doc : untitled - 8

915 134 88
                                    

Ngebut lagi yuks
Please play the mulmed when I told you to.








Masih beberapa hari lagi agar aku bisa pulang ke Jakarta bersama mereka, itu artinya aku masih harus disiksa rasa sepi di sini. Kini mereka semua ada di dalam vilaㅡtermasuk Taehyung yang sedari tadi mengabaikanku, bercanda dan bergurau atau saling meledek satu sama lain. Seru, hanya saja aku nggak bisa membangkitkan selera humorku yang sebenarnya jongkook. Tentu saja, ini semua karena insiden kemarin yang sangat memuakkan juga memalukan. Aku menampar Taehyung karena ke-sok-tahuanku yang menganggap dia sudah memiliki pacarㅡyang sebenarnya aku juga tak memiliki hak melakukan hal itu. Sampai saat ini aku bahkan belum bisa memaafkan diriku sendiri atas apa yang telah kuperbuat. Entah bagaimana dengan Taehyung, kurasa ia cukup tahu bagaimana harus bersikap jika ada yang semena-mena menaruh tangan padanya karena kesalahan yang nggak ia buat. Dan aku memakluminya, juga menerima. Itu sebabnya aku melangkahkan kakiku ke luar vila sesaat setelah Oje menawarkan untuk membuatkan anak-anak jus.

Aku harus menenangkan diriku sendiri, dengan Taehyung atau tanpa Taehyung. Karena pada akhirnya, hanya diriku sendiri yang tersisa.

Aku berdiri di pinggir kolam, memandang ke air yang berwarna biru terang tanpa rasa takut sedikitpun kendati minim pencahayaan di seberang mata memandang. Pepohonan begitu rimbun dan gelap, tapi kesepian dan kegundahanku mengalahkan prasangka horror yang disugesti kepalaku. Kedua perasaan negatif itu justru menuntunku untuk duduk, mencelupkan kedua ujung kaki hingga lututku kemudian mengayunkan keduanya secara teratur dan bergantian sementara di kepalaku menggumam sebuah lirik lagu yang kupikir dapat membantuku merasa lebih baik.

"Jennie, nggak masuk? Kan dingin."

Aku melompat kaget, secepat kilat aku menoleh ke belakang yang ternyata itu Jimin. Lantas aku menggeleng. "Nggak, aku mau ngasih waktu untuk diriku sendiri." Aku kembali menatap air. "Kamu betah di sini, Jim?"

"Betah lah, kalo nggak betah ngapain ke sini tiap bulan dan tahun baru."

Aku tersenyum, dalam pikiranku aku setuju tapi untuk kali ini hatiku bertolak belakang. Aku nggak betahㅡjika terus-terusan seperti ini.

Kami diam, saling menutup mulut ketika tak ada lagi yang bisa dibahas. Tapi aku masih merasakan kehadiran Jimin di balik punggungku. Aku menggunakan keheningan itu dengan menyapukan tanganku ke permukaan air. Dingin. Dingin sekali. Namun ini terasa lebih baik.

"Kira-kira kalo mau ke stasiun naik angkot apa, ya?" Tanyaku, masih menggoyang pelan telapak tangan.

"Mau kemana?"

"Ke Jakarta, aku ditelepon mamah." Dustaku.

Jimin nggak menjawab, tapi aku terlalu nyaman memainkan air untuk sekedar melihat padanya. Ya, untuk sementara niat pulang ke Jakarta masih mengawang di kepalaku. Akan lebih baik jika aku nggak merayakan tahun baru di sini. Dan, ulang tahunnya.. itu juga. Terlebih aku nggak tau apa kado yang harus aku kasih ke Taehyung. Lagipula, dia juga pasti nggak mengharapkan apapun lagi dariku.

Bodohnya aku sempat berpikir setelah ciuman itu aku bisa lepas dari belenggu kepelikan dari hubunganku dengan Yoongi, nyatanya ada lebih rumit.

"Jim, kalo berenang malam-malam bikin masuk angin nggak, ya?"

"Nggak, palingan sekedar hipotermia doang."

Aku mematung, sadar kalau itu bukan Jimin lagi. Nggak lama aku merasakan kehadiran di sampingku. Taehyung. Nggak ada yang bisa menggambarkan betapa terkejut dan senangnya aku saat ini, tapi aku berusaha keras untuk bersikap sebagaimana mestinya. Ia mengenakan celana panjang hitam dan sweater berwarna hijau. Bibirku berkedut menahan senyuman yang ingin kusunggingkan lebar-lebar padanya.

UNTITLED {♡}Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang