5 - Raphael

949 194 66
                                    

Kilas balik menyerbu ingatan Raphael Schiffer layaknya deru meriam. Telinganya pekak akan merdu tawa wanita itu sementara tubuhnya kelu mengenang masa lalu. Momen di mana kali pertama bibirnya mengenal bibir seorang wanita. Malu-malu mengecup permukaan merah muda yang merekah sekalipun di bawah kelabu sorot rembulan. Perasaan manis membuncah di lubuk hatinya mengiringi tabuhan jantungnya. Mereka masih muda, tetapi mereka tahu perasaan itu kekal.

Saat itu masa depan terpampang jelas. Pernikahan mereka yang serba putih. Anak-anak berambut pirang dengan mata biru kelabu yang Raphael cintai. Rumah yang padat oleh kebahagiaan dan canda tawa mereka. Malam penuh gelora yang tidak akan pernah lekang. Segala yang Raphael ingin wujudkan bersama wanita tercintanya. Wanita yang memilki hatinya dan kenyataan itu tidak pernah berubah.

Sejak pasukannya ditunjuk untuk membantu Waisenburg di Albatross dua tahun lalu, Raphael membuat kebiasaan baru. Setiap kali kepalanya penat memikirkan perkara-perkara di sekitarnya, Raphael akan duduk dalam tendanya, dan mengeluarkan sebuah potret dari meja kerjanya. Jemarinya, kemudian, akan menyusuri potret tersebut, mengelus kontur wajahnya, meremajakan kembali ingatan membahagiakan itu di benaknya.

Wanita yang dicintainya seakan hidup dari potret itu. Memberantas pemikiran tak penting di benak dan meredakan tegangan di sekitar tengkuknya. Dua lengan ramping seolah mewujud di sekeliling lehernya, memeluknya penuh cinta. Jemari lentik yang pandai bermain piano itu membelai keningnya, setiap usapannya mengaburkan satu demi satu lelah. Dan tak ubahnya hantu, Raphael mampu menghidu aroma manis wanita itu melingkupinya.

Raphael merindukan Esther. Sekujur tubuh dan hatinya merindukan Esther. Cinta pertamanya, detak jantungnya, masa depannya. Ia ingin selekasnya kembali ke Reibeart. Melihat Esther dalam darah dan daging, bukan sekadar replika dua dimensinya. Ia ingin kembali ke Reibeart, tetapi Raphael tahu bahwa ia tidak akan bisa berpulang kepada Esther. Terutama setelah kekecewaan terlukiskan di sepasang manik indah Esther memandangi kesalahannya. Dosanya. Raphael sudah menyakiti wanita yang dicintainya di saat yang paling kelam.

Pandangan itu membuat retak hubungan mereka dan sebelum Raphael sempat menebus kesalahannya, tugas memanggilnya untuk membantu pasukan Gideon di garis depan, di Albatross. Mungkin ini merupakan ganjaran atas kesalahannya. Menjauhkannya dari pusat kehidupannya. Pandangan menyakitkan itu menerror tiap malamnya. Masa depannya sudah hancur tidak bersisa sebelum Raphael mampu menyatukan kembali serpih-serpihnya. Atau setidaknya, meminta maaf kepada Esther.

Kapten pasukannya, Myles, masuk ke tendanya. Wajahnya kotor oleh letih seperti wajah Raphael. Semalaman mereka tidak tidur karena berbagai hal. Salah satunya, berusaha memadamkan api terkutuk yang membakar lumbung makanan mereka. Api tidak kunjung padam setelah beribu-ribu ember air mereka tuang. Untungnya, badai datang menumpahkan hujan, memadamkan lumbung makanan yang terbakar.

Alasan keduanya adalah karena seluruh tawanan Albatross berhasil melarikan diri. Dilanda badai dan malam, mereka tiada berhenti mencari para tawanan di hutan. Di saat itu Raphael menyadari bahwa kebakaran lumbung makanan itu mengecoh perhatian mereka. Dengan prajurit yang tersisa di tenda tawanan, mereka dengan mudah pergi tidak meninggalkan jejak. Sama seperti serangan mereka yang tiba-tiba tanpa indikasi, tanpa jejak untuk ditelusuri.

            Myles memberikan salam kepada Raphael, punggungnya tegak bebas cacat. "Saya datang untuk melapor, Komandan."

            Menyisipkan potret Esther ke laci mejanya, Raphael menjawab, "Teruskan."

            "Bawa mereka kemari." Suara lantang Myles diikuti langkah dua prajurit yang tak mengenakan apapun selain dalaman.

            Raphael menyipitkan matanya, mengenali dua prajurit itu. Prajurit yang bertugas patroli di hutan setiap pagi. Wajah mereka tidak babak belur, namun merah merona berpenampilan tidak pantas di hadapan komandan mereka. Kedua tangan mereka terikat di balik punggung. Tali membekas di pergelangan kaki mereka.

            "K-komandan...," gumam mereka menyalami Raphael.

            Myles membuat lutut keduanya mencium permukaan tanah. "Ceritakan kepada Komandan Schiffer apa yang kalian ceritakan padaku."

            Sebelum menjawab, mereka berseteru memutuskan siapa yang bercerita. Namun, menyadari pandangan menusuk Raphael, salah satu dari mereka membuka mulut. "Ka-kami sedang berpatroli di hutan seperti biasa ketika seorang Albatross menyerang dan mencuri dua kuda kami."

            "Katakan kepadaku," ujar Raphael perlahan bangkit dari kursinya, wajahnya gelap dan murka, lagi-lagi Albatross, "kenapa aku harus mendengar kekonyolan ini alih-alih menghukum kalian di pasak cambukan?"

            Kendati giginya bergemeletuk, prajurit yang lain angkat bicara. "Karena, Komandan, Albatross itu mengikat kedua tangan dan kaki kami—"

            "Lima cambukan." Tidak memerhatikan dua prajurit ketakutan itu, mulut Raphael mengeluarkan perintah kepada Myles. Kaptennya itu merunduk menghormati keputusannya. "Masing-masing lima cambukan. Jangan biarkan mereka mengenakan pakaian apapun selain celana dalam."

            Tepat saat Raphael melangkah keluar dari mejanya, prajurit itu berseru, "—Tuan Putri Petra ditangkap Albatross tersebut, Komandan!"

            Seluruh gerak Raphael berhenti di titik jeda. Sekarang, prajurit itu mendapatkan curah perhatiannya. Ia menolehkan kepalanya ke dua prajurit tersebut. Mendengar nama kakak perempuan Esther disebut membekukan darahnya. Rasa bersalah Raphael yang bermula dari Esther merebak ke setiap anggota keluarganya. Orangtua, saudaranya, juga paman dan bibinya.

            "Bagaimana kau begitu yakin?"

            "Kami melihatnya dengan mata kepala kami sendiri," jawabnya.

            Prajurit yang satunya menimpali, "Pria itu menyeret Tuan Putri ke hadapan kami, Komandan. Dia bersama dua tawanan Albatross lainnya."

            Petra merupakan salah satu tentara Reibeart yang berbakat. Ayah Raphael sekalipun, Jenderal Schiffer, mengakui kemampuan Petra sebagai bakat yang muncul sepuluh tahun sekali. Dilatih di bawah bimbingan pamannya, Kolonel Gideon, menjadikan Petra sebagai sosok yang mematikan dan dikenal sebagai Malaikat Kematian. Bahkan dalam duel satu lawan satu melawan Petra, harga diri seorang pria bisa goyah.

            Sejauh yang Raphael kenal, Petra bukan lawan yang mudah. Petra juga tidak mudah menyerah. Akalnya lebih tajam dari kebanyakan orang, bergerak sepersekian detik lebih cepat dari yang lain. Selalu berhasil menemukan jalan keluar di situasi genting sekalipun. Sebab, pikirannya setenang lapisan es juga segesit ular. Petra mampu menyadari kejanggalan yang ada —dan mungkin Petra adalah orang pertama yang memahami rencana rahasia para tawanan Albatross untuk melarikan diri.

            "Apa Tuan Putri berbicara sedikitpun? Meminta pertolongan, misalnya." Raphael tahu itu mustahil. Petra tidak pernah meneriakkan pertolongan. Ia memberikan pertolongan.

            "Tidak, Komandan. Bahkan isyarat pun tidak."

            Sukarela. Petra menjadi tawanan secara sukarela. Ia sedang melancarkan permainan catur paling berbahaya. Entah apa yang ada di pikiran iparnya itu. Ini adalah tindakan gegabah pertama Petra, tetapi, Raphael paham bahwa ia tidak pernah mengambil keputusan sembarangan. Ia selalu melangkah mendekati tujuannya dan tidak sebaliknya. Dan tujuan itu adalah apa yang membuat Raphael bergidik, sebab taruhannya adalah kepala Petra atau kepala pemimpin pemberontakan Albatross.

            Menggenggam pinggiran meja sebagai porosnya, Raphael menghadap Myles. "Panggil Farraday. Ada pesan yang harus disampaikan ke Yang Mulia Ratu." Ia harus mengabari sang ratu mengenai keadaan darurat yang menimpa mereka. Ketidaksadaran Kolonel Gideon dan putrinya yang ditangkap. Situasi yang semakin genting.

            Myles menegakkan punggungnya, tangannya memberi salut kepada Raphael. "Bagaimana dengan hukuman mereka, Komandan?"

            Pandangan Raphael kembali jatuh ke dua prajurit telanjang di hadapannya. Mereka melonjak terkejut. Keringat dingin mengaliri pelipis keduanya. "Tambahkan lima cambukan untuk masing-masing orang karena tidak bisa menghentikan Albatross bajingan itu."

            Sekarang, Raphael hanya bisa berharap bahwa keputusan gegabah Petra merupakan pilihan yang tepat. []

Maaf banget baru bisa upload semalem ini.. hari ini bener-bener sibuk banget buat aku :( tapi aku bakal terus sempetin untuk upload kepada kalian yang membaca ceritaku :') dimohon dukungannya baik berupa vote atau pun comment!

PETRATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang