Nyatanya, rencana tidak berjalan mulus sesuai bayangan Petra. Membunuh Rhys di antara para Albatross merupakan perkara pelik. Alih-alih mereda, kecurigaan Albatross semakin menjadi setelah dua hari Petra menetap. Mereka memerhatikan gerak-gerik Petra tak ubahnya elang yang menanti mangsa. Menanti detak demi detik ketika akhirnya Petra melakukan setitik kesalahan. Mereka akan segera mengerubungi dirinya, mencabik tubuhnya dan tidak menyisakan apapun bagi dunia untuk mengenang Petra.
Bukan hanya orang di sekitar, targetnya juga mempersulit objektif Petra. Dua hari belakangan, Rhys menghabiskan dua malamnya bersama laki-laki lain, jauh dari tendanya. Mereka akan minum hingga larut dan semilir angin akan membawa samar gelak tawa ke genderang telinganya. Menganggu upayanya tidur. Petra dengan tangan diikat ke pasak tiap malam, tidak bisa menghalau suara-suara tersebut. Kemudian, kendati digeluti frustasi, di suatu titik, kesadaran Petra berserah kepada lelap.
Dan pagi-pagi sekali, Petra akan membantu wanita-wanita Albatross bercocok tanam, memetik hasil panen, memasak, serta serangkaian aktivitas lainnya. Tidak akan ada makanan bagi yang tidak bekerja, itu kalimat Rhys di pagi pertamanya. Setelahnya, Lazarus, si pria pincang baik hati, mengantar Petra ke pos kerjanya. Petra disambut dengan tatapan dingin setajam belati dari kumpulan wanita itu. Mereka tidak menyempatkan diri barang sedetik pun berbasa-basi, tetapi, setidaknya, mereka tidak menolak kehadiran Petra di sana.
Jaga musuhmu tetap dekat. Mungkin, pepatah itu terukir lekat di benak mereka. Membiarkan Petra bekerja di antara mereka, meneliti tindak-tanduknya. Mereka akan menyadari dengan was-was tangan Petra yang bergerak meraih pisau, memastikan ia mengembalikan bilah tersebut di tempat semula. Menghalangi Petra melancarkan tujuannya membunuh Rhys.
Mencekik Rhys pernah terlintas di benaknya. Namun, logikanya menolak mentah-mentah gagasan itu. Petra tidak mempunyai cukup kekuatan maupun beban untuk menahan berat tubuh Rhys. Sebagai manusia kesayangan Dewa Perang, tidak mengejutkan apabila sekujur ototnya menguarkan kekuatan luar biasa. Rhys tidak hanya kuat, ia cekatan dan tepat. Ia tidak sembarangan menyerang, gerakannya mematikan. Petra salah langkah—maka tamat riwayatnya. Rhys akan mengakhirinya sebelum Petra mencekik seluruh udara dari paru-parunya.
Ia harus melakukan permainan kali ini lebih hati-hati.
Petra sedang memotong daging rusa hasil buruan, di pinggiran perkemahan, saat sebuah tangan kurus masuk ke dalam wilayah pandangnya. Kepala Petra berpaling ke kiri, menjumpai sepasang mata cokelat pemilik tangan kurus itu. Wanita yang menghadang perjalanan mereka menuju perkemahan. Wanita yang menodong gerombolan mereka dengan pisau tumpul dan pandangan galak. Seolah-olah tindakannya itu mampu menakuti lawannya.
"Untukmu." Ia meletakkan sebuah botol kaca dekat papan potongnya. Suaranya tidak lagi serak, lebih segar dari terakhir kali Petra mengingatnya.
Menuntaskan daging di hadapannya dan merebusnya, Petra mengelap merah darah dari tangannya, lalu, meraih botol kaca tersebut. "Ini apa?"
"Salap. Obat. Apapun yang kau sebut untuk menyembuhkan luka-luka di kakimu," jawabnya.
"Terima kasih." Petra sedikit merundukkan kepalanya. Ia menyadari semburat kehidupan yang kini mewarnai wajah wanita itu. Ia tidak lagi pucat dan terlihat malang. Kendati kesedihan masih mewujud di garis-garis wajahnya, setidaknya, wanita itu tampak lebih manusia. Bukan sekadar onggokan kesedihan. Dua hari di perkemahan memberikan dampak baik yang amat kentara baginya.
"Jangan berterima kasih kepadaku. Rhys memintaku untuk mengantarkan obat ini." Ia bersedekap dan memutar tubuhnya, menyandarkan punggungnya pada sisi meja.
KAMU SEDANG MEMBACA
PETRA
FantasyBakat dan kemampuan semata tidak cukup memuaskan orang-orang di sekitarnya... Petra Alexius of Reyes, putri sulung Kerajaan Reibeart hanya memiliki dua tujuan dalam hidupnya. Pertama, ia akan melindungi seluruh keluarganya, Ayah, Ibu, saudaranya--da...