24 - Petra

847 198 26
                                    

"Apa Ibu tahu kau datang ke Albatross?" Petra meraih tongkat kayu pemukul yang terikat di sisi tubuh sang opsir.

Daria mengangkat kedua bahunya. "Mulanya tidak, lalu, begitu tahu Ibu marah besar. Ibu bilang ia akan menghukumku, tapi, yah. Itu perkara lain." Ia menyeringai, menawarkan belatinya kepada Petra. "Gunakan ini, Kak."

Petra menimbang-nimbang tongkat kayu di tangannya. "Aku cukup dengan ini. Kau juga perlu melindungi dirimu sendiri, Daria."

Kedua alis Daria membusur. Matanya membesar dan tangannya menyentuh dada dramatis seakan perkataan Petra melukai harga dirinya. "Kau menyakitiku."

Mengedikkan kepalanya, Petra segera melaju. "Ayo." Mengintip dari celah pintu, penglihatan Petra disambut koridor yang lebih sempit, namun kosong. Di ujung koridor adalah tangga menuju geladak, sedangkan di sisi kiri berjajar sekitar empat pintu. Gelak tawa serta bantingan cangkir anggur pada meja menembus salah satu pintu kayu tersebut.

Bergerak lebih sunyi dari napas, Daria mengikutinya dari belakang. Petra mencuri intip ke dalam pintu yang sedikit terbuka. Bau alkohol dan keringat pria memenuhi ruangan tersebut. Ada sekitar empat pria berbadan besar tengah duduk mengelilingi meja. Apa yang tampak seperti kartu permainan berserakan di permukaannya. Menyadari keempat pria tersebut menyandang pedang masing-masing, Petra perlahan beringsut pergi. Mereka tidak perlu menumpahkan darah—

Tepat saat itu, pintu terakhir di koridor terbuka. Seorang prajurit Waisen keluar, kedua tangannya sibuk mengaitkan celananya. Petra dan Daria menghentikan segala pergerakan bahkan napas mereka. Prajurit itu sama terkejutnya seperti Petra, membelalakkan mata, namun tidak kuasa bersuara. Untuk beberapa detik, geming menjadi raja di antara mereka bertiga.

Petra adalah orang pertama yang berhasil meloloskan diri dari keterkejutan. Menggenggam tongkat erat-erat, Petra menghantam kepala prajurit menabrak dinding kayu. Prajurit tersebut tidak lagi sadarkan diri, darah mengucur dari sisi kepala. Entakannya bergema di sepanjang koridor, menghentikan gelak tawa prajurit di dalam ruangan. Bunyi derit kursi menusuk genderang telinga Petra. Langkah mereka mendekat.

Seketika, Petra berbalik, melindungi Daria di belakangnya, mengacungkan satu-satunya senjata yang ia punya. Keempat prajurit berseru mendapati tawanan mereka kabur, namun koridor sempit bukan teman baik bagi tubuh besar mereka. Sehingga, mereka terpaksa maju satu per satu.

Petra segera memukul jatuh pedang prajurit pertama. Kakinya cekatan menyeret pedang itu ke sisinya. Prajurit tersebut mengayunkan tinjunya, sebuah tinju yang amat frontal. Petra menghindar, meluruskan punggungnya dengan dinding, lalu menghantam siku tangannya dan, dengan secepat kilat, memukul wajahnya hingga darah menyembur dari hidung serta mulutnya sebelum tubuh besar itu jatuh ke lantai.

Sejurus kemudian, sejalur bilah pedang mengayun nyaris mengenai lehernya apabila Daria tidak melakukan lemparan jitu itu. Belati Daria menancap persis di rongga mata prajurit kedua. Menyaksikan dua temannya tumbang, dua yang lainnya semakin garang, mengayunkan pedang tidak tentu arah. Daria meraih pedang yang tadi diamankan Petra dan mereka merangsek maju.

Petra melakukan pukulan bertubi-tubi pada perut, dan wajah kedua prajurit tersebut sembari menghindar dari serangan mereka. Daria melakukan sentuhan akhir yang mematikan di batang leher mereka. Cipratan darah di mana-mana, dinding, pintu, tangan, dan wajah mereka. Jelas Daria akan terseret masalah, cepat atau lambat.

Tangan Petra meraih pedang dari genangan darah ketika mendengar suara Daria. "Kita duo yang mematikan."

Petra tidak kuasa menahan senyumnya. Ia menepuk pundak adiknya sambil berjalan menuju tangga. "Kau sudah berkembang amat jauh dari terakhir kali aku melihatmu."

PETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang