Setelah menghabiskan siang melatih Timothy dan teman-temannya, lalu lanjut berlatih dengan Cedric, Petra butuh mandi lebih dari apapun. Usai makan malam, Petra segera berjalan menuju bantaran sungai rahasianya. Di setiap langkahnya, bulan menggantung semakin tinggi. Obor api kian terang, tetapi tidak cukup menerangi hutan yang sedang ia lewati. Berbekal ingatan, Petra menyingkap semak demi semak hingga ia sampai—
Jantungnya berdentam kencang layaknya tabuhan gendang. Pandangannya berpapasan dengan milik Rhys yang bertelanjang dada. Sorot cahaya bulan mencucup permukaan kulitnya, nyaris menyerupai pualam. Tubuh telanjangnya sama menggiurkan seperti terakhir kali Petra ingat. Bahu kuat, dada bidang, otot-otot yang meminta disentuh. Rambut halus yang bermula dekat pusarnya, menuruni tubuhnya, dan berhenti di garis celananya. Tulang pinggulnya yang kuat sekaligus memesona berkebalikan seratus delapan puluh derajat dengan milik Petra yang merupa lekuk halus.
Kuat yang bertemu halus, menguasai, merajai. Bibir Petra kering membayangkan berada di bawah dominasi Rhys. Wajah Petra merona oleh gairah yang tiba-tiba. Entah bagaimana, ia tidak lagi mampu memandangi Rhys dengan cara yang sama. Sehingga, tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Petra berbalik badan, hendak kembali ke tendanya. Peluh dan debu bukan lagi masalahnya. Ia bisa mandi lebih malam. Logikanya mengatakan bahwa sesegera mungkin ia harus minggat dari tempat itu. Lagipula, Rhys tidak pernah mandi setelah makan malam, lalu mengapa—
Kedua tangan Rhys menahan pundaknya. Punggung Petra menyentuh dada telanjang Rhys dan ia mampu merasakannya. Betapa sempurna tubuhnya menempel pada tubuh Rhys. Embusan napasnya membelai daun telinga Petra. Ombak keinginan membasuh sekujur tubuhnya.
"Mau ke mana, Petra?" tanya Rhys.
Jemari Petra menggosok telinganya, berusaha menghapus sensasi menggelisahkan itu. Ia berputar menghadap Rhys. Nada suaranya jauh lebih tenang dari degup jantungnya."Menghargai privasimu."
"Aku baru saja selesai," ujar Rhys. "Mandilah."
Tetapi, sepasang mata keunguan itu tidak beranjak dari wajahnya. Apalagi tungkainya. Mereka menghadap satu sama lain dalam beberapa detik, tanpa kedip. Pandangan Petra jatuh kepada garis-garis keras bibirnya. Petra mampu menghidupkan kembali rasa bibir itu di bibirnya. Lembut sekaligus menuntut, membuat Petra nyaris bertekuk lutut.
Satu tangan Rhys menangkup pipinya, menyusuri permukaan kulitnya yang penuh debu dan keringat. Tetapi, Rhys tidak menggubris. Sekalipun wajah Petra berlumpur atau buruk rupa, Rhys akan selalu menemukan jiwanya. Dan itu adalah tepat apa yang sedang pria itu lakukan. Menjelajahi jiwanya dengan tatapan indahnya.
"Kau dekat dengan Cedric," kata Rhys menghancurkan keheningan magnetis itu.
Dua alis Petra membusur terkejut oleh pernyataan tak terduga. "Ia lawan bertarung yang tangguh. Aku menikmati duel bersamanya."
Rhys memicingkan matanya, terkesan jengkel. Ia menarik Petra mendekat dan, karena refleks, tangan Petra berusaha memberikan jarak di antara mereka. Petra segera menyesali tindakannya. Darahnya berdesir lebih cepat dari biasanya, menyadari sentuhan jemarinya di hamparan dada Rhys.
"Apa aku tidak cukup tangguh untukmu?"
"Apa kau menantangku berduel sekarang?" Petra mengerjapkan matanya. Ia selalu kesulitan mengerti orang-orang.
"Ampun." Rhys mengeluarkan beberapa umpatan sebelum mendesah. "Demi Dewa Perang."
Petra melarikan jemari ke bekas luka di pundaknya. Entah bagaimana, luka itu menyerupai miliknya. Seperti sepasang sayap yang terpisah, sempurna ketika disatukan. "Aku tidak akan menerima tantangan dari orang yang baru sembuh."
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRA
FantasyBakat dan kemampuan semata tidak cukup memuaskan orang-orang di sekitarnya... Petra Alexius of Reyes, putri sulung Kerajaan Reibeart hanya memiliki dua tujuan dalam hidupnya. Pertama, ia akan melindungi seluruh keluarganya, Ayah, Ibu, saudaranya--da...