19 - Petra

900 199 26
                                    

Ribuan pertanyaan menyerbu benak Petra, tetapi hanya satu kalimat yang menjawab segala penasarannya. Ada yang janggal. Pertama, Lazarus mati terkapar di pinggiran perkemahan, dekat hutan. Bukan pembunuhan yang berencana, Petra berasumsi, meskipun tikamannya tampak amat rapi, sebuah presisi tiada dua. Ia ingat panah beracun di punggung Leon dan seketika napasnya tercekat. Seorang Albatross membunuh Lazarus.

Tetapi, untuk apa?

Seorang pria, akhir tiga puluhan, berdiri di barisan paling depan kerumunan. Ia menunjuk-nunjuk Petra. "Hei, kau. Kenapa kau membunuhnya?"

Petra mengernyitkan dahinya. Matanya mengitari kerumunan, mendapati amarah para Albatross menuduh dirinya. Kecurigaan yang timbul dengan reputasinya sebagai Malaikat Kematian, padahal pembunuh sesungguhnya sedang berkeliaran di antara mereka. Pandangan mereka merupa pisau yang menyayat perih hatinya—ia pikir mereka sudah menerimanya. Apapun latar belakangnya.

Belum sempat Petra menjawab, Rhys mencengkeram tangan pria itu. Gemeretak samar tulang menusuk genderang telinga Petra. Mata pria itu membulat terkejut sebelum diikuti oleh melolong kesakitan. Kedua lututnya perlahan tersungkur, menyentuh tanah dan meronta-ronta minta dilepaskan. Menyadari apa yang Rhys lakukan, Petra sekuat tenaga menarik Rhys menjauh dari pria itu.

Sepasang manik Rhys lebih gelap dari biasanya. Wajah Rhys menggelap oleh bayangan menyeramkan. "Jangan pernah menuduh Petra sembarangan. Aku akan mematahkan tangan kananmu selanjutnya," ujar Rhys. Lalu, kepada khalayak di hadapannya, "Petra tidak membunuh Lazarus. Ia bersamaku sejak makan malam. Aku akan mematahkan tangan setiap orang yang menunjuk Petra.

Dengan perkataan Rhys, muncul kasak-kusuk yang lebih mengkhawatirkan. Kerut gelisah menghias wajah para Albatross. Mereka saling bertukar pandangan cemasnla, sesekali memerhatikan tubuh tak bernyawa Lazarus. Kalau bukan dia, lalu siapa yang membunuh Lazarus? Petra mendengar bisikan lirih itu dibawa angin.

Seorang pengkhianat, batin Petra.

Petra memindai kerumunan, mencari-cari batang hidung dari seseorang yang selama seminggu terakhir ia pantau. Tidak ada Leon. Detak pelan jantungnya memekakkan telinga Petra. Dingin merayap dari mata kakinya, mengembus beku udara di dalam paru-parunya. Bernapas adalah pekerjaan paling mudah, tetapi detik itu, bagai siksaan abadi. Seolah-olah serpihan tajam es melukai tenggorokannya setiap kali mencoba bernapas.

Bibir Petra gemetar, namun ia mengusahakan kalimat utuh dari mulutnya. "Rhys, aku harus pergi."

Langkah Petra sudah bergegas pergi sebelum mendengar ucapan Rhys. Ia mengitari perkemahan, menuju Tenda Pusat, mencari tanda-tanda kehadiran Leon. Jika sedikitpun apa yang ia duga benar—maka Leon akan membawa kehancuran terhadap Albatross. Petra mustahil keliru: Leon sama seperti dirinya dulu. Ia menghendaki kekalahan Albatross. Ia seorang penyusup, entah bagaimana ia berhasil masuk. Itu sebabnya kenapa ia mencoba membunuh Rhys. Mengapa anak panah beracun itu ada padanya. Dan kenapa ia membunuh Lazarus. Sebuah pengalihan yang sempurna.

Demi dewa, Petra akan melacaknya hingga mati.

Petra menyingkap tirai Tenda Pusat, mendapati kegelapan menyapa penglihatannya. Jika seseorang menginginkan kekalahan Albatross, mereka akan mengincar Tenda Pusat. Di dalam tenda itu terkumpul informasi penting nan krusial Albatross. Namun, tidak ada tanda-tanda kehidupan. Apa, tanya Petra kepada dirinya sendiri, apa yang pria itu inginkan? Mengapa selama ini ia membaur tanpa melakukan apapun? Apa yang diincarnya?

Tangan Petra cekatan menyibak setiap tenda di sekitar Tenda Pusat. Tidak menghiraukan kesiap ataupun gerutu orang-orang. Petra tahu, targetnya dekat. Tetapi, dari segala tenda yang ada, di mana Petra akan menemukannya? Ia sedang bertarung melawan waktu. Melawan detak demi detik. Jika ia terlambat, sepersekian detik pun—

PETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang