi tubuh malang Ozias batuk-batuk, "Apa kau ingat pertanyaanku—mengapa Albatross tepat dua tahun lalu mengobarkan pemberontakan?"

Napas Petra tercekat. "Kenapa?" Pertanyaannya lebih menyerupai desir angin.

Rhys mengeluarkan pedangnya, bilah tajamnya menekan batang leher Ozias. Membawa mata berkabut pria itu menemui miliknya. "Karena tepat dua tahun lalu penduduk Albatross mulai hilang secara misterius. Hak mereka diambil paksa oleh Waisenburg. Mereka ditawan dan disiksa, tetapi yang lebih parah lagi," ujar Rhys, "mereka menghilang. Ketika bertemu di medan perang, mereka bukan lagi sosok yang kami kenal. Mereka tidak mengenali kami, bahkan seorang ayah dapat membunuh anaknya sendiri. Hanya para dewa tahu apa yang dilakukan Waisenburg terhadap mereka—karena mereka kembali dengan otak dicuci."

PETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang