Chapter 2 - Undangan

73 6 0
                                    

Dalam sebuah kamar hotel, sepasang manusia tiba-tiba muncul dari ketiadaan. Gadis itu memiliki mata ungu sipit dengan rambut hitam yang tergerai sepunggung. Kulitnya putih bercahaya, tertimpa sinar senja yang menyusup lembut lewat jendela.

Sedangkan pemuda di depannya mempunyai netra kelabu terang. Tatapannya penuh antisipasi dan teka-teki. Kulitnya pucat dengan rambut hitam kusut nan acak-acakan.

Gadis bergaun lavendel itu yang lebih dulu bergerak, duduk di salah satu sofa. Diikuti pemuda itu yang kemudian duduk di seberang sofa.

“Kau bisa pakai ini.” Gadis itu melemparkan sweater putih yang serasi dengan corak monokrom.

Tanpa basa-basi pemuda itu segera memakainya. Lantas kembali duduk dalam posisi kikuk. “Terima kasih.”

“Hm-mm. Jadi, siapa namamu?” tanya gadis itu, matanya menyipit seraya tangan kanan menopang dagu. Tatapannya penuh minat.

“Shem Altair. Panggil saja Shem.” sebutnya berdehem, sedikit memalingkan muka.

Melihat ekspresi malunya, gadis itu terkekeh. “Hei, kau tak seperti ini sebelumnya.” Menggelengkan kepala heran, gadis itu lantas mengubah posisi dan membenamkan punggungnya ke sofa. Sepenuhnya postur bak kucing malas. “Rasha. Arasha Nirwana.”

“Yah, aku hanya tidak terbiasa.” Menggaruk kepalanya yang tidak gatal, Shem kembali berdehem pelan. “Emm, salam kenal, nona.”

“Tidak perlu. Panggil saja namaku. Lalu, berapa umurmu sekarang?” Rasha mengibaskan tangan tak acuh, seraya lanjut bertanya.

“Delapan belas tahun, eum ... Ra-sha.” Kali ini nadanya sedikit canggung.

“Lebih baik.” Mengangguk puas, Rasha kemudian mengulurkan tangan. “Kemari.”

Segera, Shem mengikuti instruksi untuk duduk di samping Rasha. Gadis itu lantas menepuk lembut pipinya. Ia berbisik di samping telinganya. “Oh, hanya beda setahun. Umurku 17 tahun ini.”

Tangannya perlahan turun ke dadanya. Merasakan resonansi dari kedua jiwa, sudut mulutnya terangkat tipis. Rasha sedikit mendongak. “Apa kekuatanmu?”

“Aku tidak tahu pasti. Sudah sangat lama terakhir kali aku menggunakannya. Tapi yang jelas, kekuatanku terlalu lemah.” jawab Shem, ironi sarat dalam nadanya.

“Kurasa tidak begitu.” Kilatan misterius sekilas terlihat pada netra ungu Rasha. “Ingin membuat kontrak mitra sekarang?”

“Kau yakin? Teleportasimu sebelumnya akurat. Apa kau dari Orbyt? Tidakkah sayang melakukannya denganku? Kau bisa saja menindas atau menyiksaku seperti superior lainnya. Aku tidak banyak berguna, jangan siakan kesempatanmu padaku.” cegahnya panjang-lebar.

Tampak antara cemas dan pesimis. Ekspresinya berubah pahit, dan ia kembali mengambil tindakan defensif. Berusaha menjauh dari sentuhan gadis itu.

Memutar bola mata jengah, Rasha kini menarik tangannya. Menjepit kuat pergelangan tangan Shem agar tidak kabur. “Kau terlalu banyak bicara. Aku bukan mereka. Jadi, mari coba saja.”

Sekejap kemudian, seperti ada simpul tak kasat mata. Kedua getaran perlahan menyatu menjadi ritme yang sama---saling terikat satu sama lain. Dan tepat setelah itu, ledakan kekuatan mengalir dalam tubuh masing-masing. Hingga layaknya baterai yang telah penuh, keduanya seolah terlahir kembali.

Sampai seluruh proses terakhir, Shem membelalak tak percaya. “Ba-bagaimana bisa?” Ia menatap kedua tangannya, terpana.

“Sudah kubilang. Tidak sembarang inferior yang bisa menjalin mitra jiwa denganku. Karena aku memiliki jiwa yang paling murni.” Rasha terkekeh, dengan lembut menepuk pipi Shem. Yang artinya, inferior yang terikat denganku pastilah juga istimewa. Shem, kau sama denganku. Pemilik jiwa paling murni.”

Imperium Sha [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang