Aku akan membuatmu ambyar.
{♡}Kami pun berangkat menuju desa Leuwimalang menggunakan motor Mang Entis yang sebelumnya sudah diisi bensin eceran di dekat pasar. Jaraknya 5 kilometer dari vila, lumayan jauh, tapi cukup menyenangkan karena jalanan yang kami tempuh begitu indah dan asri dipandang. Jalanannya memang baik, sudah diperhatikan oleh pemerintah, jadi tidak ada bebatuan yang akan menyebabkan kecelakaan. Hanya saja ada yang lebih merepotkan yaitu; motor Mang Entis sudah mogok tiga kali! Dan ini yang ke empat kalinya, aku lagi-lagi harus turun untuk membantu Taehyung mendorong motor untuk mencari dataran yang rata karena gawatnya sekarang jalanan semakin meninggiㅡkita menanjak ke atas yang mana itu membutuhkan tenaga ekstra.
Tapi sesulit apapun perjalanan yang dilalui, selama ada Taehyung, aku tahu aku akan terus merasa terhibur.
"Maaf ya, dari tadi mogok terus euy. Faktor 'u' ini mah motornya, tinggal modarnya khusnul khotimah wae." Gerutu Taehyung dengan dialek Sundanya yang kentara kendati dia berbicara bahasa Indonesia. Aku hanya tertawa sambil memandanginya dan terus mendorong motor di belakang. Dia menoleh sebelum menekan rem lalu menghentikan langkah, "kamu naik aja gih ke motor, kan capek udah dorong tiga kali."
Aku menggeleng menolak, "Kalau kamu capek, aku juga harus capek. Kan aku yang minta diantar ke rumah Ambu Titi. Aku nggak enak ngerepotin kamu terus."
"Ah, nggak lah. Kaya sama siapa aja, lagian juga semua anak pernah ke rumah Ambu, cuma kamu sama Nay aja yang belum."
"Kenapa Nay nggak diajak?" Tanyaku, dengan sedikit harapan yang nggak kumengerti.
"Si Lucas lagi overprotective, nanti aku dibantai kan ngeri. Mending dibantai sama Rey Masterio enak dapet duit biarpun babak belur juga." Paparnya memalingkan wajah ke depan, membiarkanku mengeluarkan tawa yang bergejolak dari dalam perut. Dia noleh lagi, menunjukkan wajahnya yang tampan itu. "Jadi kita lanjut nih?"
"Sok geura." (Iya cepetan.)
Bibir Taehyung tersenyum miring seolah-olah dia bangga. "Tiasa Sunda ayeuna?" (Bisa Sunda sekarang?) Aku mengangguk, tersenyum geli.
"Arek ka mana, teteh?" (Where to, miss?)
"Ke bintang-bintang yah, a!" (To the stars.)
"Siga Titanic gitu kita mah." Guraunya terkekeh. "Hayuu meluncur."
Melanjutkan perjuangan dalam rangka dorong mendorong, kami sampai di titik tempat yang datarㅡnggak menanjak. Jadi Taehyung menyuruhku berhenti, lalu kami menepi sebentar untuk melakukan kick starter agar motornya menyala. Memang motor ini terlampau butut, Taehyung bilang dia nggak pernah perhatiin kendaraan Mang Entis yang udah tinggal nunggu matinya aja karena biasanya dia kalau kemana-mana di daerah Bogor ini suka naik angkot sampai pernah dibawa nyasar keliling Bogor dan dia diam aja selama perjalanan. Jadi kata dia setelah ini dia bakal aduin ke papahnya supaya Mang Entis dibeliin motor baru.
Setelah berhasil menyalakan mesin kami langsung tancap gas menuju rumah Ambu Titi yang katanya punya kebun stroberi pribadi.
Beberapa menit kemudian akhirnya pucuk dicinta ulam pun tiba. Kami sampai dengan selamat sentosa, tanpa luka sedikitpun yang digaungkan Oje sebelum kami berangkatㅡya, dia bilang jangan sampai ada yang berdarah. Aku nggak tahu apa maksudnya, tapi sepertinya Taehyung lebih paham itu mengetahui ia bergelagat seperti sudah bosan menanggapinya.
Sesaat setelah memarkirkan motor, Taehyung langsung berjalan menuju ke depan teras rumah sambil menarik tanganku. Selama beberapa saat aku hanya terpaku memandangi kedua tangan kami yang bersatu, hingga ada debaran-debaran yang nggak dapat diartikan muncul dengan sangat nggak sopan. Aku sampai nggak sadar kalau kita sudah ada di teras. Cepat-cepat aku menampar diri kembali ke kenyataan, mengalihkan pandanganku pada pintu yang terbuka lebar.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNTITLED {♡}
أدب الهواة[Lokal] Dia Taehyung yang pucat, yang senang bergurau, yang memiliki tinggi 178 sentimeter, yang diam-diam menyimpan kenestapaan seorang diri, Dan yang aku cintai. Tapi ada yang lebih sempurna dari banyak 'yang' di atas, yakni Di bawah langit si kot...